Gaji Tinggi Bukan Satu-satunya yang Diinginkan Pekerja
Perusahaan besar sekali pun akan ditinggalkan jika pekerja tidak melihat kejelasan jenjang karir. Perusahaan yang lebih memberikan keleluasaan dan pengakuan pada pekerja cenderung lebih disukai.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Hampir 300.000 orang meninggalkan aneka perusahaan raksasa teknologi pada 2021-2023. Sebagian karena dipecat, sebagian lagi mundur atas keinginan sendiri. Gaji bukan satu-satunya alasan bagi mereka yang mundur.
Dalam laporan Euronews pada Kamis (17/8/2023) kembali diungkit lingkaran setan hubungan perusahaan teknologi dengan pekerja. Jajak pendapat oleh lembaga penyaluran tenaga kerja sektor teknologi Inggris, ISL Talent, menguatkan fakta itu. Hingga 59 persen perusahaan mengaku kesulitan menemukan pekerja yang sesuai kebutuhan perusahaan. Lebih dari 2 juta lowongan kerja sektor teknologi dibuka pada 2021-2022 dan sejuta di antaranya tidak terisi. Menurut ISL, lowongan sektor teknologi lebih besar dibandingkan sektor lain.
Sementara lembaga riset pasar tenaga kerja Amerika Serikat, Revelio Labs, menemukan pola perusahaan kecil lebih dipilih dibanding perusahaan besar di bidang teknologi. Orang-orang yang meninggalkan perusahaan besar, karena dipecat atau mundur, terlacak diterima di perusahaan lebih kecil.
Pemecatan massal di berbagai perusahaan besar menjadi berkah bagi perusahaan kecil. Perusahaan kecil bisa menarik bakat-bakat terbaik yang selama ini berkumpul di berbagai perusahaan besar. Total jumlah lowongan yang dibuka perusahaan kecil melebihi total lowongan di berbagai perusahaan besar.
Faktor Penyebab
Alasan pemecatan lazimnya hanya satu : karena perusahaan ingin mengurangi biaya. Sementara alasan pengunduran diri pekerja lebih beragam. Salah satu alasan pekerja mundur adalah karena perusahaan menjadi besar. Hal itu berarti, aneka masalah perusahaan besar juga hadir dalam keseharian di tempat kerja. Perusahaan besar teknologi bukan lagi lembaga menengah, kumpulan orang muda, dan penuh aneka ide liar.
Di perusahaan rintisan, aneka ide dinilai bersama kelayakannya. Jika pun tidak layak, penggagas tetap dapat peluang mengembangkannya sembari tetap menuaikan kewajiban di proyek utama yang ditugaskan perusahaan. Di perusahaan besar, menurut majalah Forbes, keleluasaan itu nyaris tidak ada. Hampir semua sumber daya dikerahkan untuk menyelesaikan target dari proyek yang ditetapkan atasan atau bagian lain di perusahaan.
Majalah Forbes menyebut, iklim usaha yang lebih ramah untuk perusahaan rintisan membuat jumlah perusahaan rintisan terus bertambah. Peningkatan itu berarti pilihan pekerja untuk mencari tempat kerja meningkat pula. Karena itu, kini semakin banyak pekerja pindah ke perusahaan lebih kecil yang menawarkan tidak hanya soal penghasilan. Perusahaan kecil menawarkan kesempatan mewujudkan ide dan pekerja ikut memiliki sebagian wujud ide itu.
Generasi Z dan generasi milenial yang lebih muda memang menjadikan pengakuan atas pencapaian pribadi sebagai salah satu hal pokok dalam kehidupan. Karena itu, mereka lebih memilih bekerja di perusahaan yang dianggap menopang hasrat mendapat pengakuan dan pencapaian lainnya. Mereka lebih suka ke perusahaan yang dianggap selaras dengan nilai-nilai yang mereka anut, cita-cita yang ingin diraih, keinginan yang mau diwujudkan. Apalagi, gen Z dan generasi milenial yang lebih muda cenderung lebih berani mengambil risiko.
Kejelasan Karier
Sementara ISL Talent menemukan, ada tiga alasan utama pekerja meninggalkan perusahaan lama. Alasan itu adalah penghasilan, kejelasan jenjang karier, dan kondisi lingkungan kerja. Ada pun alasan menerima pekerjaan di tempat baru adalah bisa bekerja di luar kantor, jam kerja yang leluasa, dan pekerjaan yang berorientasi pada hasil dibandingkan waktu kerja. Tentu saja penghasilan tetap jadi pertimbangan. Tawaran kerja di tempat baru tidak akan dilirik jika penghasilannya setara atau bahkan lebih kecil dibandingkan di tempat lama.
