BRICS kini memiliki sebelas anggota. Tujuannya memberi ragam pilihan kerja sama perekonomian. Indonesia masih mengkaji dan tidak ingin tergesa-gesa bergabung.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) ke-15, blok kerja sama Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan atau BRICS menerima enam anggota baru. Keenam anggota baru itu adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Iran, Argentina, dan Etiopia. Pengumuman tersebut disampaikan oleh Presiden Afsel Cyril Ramaphosa selaku tuan rumah KTT di Johannesburg, Kamis (24/8/2023). Indonesia masih mengkaji keanggotaan dalam BRICS.
Sebelum para anggota baru ini bergabung, BRICS mewakili 41 persen penduduk dunia, 24 persen pendapatan domestik global, dan 16 persen perdagangan dunia. Meskipun ”memiliki kekuatan” besar, BRICS menekankan mereka tidak berniat membentuk hegemon baru atau memperuncing persaingan geopolitik global. BRICS ingin memastikan adat keragaman pilihan kerja sama ekonomi dan pembangunan yang tidak harus mengacu pada standar negara-negara Barat.
KTT BRICS dihadiri secara langsung oleh Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden Brasil Luiz Ignacio Lula da Silva, Presiden China Xi Jinping, dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Presiden Rusia Vladimir Putin mengikuti KTT melalui telekonferensi. Ia tidak bisa ke Afsel karena negara itu adalah anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Lembaga ini memvonis Putin sebagai penjahat perang menyusul serangan Rusia ke Ukraina. Apabila Putin menginjakkan kaki di negara anggota ICC, ia harus ditangkap.
Dilansir dari surat kabar Mail and Guardian, Ramaphosa mengatakan, ada 20 negara yang mengirim permohonan resmi untuk bergabung dengan BRICS, dan empat di antaranya dari Afrika. ”Para menlu akan berkoordinasi mengembangkan model kerja sama BRICS dan memantau calon-calon anggota yang potensial,” ujarnya.
Ramaphosa turut menekankan, BRICS tak berminat jadi kekuatan geopolitik baru yang menambah persaingan yang sudah ada. BRICS ingin berkiprah di sistem dunia yang multilateral. Tujuannya, memberi berbagai alternatif bagi negara-negara, terutama di belahan selatan dunia (global south), untuk meningkatkan perekonomian.
”Semangat dedolarisasi, misalnya, diperlukan untuk memperbaiki arsitektur keuangan dunia. Kita membutuhkan pilihan mata uang selain dollar AS untuk perdagangan agar tidak ada ketergantungan pada satu valuta saja,” katanya.
Salah satu contoh, dilansir oleh Bloomberg, ialah pengumuman Menteri Keuangan Argentina Fernando Haddad mengenai tawaran Brasil untuk menggunakan mata uang yuan China dalam perdagangan bilateral Buenos Aires-Brasilia. Pertimbangan Brasil ialah metode ini meringankan Argentina yang minim cadangan dollar AS. Argentina masih mempertimbangkan saran itu.
Xi Jinping dalam sambutannya mengatakan, lewat BRICS, aturan global dibuat secara bersama-sama oleh para anggota. Aturan sebaiknya tidak dibuat dan didiktekan oleh negara-negara yang memiliki kekuatan lebih ketimbang yang lain.
Efektivitas
Penambahan enam anggota baru ini oleh para pengamat harus dilihat keefektifannya. Pengamat sosial Afsel, Gugu Ndima, mengatakan bahwa tidak bisa langsung menyimpulkan BRICS bakal menyaingi negara-negara Barat.
Memang, di dalamnya kini ada Iran, Rusia, dan China yang berseberangan dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Namun, anggota lain memiliki hubungan yang cukup rukun dengan AS, terutama Afsel, India, dan Arab Saudi.
BRICS hadir untuk meragamkan rantai pasok kawasan. Sebelum KTT BRICS, 54 dari 55 negara di Afrika meneken Wilayah Perdagangan Bebas Benua Afrika (AfCTA). Tujuannya ialah diversivikasi dan penguatan rantai pasok di kawasan. Di saat yang sama, upaya ini diharapkan bisa membangun keswasembadaan tiap-tiap anggota.
”Bagi negara berkembang, standar dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) banyak yang tak terjangkau. BRICS hadir membuat standar yang lebih membumi,” ucap Ndima.
