Berakhir Sudah Masa Kejayaan WFH
Mewajibkan karyawan untuk bekerja di kantor lagi adalah praktik yang sudah ketinggalan zaman, setua Revolusi Industri yang menciptakannya.
”Kita ketemu di Zoom saja, ya”, ”Bisa disiapkan ruangan di Zoom untuk rapat?”, ”Duh, capai juga, ya, Zoom seharian”.
Masih ingat kalimat-kalimat yang sering didengar ketika kita masih menggunakan aplikasi telekonferensi video, Zoom, semasa pandemi Covid-19? Apalagi ketika kebijakan pembatasan sosial diberlakukan. Hampir setiap hari, Zoom hadir ketika banyak orang masih bekerja dari jarak jauh atau tidak bekerja di kantor. Bisa di rumah, kafe, atau di tempat-tempat umum lainnya. Masa-masa kejayaan revolusi work from home (WFH) atau bekerja dari rumah itu harus berakhir.
Baca juga: Pilih WFH dan WFO?
Perusahaan pionir telekonferensi video, Zoom, sudah meminta karyawannya kembali bekerja di kantor dua hari dalam seminggu. Namun, ketentuan itu untuk sementara khusus bagi karyawan yang tinggal dalam radius 80,4 kilometer dari kantor. Zoom yang menjadi andalan publik untuk berkomunikasi bersama dari jarak jauh dan identik dengan pekerjaan jarak jauh ini akhirnya memilih memberlakukan pendekatan cara kerja campuran. Kerja di rumah dan juga di kantor adalah pilihan efektif bagi Zoom serta akan diberlakukan pada bulan ini atau bulan depan.
Zoom yang berbasis di San Jose, California, Amerika Serikat, itu tumbuh eksplosif selama tahun pertama pandemi Covid-19 ketika banyak perusahaan bergegas beralih ke WFH atau bekerja dari jarak jauh. Keluarga dan teman bahkan beralih ke platform ini untuk bertemu ramai-ramai secara virtual sebagai obat rindu, terutama ketika banyak negara memberlakukan pembatasan sosial atau lockdown. Saham Zoom Video Communications Inc melonjak 15 kali lipat dari harga penawaran umum perdana setahun sebelum pandemi. Nilai pasar sahamnya mencapai lebih dari 140 miliar dollar AS dan membuatnya unggul di sektor teknologi saat krisis Covid-19.
Namun, pertumbuhan Zoom kemudian mandek karena ancaman pandemi surut. Sahamnya anjlok dari 559 dollar AS pada Oktober 2020 menjadi di bawah 70 dollar AS pada Selasa (8/8/2023). Saham merosot lebih dari 10 persen pada Agustus. Pada Februari lalu, Zoom sudah memutus hubungan kerja terhadap sekitar 1.300 orang atau 15 persen dari total jumlah tenaga kerjanya.
Zoom memiliki 8.000 karyawan di 12 kantor di seluruh dunia. Sahamnya jatuh karena banyak pelanggannya yang mulai memanggil karyawannya untuk kembali bekerja di kantor. ”Membiarkan karyawan bekerja di mana saja sudah menjadi tren. Sulit memaksa karyawan untuk kembali. Saya kira bekerja secara campuran akan menciptakan peluang bisnis baru bagi perusahaan,” kata CEO Zoom Eric Yuan.
Baca juga: Wajah Perkantoran Setelah Pandemi, Masihkah Dirindukan?
Perusahaan teknologi lain, seperti Google, Salesforce, dan Amazon, juga sudah menerapkan kebijakan kembali bekerja di kantor meski ada saja karyawan yang tidak setuju. Karyawan merasa keberatan karena frustrasi dengan waktu dan uang yang terbuang ketika mereka harus ke kantor. Sama seperti di Zoom, mereka juga meminta karyawan datang ke kantor hanya paruh waktu karena pekerjaan ”campuran rumah dan kantor” adalah warisan pandemi Covid-19 yang susah hilang.
Perusahaan Apple memiliki ketentuan lain lagi. Karyawan diminta untuk datang ke kantor tiga hari dalam seminggu. Sementara perusahaan Commonwealth Bank meminta karyawan menghabiskan waktu selama 30 menit setiap bulan untuk berada di kantor.
