Biden dan Pakar AS Proyeksikan Kejatuhan Ekonomi China
Bukan hanya Biden, semua bakal calon presiden AS berkampanye dengan menjadikan China sebagai tema menarik minat pemilih kelak
Para pakar ekonomi AS meyakini keajaiban ekonomi China telah berakhir. Pertumbuhan tinggi pun akan susah dicapai pada tahun-tahun berikutnya. Perekonomian China mirip badan manusia yang terserang parah Covid-19. Hanya saja pandangan AS ini meragukan. Pihak China menyebutnya sebagai kampanye sumir untuk mengalihkan perhatian warga dari prahara domestik AS.
Adam Posen memantik isu tentang akhir keajaiban ekonomi China lewat tulisannya di situs Foreign Affairs, 2 Agustus 2023 berjudul "The End of China’s Economic Miracle.” Posen menuliskan, ekonomi China mirip manusia terpapar akut Covid-19.
Kelesuan dimulai akibat lock-down ketat pada awal 2020. Ketika China melepas kebijakan zero covid pada awal 2023, besar harapan ekonomi China bangkit cepat. "Sempat tumbuh tinggi tetapi kemudian lesu," demikian Posen.
Baca juga: China Melambat Lagi, Indonesia Bisa Terimbas
Posen melanjutkan, pada dasarnya kelesuan ekonomi China bukan karena Covid semata. Penyebabnya adalah kediktatoran Presiden Xi Jinping, pemberangusan koruptor, kebijakan pemerintah agar bisnis tunduk pada politik sesuai arahan Partai Komunis. Semua ini telah menyebabkan konsumen dan pebisnis tidak bersemangat berkonsumsi dan berinvestasi.
Posen membuat seram gambaran dengan basis pemikiran bahwa hak kepemilikan pribadi di China terancam disita negara. Akibatnya keberanian berinvestasi dan berkonsumsi menurun. Jadi, basis mekanisme pasar telah dilumpuhkan dengan kebijakan pemberangusan Ant Group, milik Jack Ma, sebagai contoh.
Posen mendukung analisisnya lewat data sementara, seperti deflasi 0,3 persen di China pada Juli 2023 dibandingkan dengan Juli 2022. Deflasi ini terjadi pertama kali sejak 2021. Data lain yang dia pakai adalah turunnya ekspor China, yang digambarkan sebagai menurunnya aktivitas ekonomi China. Analis Posen juga menggunakan angka pengangguran para pekeja udia muda (16-24) yang sebesar 20 persen.
Meski demikian, Posen menyebutkan bahwa sebenarnya pemerintah China bisa menggerakkan perekonomian dengan stimulus ekonomi, penurunan suku bunga oleh Bank Sentral China. Akan tetapi ia katakan juga, pemerintah daerah di China sudah kekurangan uang dan stimulus hanya akan menambah utang dan ini berbahaya di depan. Bukti lain, penurunan suku bunga tidak berhasil mendorong konsumsi China, menurut Posen.
Baca juga: Peluang di Tengah Melambatnya China
Posen mengkritik proyeksi pertumbuhan China yang relatif tinggi, yakni di atas 5 persen pada 2023, oleh Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Ia menuliskan, proyeksi itu harus diturunkan agar sesuai kenyataan.
Atas semua itu, Posen mengatakan bahwa kelesuan ekonomi China merupakan kabar baik bagi AS, yang takut China makin kuat jika ekonominya terus melaju. Ia juga sekaligus mengkhawatirkan jika perekonomian global terjerembab resesi, perekonomian China tidak akan bisa lagi mengangkat perekonomian dunia.
Hal lain yang menakutkan, menurut Posen, adalah dana investasi China yang menguntungkan dunia termasuk AS akan surut seiring dengan berakhirnya keajaiban ekonomi China.
Serangan beruntun
Presiden Joe Biden pun turut nimbrung dengan menggaungkan isu bahwa kelesuan perekonomian China. Biden menyebut China kini mirip bom waktu yang membesar dan siap meledak (Bloomberg, 11 Agustus). Biden menambahkan, China sedang mengalami penuaan penduduk dengan jumlah warga pensiunan melampaui jumlah angkatan kerja.