Menurut dia, keefektifan BRICS hanya bisa dilihat dari perdagangan antaranggota. Sejauh ini, baru 7,1 persen ekspor Afsel ke negara-negara anggota BRICS, sebelum ada enam tambahan. Mayoritas dari ekspor itu adalah bahan baku dan mentah. Harus ada upaya BRICS untuk bisa meningkatkan nilai tambah ekspor tersebut.
Menurut penasihat Keamanan Gedung Putih Jake Sullivan, AS tak melihat BRICS sebagai lawan geopolitik. AS berkawan erat dengan India, Brasil, dan Afsel. AS juga terus berusaha membangun hubungan yang positif dengan China. Terkait Rusia, AS berkomitmen meminta pertanggungjawaban atas serangan ke Ukraina.
Posisi Indonesia
Indonesia masih mengkaji keikutsertaan dalam BRICS. ”Kita ingin mengkaji terlebih dahulu, mengalkulasi terlebih dahulu. Kita tak ingin tergesa-gesa,” kata Presiden Joko Widodo, dalam keterangannya seusai menghadiri KTT Ke-15 BRICS yang digelar di Sandton Convention Center, Johannesburg, Kamis (24/8).
Presiden menilai, hubungan Indonesia dengan negara-negara anggota BRICS saat ini sangat baik, khususnya dalam bidang ekonomi. Namun, sampai saat ini, Indonesia belum menyampaikan surat pernyataan minat (expression of interest) yang menjadi syarat proses menjadi anggota baru BRICS.
Dalam kesempatan itu Presiden Jokowi menyuarakan kembali pentingnya kolaborasi. ”Sebagai sesama pemimpin The Global South yang mewakili 85 persen populasi dunia yang menginginkan win-win formula. Kehadiran saya di sini juga didasari keinginan untuk terus menghidupkan Spirit Bandung yang masih sangat relevan hingga kini, di mana solidaritas, soliditas, dan kerja sama antarnegara berkembang perlu terus diperkuat,” katanya.
Lebih lanjut Presiden mengajak negara-negara berkembang untuk bersatu dan memperjuangkan hak-haknya. ”Diskriminasi perdagangan harus kita tolak, hilirisasi industri tak boleh dihalangi. Kita semuanya harus terus menyuarakan kerja sama yang setara dan inklusif. BRICS dapat menjadi bagian terdepan untuk memperjuangkan keadilan pembangunan dan mereformasi tata kelola dunia yang lebih adil,” kata Presiden, yang sekaligus hadir sebagai Ketua ASEAN.
Peneliti politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional, Emilia Yustiningrum, menjelaskan, bagi Indonesia, belum ada situasi mendesak yang mengharuskan untuk bergabung dengan BRICS. Indonesia telah bergabung dengan 500 organisasi internasional dan mayoritas tidak produktif sehingga Indonesia kini sangat saksama mengkaji keuntungan dan kerugian bergabung di dalam suatu entitas.
”Pertimbangan Indonesia ialah hubungan bilateral dan perjanjian perdagangan bebas dengan setiap anggota BRICS terus meningkat tanpa perlu masuk jadi anggota,” ujarnya.
Emilia menuturkan, Indonesia bersama China, Rusia, Arab Saudi, Brasil, India, dan Argentina merupakan anggota kelompok 20 negara berperekonomian terbesar di dunia (G20). Indonesia juga anggota Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), Organisasi Kerja Sama Negara-negara Islam, dan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang beririsan dengan 11 anggota BRICS.
Prinsip Indonesia, menurut Emilia, ialah seluruh persaingan harus diselesaikan melalui kerja sama dan kolaborasi yang bertujuan menghasilkan keuntungan bersama.
Dalam kerja sama ekonomi, Indonesia selalu melihat berbagai pilihan tanpa berarti meninggalkan pihak yang satunya. Emilia menjelaskan, BRICS memang menarik bagi negara-negara berkembang karena menawarkan skema pinjaman yang tidak sekaku dari negara ataupun lembaga dari Barat. Bagi sejumlah negara, BRICS adalah pintu masuk mengakses kerja sama dalam tataran global yang mungkin sukar mereka gapai jika bergerak sendirian.
“Jika Indonesia ingin bergabung dengan BRICS, pemerintah pasti membentuk tim kajian guna memastikan ini keputusan yang tepat. Bergabung dengan RCEP saja butuh tujuh tahun melakukan analisis mendalam,”katanya.(DNE/INA)