Harian The Guardian, Senin lalu, mengutip hasil survei terbaru di Inggris yang menunjukkan karyawan Inggris bekerja dari rumah rata-rata 1,5 hari seminggu, dibandingkan dengan rata-rata karyawan di dunia selama 0,9 hari. Pada 2019, sekitar 12 persen karyawan Inggris bekerja dari rumah sampai batas tertentu. Pada 2022, jumlahnya antara 25 persen dan 40 persen.
Selain perusahaan teknologi, Gedung Putih juga tidak mau lagi memberlakukan WFH. Pada pekan lalu, Gedung Putih meminta badan-badan kabinet untuk memerintahkan para pekerja federal kembali bekerja di kantor lebih sering dalam beberapa bulan ke depan. CNN yang memperoleh surat elektronik internal mengenai kebijakan baru itu menyebutkan, Kepala Staf Gedung Putih Jeff Zients mengatakan, pertemuan tatap muka dan kehadiran di kantor sangat penting bagi pemerintah untuk menjalankan agenda kebijakan. Apalagi dengan semakin dekatnya pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2024.
Baca juga: Haruskah Pekerja Kembali ”Work from Office”?
Guru Besar Ekonomi di Universitas Stanford Nicholas Bloom yang meneliti bekerja jarak jauh menilai keputusan Zoom masuk akal karena perusahaan itu memiliki banyak ruangan di gedungnya dan banyak karyawan lokal. Perusahaan sudah banyak mengeluarkan investasi untuk gedung. Meski begitu, mewajibkan karyawan untuk bekerja di kantor lagi adalah praktik yang sudah ketinggalan zaman, setua Revolusi Industri yang menciptakannya.
”Jika Anda membayar ruang kantor dan gaji sudah tinggi, masuk akal kalau Zoom meminta karyawan untuk bekerja campuran. Sebagian besar karyawan Zoom sudah bekerja dengan cara ini,” tulis Bloom di akun media sosial X.
Harian The New York Times, Selasa, menyebutkan, kerja campuran dan jarak jauh masih tetap jauh di atas tingkat sebelum pandemi Covid-19. Pada Juli lalu, menurut para peneliti di Stanford University, hampir sepertiga dari pekerja penuh waktu di AS berada dalam pengaturan sistem kerja campuran: beberapa hari bekerja dari rumah dan beberapa hari di kantor.
Banyak perusahaan menghadapi perlawanan sengit saat mereka memanggil karyawan kembali ke kantor. Ratusan karyawan perusahaan Amazon, misalnya, mogok kerja selama satu jam pada Mei lalu untuk memprotes pengumuman perusahaan bahwa mereka harus kembali ke kantor setidaknya tiga hari seminggu. Di Apple, karyawan perusahaan menandatangani petisi yang memprotes kembalinya mereka ke kantor.
Baca juga: Waspadai ”Zoom Fatigue” di Kala WFH, Kenali Tanda dan Gejalanya
Ada studi terbaru yang mengonfirmasi manfaat karyawan bekerja di kantor. Para ekonom di Bank Sentral New York dalam makalah yang dirilis awal tahun ini bersama University of Iowa dan Harvard University menemukan, di salah satu perusahaan teknologi, pekerjaan jarak jauh justru menurunkan jumlah umpan balik yang diterima karyawan yunior atas pekerjaan mereka. Namun, menurut konsultan manajemen kerja Gallup, lebih dari 90 persen pekerja yang dapat melakukan pekerjaannya dari jarak jauh sekarang menginginkan fleksibilitas di tempat mereka bekerja.
Bagi banyak karyawan, bekerja dari rumah atau jarak jauh selama pandemi Covid-19 bisa memberikan kesempatan untuk mengevaluasi kembali hubungan mereka dengan pekerjaan dan mengembangkan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih sehat. Namun, itu berlaku bagi karyawan yang memang sifat pekerjaannya bisa bekerja dari jarak jauh. Jauh sebelum pandemi, karyawan yang bisa bekerja dari rumah dapat berpenghasilan lebih banyak dan lebih bahagia ketimbang mereka yang bekerja di kantor. Namun, di mata perusahaan, bekerja di kantor tetap cara kerja yang akan meningkatkan inovasi, koneksi, dan kolaborasi.