Riset ISL menyimpulkan, perusahaan besar sekali pun akan ditinggalkan jika pekerja tidak melihat kejelasan jenjang karier. Bahkan, perusahaan dengan jenjang karier jelas pun belum tentu juga dilirik sebagian lulusan terbaik dari sejumlah universitas. Para lulusan terbaik itu kadang sudah punya gambaran sendiri soal karier dan pencapaian. Pola dan jenjang yang ditetapkan perusahaan bisa jadi tidak sesuai dengan gambaran itu sehingga mereka menolak bekerja di perusahaan tertentu.
Karena itu, keleluasaan bekerja menjadi salah satu pertimbangan penting. Perusahaan yang lebih memberikan keleluasaan pada pekerja cenderung lebih disukai.
Para pekerja bukan tidak mau terikat. Hanya saja, mereka mengharapkan bentuk baru ikatan. Alih-alih harus berada di kantor setidaknya delapan jam per hari kerja, para pekerja berharap waktu dan tempat kerja yang lebih leluasa. Hal itu tidak terlepas dari alasan meninggalkan tempat kerja lama : situasi kerja. Mereka yang mundur mengeluhkan soal buruknya komunikasi di lingkungan kerja serta ketidakjelasan nilai dan budaya perusahaan.
Hubungan yang buruk dengan atasan atau sesama karyawan menjadi alasan hingga 80 pekerja mengundurkan diri. Alih-alih mendapat dukungan, mereka yang mundur merasa terus dijegal oleh atasan atau rekan kerjanya. Mereka tidak sanggup lagi menahan dampak hubungan dengan atasan yang tidak bisa membantu karyawan memanfaatkan potensi terbaiknya. Mereka tidak tahan lagi pada sesama rekan kerja yang tidak mendukung upaya mencapai target pekerjaan.
Sebelum era pemecatan massal dan pengunduran diri besar-besaran, sejumlah perusahaan besar mencoba menghadirkan iklim kantor yang menarik. Tawaran makan siang gratis, fasilitas olah raga, sampai kantor yang mewah menjadi kelaziman. Seiring kesuraman prediksi kondisi perekonomian, aneka fasilitas itu dipangkas.
Selain itu, perusahaan besar seperti dilakukan Elon Musk pada Tesla dan X kembali meminta pekerja kantor. Padahal, 81 persen responden ISL mau lebih memilih bekerja di luar kantor. Kalau harus masuk kantor, maka jam kerjanya harus lentur. Tidak seragam pada 08.00-17.00 untuk semua karyawan. Jam kerja yang lentur dianggap bisa menyeimbangkan antara waktu kerja dan waktu pribadi.
Memang, berbagai kajian menunjukkan ada kelemahan dari cara kerja jarak jauh. Di antara generasi Z atau gen Z pun, ada perusahaan terasing gara-gara memakai sistem belajar dan sistem kerja jarak jauh. Mereka mengeluhkan interaksi yang kurang dengan atasan dan rekan kerja, kesulitan membangun relasi dan jaringan, serta mengecilkan peluang belajar dari orang lain.
Kerja di ruangan yang sama, mungkin saja menghasilkan aneka dampak negatif. Di sisi lain, kerja di ruang yang sama menawarkan peluang berinteraksi dan belajar dari rekan di meja sebelah. Saat bekerja jarak jauh, sulit begitu saja menghubungi rekan kerja karena tidak tahu rekan itu sedang apa. Kalau dalam ruangan yang sama, apalagi jika mejanya bersebelahan, bisa langsung memutuskan akan meminta atau tidak meminta bantuan rekan kerja. Berada di ruangan sama membantu pekerja menilai, apakah saatnya tepat menyapa atau mendiamkan rekan kerja.
Interaksi langsung kerap menjadi salah satu wahana kelahiran ide dan terobosan baru. Bahkan, terobosan bisa tercetus begitu saja di tengah obrolan santai di sela istirahat kerja. Para manajer perlu mencari jalan tengah atas kondisi ini. Jika mau perusahaan bertumbuh, gaji tinggi tinggi saja sudah tidak cukup untuk menarik bakat terbaik. (AFP/REUTERS)