Ada yang menarik uang di ”paylater” atau pinjaman daring, ada pula yang masih galau membeli tiket konser atau membayar uang pangkal sekolah anak. Semua gara-gara keinginan bertemu Chris Martin dan kawan-kawan.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
Sudah sepekan terakhir Niken Nurcahyani (24) riang gembira setelah mengetahui kelompok musik idolanya, Coldplay, tiba-tiba mengumumkan akan tampil di Indonesia pada 15 November 2023, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Namun, dia gundah saat melihat harga tiket yang dibanderol jauh dari nominal uang di tabungannya. Ia bertekad apa pun dilakukan demi melihat Chris Martin dan kawan-kawan langsung dengan mata telanjang.
Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jakarta ini belum berpenghasilan tetap. Dia masih menunggu diwisuda sembari melamar kerja ke sana-sini. Tabungan yang selama ini dihasilkan dari menyisihkan uang saku dari orangtua. Namun, itu belum bisa membeli yang ia inginkan, yaitu satu tiket kategori 6 seharga Rp 1.500.000.
Niken tidak mau merepotkan orangtua lagi, pinjaman daring pun menjadi solusi. Empat hari sebelum pembelian tiket konser bertajuk Music of The Spheres World Tour itu dibuka, dia mengajukan pinjaman daring Rp 500.000 pada salah satu lokapasar. Dari situ, rasa gundahnya hilang dan langsung bersiap ”perang tiket”.
”Dari gue SMA pas rencana konser 2017 yang batal itu sampai sekarang akhirnya Coldplay ke sini. Senang banget, harus banget nonton, sih. Duit bisa dicari, tetapi Coldplay cuma ada sekali,” kata Niken.
Pagi tadi, Rabu (17/5/2023), dia bangun pagi langsung bergegas membuka laptop dan telepon genggamnya untuk berburu tiket band asal London, Inggris, tersebut. Sebelum hari ini, dia sudah memasukkan semua data diri sehingga ketika berburu tiket bisa langsung melakukan pembayaran.
”Tiga hari ini gue nontonin Tiktok terus, bikin akun di loket online, cari teman yang mau war juga, sama siapin laptop dan HP. tinggal pasrah perkuat doanya saja,” tuturnya.
Emosi Niken membuncah saat laman pembelian tiket mendadak lemot beberapa menit jelang loket online dibuka. Perjuangannya di ”perang tiket” kali ini gagal karena tiket kategori 6 sudah terjual habis pada masa pra-penjualannya kali ini.
”Ingin meninggal rasanya, emosi, kenapa banyak banget, sih, warga Indonesia ini sampai antrean ke-500.000-an? Terjual semua, coba lagi nanti tanggal 19,” ujar Niken menolak menyerah.
Lain cerita dengan Febri Ardani (37), pria yang mengaku senang dengan karya Coldplay sejak album Parachutes rilis pada 2000 itu masih galau memakai uang untuk menonton idolanya atau untuk biaya daftar sekolah anak. Dia memastikan semua kebutuhan dasar keluarganya terpenuhi sebelum membeli tiket konser.
”Anak saya mau masuk TK, jadi sebentar lagi bayar uang pangkal sekolah, sudah ada, sih, dana hiburan, cuma tinggal tega enggak sekali keluar banyak untuk tiket konser yang harganya segitu,” kata Febri yang berencana membeli tiket konser Coldplay kategori 3 senilai Rp 3,9 juta per orang.
Menurut karyawan swasta di Jakarta Selatan ini, harga tiket yang dibanderol oleh promotor masih masuk akal untuk band selevel Coldplay. Oleh karena itu, kebanyakan penggemar pasti akan melakukan berbagai cara untuk bisa menonton idolanya, mungkin untuk pertama dan terakhir kalinya di Indonesia.
”Paling nanti pas libur Natal akhir tahun jadi tidak jalan-jalan, duitnya sudah terpakai untuk Coldplay,” ujarnya sambil tertawa.
Menurut peneliti budaya, media, dan komunikasi dari Universitas Pasundan, Idi Subandy Ibrahim, fenomena ini adalah hasil dari komodifikasi sosial. Seseorang dibuat terlena dengan sesuatu hal sehingga apa pun akan dilakukan yang bahkan tidak rasional untuk bisa mendapatkan sesuatu hal tersebut.
Industri tontonan tidak salah karena mereka mencari keuntungan, tetapi ternyata industri ini berhadapan dengan lapis masyarakat penonton yang berbeda kemampuan dan tingkat kesadaran kulturalnya.
Selain itu, interaksi sosial di perkotaan juga membentuk gaya hidup yang impulsif, seseorang akan membeli tiket konser hanya demi eksistensi diri walau dia tidak sepenuhnya paham dengan performa yang ditampilkan si artis.
”Konser menjadi bagian baru dari ekspresi gaya hidup perkotaan yang lain. Untuk merasa ada di dalam pergaulan itu dia akan melakukan apa pun, baik dengan cara yang benar maupun tidak benar,” kata Idi Subandy saat dihubungi.
Bahayanya, lanjut Idi, gaya hidup ini turut menyentuh kalangan masyarakat ekonomi kelas bawah yang sebenarnya belum selesai dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya, tetapi sudah digempur dengan komodifikasi sosial.
”Artinya, budaya selera yang sama berhasil dibangun oleh industri tontonan. Industri tontonan tidak salah karena mereka mencari keuntungan, tetapi ternyata industri ini berhadapan dengan lapis masyarakat penonton yang berbeda kemampuan dan tingkat kesadaran kulturalnya,” ucapnya.
Di sisi lain, masyarakat juga ingin merasakan bertemu dengan idolanya secara langsung. Oleh sebab itu, dia berharap masyarakat lebih rasional mengatur perekonomiannya agar tidak muncul masalah sosial baru.