Paul Krugman memperkeruh pandangan tentang ekonomi China, lewat artikel berjudul “Why Is China’s Economy Stumbling?” di The New York Times, 10 Agustus. Krugman menuliskan China mengalami deflasi, yang mengingatkan kasus deflasi Jepang pada dekade 1980-an. Krugman bahkan menyebut Jepang lebih baik dalam penanganan deflasi. “Saya satu kubu dengan para ekonom seperti Michael Pettis dari Carnegie Endowment yang melihat problem China lebih sistematik.” Angkatan di China kerja menurun. Sektor properti penyumbang besar pertumbuhan China juga menurun.
Baca juga: Ekonomi China Tumbuh, RI Genjot Ekspor Lewat RCEP
Krugman mengatakan situasi China jauh lebih buruk dari perkiraan Posen. Intervensi pemerintah atas pasar membuat basis perekonomian melemah, tidak produktif. Hal lain adalah pengangguran tinggi dan reformasi ekonomi yang mandek.
Menurut Krugman, meski demikian posisi China tidak akan memudar sebagai super power. Hanya saja China tidak akan ambruk dan bisa mencengkeram warga agar tak berontak.
Pettis sendiri di situs Carnegie menuliskan, pertumbuhan China sulit karena investasi menghasilkan manfaat yang lebih rendah ketimbang biaya yang dikeluarkan untuk investasi. Berdasarkan aritmatika, Pettis menuliskan, jika investasi dipaksakan terus maka yang terjadi hanya penumpukan utang.
Solusi bagi China adalah konsumsi untuk mengimbangi kemerosotan investasi, maka konsumsi harus ditingkatkan. Akan tetapi Pettis meragukan kemampuan konsumsi di China untuk menggantikan peran investasi dalam perekonomian.
Can China’s Long-Term Growth Rate Exceed 2–3 Percent? - Carnegie Endowment for International Peace
Pakar geopolitik Peter Zeihan, 12 Agustus, mengatakan China sedang menghadapi badai yang dapat meruntuhkan kerajaannya dalam satu dekade mendatang. Militer China yang sangat besar, kontrol ketat atas warganya, utang besar ke AS, ketergantungan pada ekspor, menyusutnya tenaga kerja, dan kebijakan satu anak mengancam stabilitas dan pertumbuhannya. Dia juga memperingatkan konsekuensi global dari kehancuran China, dan apa yang diperlukan untuk mencegahnya.
Baca juga: Sinyal Pemulihan Ekonomi China Jadi Peluang bagi RI
Posen juga menambahkan, Presiden Xi akan tetap bisa menjaga negara dengan aksi tangan besi mirip Hugo Chávez dan Nicolas Maduro di Venezuela, Recep Tayyip Erdogan di Turki, Viktor Orban di Hungaria, dan Vladimir Putin di Rusia.
Menurut Posen, keburukan China ini sekaligus kabar gembira tetapi AS harus bisa memanfaatkan warga dan aset-aset China. Caranya, menurut Posen, adalah merangsang masuk aset keuangan China dan masuknya individu China ke AS. Posen tidak menyarankan agar AS mencabut sanksi ekonomi tetapi cukup merangsang masuk aset dan warga serta mahasiswa China ke AS.
Kampanye negatif
Harian The Global Times, 11 Agustus, memberitakan pernyataan Biden atas China sebagai aksi pengelabuan atas situasi domestik AS, terutama pertumbuhannya yang melemah. Kampanye sumir tentang China digaungkan menjelang pemilu presiden AS pada 2024.
Lewat kampanye buruk tentang China, Biden ingin menyuntikkan keyakinan pada pendengarnya, kata Xin Qiang, Wakil Direktur Center for American Studies, Fudan University. Bukan hanya Biden, semua bakal calon presiden AS berkampanye dengan menjadikan China sebagai tema menarik minat pemilih kelak. Hal itu juga merupakan upaya mengalihkan perhatian dari isu domestik AS seperti isu narkoba, kepemilikan senjata dan isu aborsi di AS.
Kampanye buruk AS tentang perekonomian China, faktanya tidak didukung kenyataan. “Perekonomian China pulih lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara maju dunia,” kata Zhou Mi, peneliti dari Chinese Academy of International Trade and Economic Cooperation. “Dalam proses pemulihan, fluktuasi merupakan hal normal di bidang tertentu,” kata Zhou.
