Ada banyak kegiatan yang menarik minat banyak orang di masa mendatang dan berpotensi memunculkan hypercompetition. Kesempatan yang semoga dapat membangun daya juang kita bersama.
Oleh
Budi W Soetjipto
·6 menit baca
Penyanyi ternama dunia asal Amerika Serikat, Taylor Swift, akan menggelar konser satu-satunya di Asia Tenggara pada tanggal 2-4 dan 7-9 Maret 2024 di National Stadium of Singapore di Singapura. Begitu periode prapenjualan (pre sale) dibuka tanggal 5 Juli 2023 lalu, tiket yang dibanderol mulai Rp 1,2 juta per orang, langsung diburu para Swifties (sebutan bagi para penggemar fanatik Taylor Swift) dan bahkan dicari oleh publik yang memiliki kartu kredit tertentu.
Tiket yang dijual di periode prapenjualan ini ludes hanya dalam 3 jam! Penjualan kemudian dibuka kembali untuk umum tanggal 7 Juli dengan mensyaratkan pendaftaran terlebih dahulu sebelum transaksi. Ternyata yang antre untuk periode penjualan ini lebih fantastis lagi. Jika saat prapenjualan, yang antre nyaris mencapai 1 juta dalam waktu 17 menit, maka saat penjualan publik, antrean mencapai lebih dari 1,7 juta hanya dalam 15 menit.
Kapasitas National Stadium of Singapore itu adalah 55.000 tempat duduk per malam. Artinya, bila diadakan 6 hari konser, tiket yang tersedia adalah untuk 330 ribu tempat duduk. Tengok saja jumlah antreannya. Jelas kapasitas tersebut tak akan mampu menampung gairah masyarakat yang luar biasa untuk nonton. Para pemburu dan pencari tiket harus bersaing satu sama lain agar benar-benar mendapatkannya.
Persaingan yang super ketat memunculkan saga yang menarik dan kini dikenal sebagai ticket war, perang tiket. Ticket war bukan yang pertama dan bukan pula yang terakhir. Di Indonesia telah terjadi ticket war untuk konser Coldplay tanggal 15 November mendatang.
Di Indonesia telah terjadi ticket war untuk konser Coldplay tanggal 15 November mendatang.
Saya yakin akan ada ticket war setiap kali ada acara yang sangat dinanti, seperti konser musik, kejuaraan olahraga, premier film blockbuster, atau acara lain yang menarik minat banyak orang. Dengan jumlah kursi terbatas seperti yang ada di National Stadium of Singapore, mendapatkan tiket menjadi sebuah upaya yang memerlukan akal, kesabaran, dan ketekunan.
Meski disebut "war", jangan dibayangkan terjadi sikut-sikutan antarpemburu dan pencari tiket karena tiket dijual secara daring sehingga yang sesungguhnya terjadi adalah perang secara digital, perang yang bahkan dinikmati oleh para Gen Z. Oleh sebab itu tak heran bila atmosfernya penuh kegembiraan, dedikasi, dan rasa persaudaraan di antara mereka.
Di ranah ilmu manajemen, hampir tak pernah kita mendengar istilah "war" ini digunakan, namun ada padanan yang sebenarnya telah lama dikenal di dunia bisnis, yaitu hypercompetition.
Hypercompetition adalah istilah untuk menggambarkan tingkat persaingan yang sangat intensif di antara pelaku usaha. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh D'Aveni pada tahun 1994. Ada tujuh karakteristik utama hypercompetition.
Yang pertama adalah, siklus hidup produk yang pendek karena produk dan teknologi baru dengan cepat muncul, berkembang, dan kemudian digantikan oleh inovasi baru. Pelaku usaha harus beradaptasi secara cepat dan terus-menerus melakukan inovasi untuk tetap relevan di pasar.
Kedua adalah, pergerakan strategis yang cepat sehingga pelaku usaha harus mampu mengubah strategi bisnis mereka dengan cepat untuk mengantisipasi perubahan pasar atau merespons langkah-langkah pesaing.
Yang ketiga adalah, adanya tekanan pada harga produk dan jasa yang diakibatkan oleh persaingan yang kuat. Tekanan ini dapat mengurangi margin keuntungan. Tekanan harga terkait erat dengan karakteristik keempat, yaitu perang harga.
Persaingan harga yang agresif dapat terjadi, dan pelaku usaha harus siap menghadapinya. Karakteristik kelima adalah inovasi yang terus-menerus untuk mempertahankan keunggulan kompetitif dan mendapatkan pangsa pasar. Yang keenam adalah aliansi strategis, di mana pelaku usaha dapat membentuk aliansi strategis dengan pesaing, pemasok, atau mitra lain untuk memperkuat posisi mereka di pasar.