Tuduhan tentang deflasi di China juga tidak berdasar. “Meski sejumlah harga barang anjlok, ekonomi dalam proses pemulihan dan tidak terancam deflasi,” tambah Ming Ming, ekonom dari CITIC Securities.
Dong Lijuan, ahli statistik dari Biro Statistik Nasional China mengatakan, deflasi di China pada Juli 2023 lebih disebabkan inflasi tinggi pada tahun 2022. “Inflasi turun secara tahunan tetapi itu hanya bersifat temporer,” kata Dong, Rabu (9/8).
Baca juga: Dampak Ganda Pembukaan Ekonomi China bagi Pasar Global
The Global Times melanjutkan, tuduhan pihak AS tentang timbunan utang China. Malah AS sendiri baru saja mengalami penurunan peringkat utang dari Fitch dari AAA menjadi AA+. Tambahan pula, Undang-undang Kebangkrutan AS (US Chapter 11) telah menerima pengajuan kebangkrutan dari 2.973 perusahaan selama semester pertama 2023, naik 68 persen dari tahun lalu.
Media Barat, khususnya AS, sudah berulang kali mengampanyekan akhir dari keajaiban ekonomi China. Isu seperti itu sudah ditupkan sejak dekade 2010-an. Di sisi lain sampai sekarang China masih dipandang sebagai sumber stabilitas dan pertumbuhan ekonomi global. “Standard Chartered sangat optimis akan prospek jangka panjang perekonomian China,” kata Zhang Xiaolei, Kepala Standard Chartered China. UBS juga melaporkan tetap optimis dengan perekonomian China.
Soal pertumbuhan ekonomi China, pada 2023 akan tumbuh di atas 5 persen. Ini jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi AS yang hanya 1,6 persen. Angka pengangguran di China secara nasional 5,2 persen pada 2023, lebih rendah dari pengangguran di zona euro yang di atas 6 persen.
Sembrono memakai data
China paham ada masalah di dalam negeri. Ada kelesuan permintaan, kesulitan operasional perusahaan, dan risiko di sejumlah area. Akan tetapi Partai Komunis China saksama memantau situasi dan siap meluncurkan kebijakan. Pemerintah China juga menerapkan peraturan dan meluncurkan kebijakan untuk mencegah penurunan ekonomi. Hasilnya adalah pemulihan pertumbuhan.
Pemerintahan daerah di China juga dirangsang untuk bisa menggerakkan perusahaan swasta. Jika ada aksi pemerintah daerah yang menghalangi gerak bisnis swasta, pemerintah pusat akan memberikan sanksi pada pemerintah daerah.
Josef Gregory Mahoney, profesor politik dan relasi internasional di East China Normal University (Shanghai) mengatakan China sudah kebal dengan cercaan dan pelecehan buruk sejak Donald Trump. Jadi China tidak perlu heran dengan cercaan terbaru.
Bahkan cercaan AS termasuk oleh Biden, tampak serampangan dan menyebut angka-angka seenaknya. Biden misalnya, menyebutkan jumlah penduduk usia tua di China melebihi jumlah pekerja. Faktanya, China memiliki 876 pekerja dan jauh lebih banyak dibandingkan dengan 280 juta pensiunan atau berusia di atas 60 tahun.
Peter Zeihan menyebutkan China berutang ke AS. Kenyatannya adalah China yang menjadi pembeli kedua terbesar obligasi terbitan pemerintah AS, setelah Jepang. Artinya, adalah pemerintah AS yang berutang besar ke pemerintah China.
Posen dan Krugman menyinggung intervensi pemerintah China tentang perekonomian, yang dikatakan telah meredam pertumbuhan. Benar, pertumbuhan ekonomi China telah menurun dari level 10 persen yang pernah dicapai pada awal 2000-an. Akan tetapi otoritas China telah menyatakan bahwa lebih bagus meraih pertumbuhan lebih rendah ketimbang pertumbuhan tinggi tetapi ditopang utang tinggi dan aksi-aksi spekulasi.
China memilih pertumbuhan rendah ketimbang pertumbuhan tinggi yang didukung aksi sporadis investasi dan spekulasi di pasar. Intervensi pemerintah China tentang perekonomian bukan untuk meredam mekamisme pasar tetapi menopang mekanisme pasar lewat peraturan keuangan yang menegakkan etika bisnis ketimbang bisnis berjalan liar dan tanpa aturan. (Reuters/AP/AFP)