Karakteristik terakhir adalah adanya tantangan dari pelaku usaha non tradisional, seperti usaha rintisan yang bisa menjamah ke lebih dari satu industri yang berbeda. Dalam lingkungan hypercompetition, strategi yang berciri tradisional mungkin tidak lagi berlaku. Pelaku usaha harus berfokus pada fleksibilitas, inovasi, dan kesiapan untuk berubah dengan cepat guna tetap relevan dan unggul dalam pasar yang berubah-ubah.
Dalam kasus ticket war, hypercompetition yang terjadi bukanlah antar penjual, namun malahan antar pembeli. Mengacu pada tujuh karakteristik utama, tentu ada perbedaan. Perbedaan pertama, jika dalam hypercompetition antar penjual, tekanan harga dapat membuat penjual menurunkan harga sehingga akan mengurangi laba penjual, maka dalam hypercompetition antar pembeli, tekanan harga dapat membuat pembeli mendapatkan produk yang diinginkan dengan harga yang lebih mahal sehingga biaya yang pembeli keluarkan akan meningkat.
Kelebihan permintaan dapat memunculkan pasar sekunder atau bahkan pasar gelap yang memperjualbelikan dengan harga yang amat mahal. Dalam publikasi klasiknya di tahun 1947, Boulding menyebutkan pasar gelap sebagai pasar di mana terjadi transaksi ilegal "at prices higher than a legal maximum".
Dalam kasus ticket war, hypercompetition yang terjadi bukanlah antar penjual, namun malahan antar pembeli.
Dalam hypercompetition antar pembeli, praktis tak ada inovasi yang terjadi. Yang ada hanyalah perlombaan memperoleh produk yang diinginkan dengan harga bisa semakin mahal. Sedangkan aliansi strategik untuk hypercompetition antar pembeli terjadi di dua sisi. Dari sisi penjual terjadi aliansi strategik antara penjual dengan pihak-pihak pendukung.
Dalam kasus Taylor Swift, penyelenggara bekerja sama dengan pengelola hotel untuk memaketkan penjualan tiket dan hotel dalam satu harga. Ini tentu saja kerja sama "win-win". Aliansi strategis juga terjadi antara sesama pembeli yang saling membantu dalam memperoleh produk yang mereka inginkan. Jadi dalam hypercompetition antarpembeli terjadi pula apa yang Nalebuff dan Brandenburger (1996) sebut sebagai coopetition: cooperation dan competition.
Para pembeli tak hanya bersaing tapi malah bekerja sama untuk mendapatkan tiket. Selain itu, dalam ticket war, ada dominasi teknologi digital dan keterlibatan individual yang tinggi. Dominasi teknologi digital tercermin dari masifnya penggunaan situs (website), aplikasi dan media sosial sebagai sarana penjualan.
Website dan aplikasi menjadi media untuk bertransaksi, sedangkan media sosial menjadi platform coopetition di mana para pembeli tak hanya bertukar informasi, tapi juga menjadi ajang curhat dengan meluapkan kekecewaan dan merayakan keberhasilan mereka. Muncul pula meme, anekdot lucu, dan strategi kreatif dalam mencari tiket, yang semuanya memperkuat rasa persatuan mereka.
Sementara itu, keterlibatan para pembeli tergambar dari upaya keras mereka untuk melewati tantangan masuk dalam antrean dan menunggu giliran. Tantangan ini mengandung unsur paradoks di mana pembeli harus bekerja cepat agar masuk dalam antrean awal, namun juga harus sabar menunggu giliran. Saking dalamnya keterlibatan mereka, medan pertempuran digital ini menjadi semacam uji dedikasi dan komitmen yang belum tentu mendatangkan hasil yang sepadan.
Ada yang berhasil mendapatkan tiket dengan cepat dan harga yang seperti ditawarkan, ada pula yang terpaksa masuk ke pasar sekunder, bahkan pasar gelap, dan membeli dengan harga yang (jauh) lebih tinggi, tapi ada pula yang meski sudah sabar menanti, tak mendapat apa-apa. Hypercompetition antar pembeli pada akhirnya tak hanya sekedar berlomba mendapatkan produk yang diinginkan, namun menjadi manifestasi gairah dan determinasi para pembeli yang dicerminkan dari investasi waktu, energi, dan emosi yang melebihi dari investasi untuk kehadiran itu sendiri.
Lomba ini menjadi sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri sehingga sulit dimenangkan sendirian dan memerlukan upaya bersama. Kita perlu ingat akan ada banyak kegiatan yang menarik minat banyak orang di masa mendatang dan berpotensi memunculkan hypercompetition. Artinya akan ada banyak kesempatan untuk memompakan adrenalin kita dalam bersaing sekaligus bekerja sama secara digital. Kesempatan yang semoga dapat membangun daya juang kita bersama.
Budi W Soetjipto adalah Dewan Pembina ISMS, dosen senior FEB UI, dan Wakil Rektor Universitas Pertamina