Topan Khanun Berbalik Kembali ke Jepang, China dan Taiwan Waspada
Fenomena topan berbalik kembali adalah biasa. Yang tidak biasa, Khanun berputar balik secara mendadak dan tajam. China dan Taiwan bersiaga. Kawasan Asia Pasifik memiliki risiko bencana alam terbesar di dunia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
NAHA, KAMIS – Topan Khanun yang kini berada di antara Jepang dengan China diperkirakan berputar balik dan kembali ke Pulau Okinawa, Jepang pada Kamis (3/8/2023) tengah malam hingga Jumat (4/8/2023) dini hari. Topan ini telah mengakibatkan 62 orang terluka dan dua orang tewas di wilayah paling selatan Jepang itu.
Berita mengenai akan berputar baliknya Topan Khanun ini diumumkan oleh Badan Meteorologi Jepang. “Sejatinya, topan berputar balik itu bukan fenomena yang aneh. Akan tetapi, hal tidak lazim dari Topan Khanun ini ialah berputar baliknya mendadak dan tajam,” demikian kata keterangan pers lembaga tersebut.
Khanun berarti nangka dalam bahasa Thailand. Topan itu menyambangi Okinawa pada hari Selasa lalu sambil membawa hujan lebat. Pemerintah daerah Okinawa mencatat, dalam dua hari kedatangan Khanun itu, 31 persen rumah di Okinawa atau setara dengan 222.000 rumah mati listrik.
Kementerian Perekonomian dan Perindustrian Jepang merilis data, di Kepulauan Amami, gugus di utara Okinawa, masih ada 7.000 rumah tanpa aliran listrik. Baik di Okinawa maupun Amami, rumah sakit yang tidak dialiri listrik hanya menerima pasien apabila situasinya mendesak. Layanan kesehatan dialihkan ke fasilitas kesehatan yang mampu.
Media NHK melaporkan, ada 62 orang yang terluka akibat terkena dampak topan. Umumnya, mereka terluka terkena puing-puing atap bangunan yang melayang ditiup angin kencang. Ada dua korban tewas, salah satu di antaranya adalah seorang laki-laki berumur 90 tahun yang tertimpa atap garasinya.
Badan Meteorologi Jepang juga mengumumkan bahwa perkiraan cuaca hingga akhir pekan ini ialah terus hujan. Jumat diperkirakan curah hujannya 200 milimeter. Lembaga itu juga memperkirakan bahwa dengan berputar baliknya Topan Khanun ke Okinawa, China dan Taiwan kemungkinan besar tidak akan dilewati oleh badai tersebut.
Meskipun demikian, dengan kecepatan angin 162 kilometer per jam, radius tiupannya mencapai 100 kilometer. Artinya, ketika bergerak kembali ke Jepang, sejumlah daerah di pesisir timur laut Taiwan dan di selatan China akan terkena embusannya. Oleh sebab itu, China dan Taiwan tetap bersiaga.
Di Taiwan, kota-kota yang terdampak tiupan angin Khanun adalah Taipei, New Taipei City, Keelung, Taoyuan, dan Yilan yang berada di utara dan pesisir timur laut. Pulau-pulau dilepas pantai timur Taiwan, yaitu Lan Yu (Pulau Anggrek) dan Lu Dao (Pulau Hijau) juga berjaga-jaga.
“Sekarang ini, pemerintah kota Taipei, New Taipei City, Taoyuan, dan Keelung masih rapat. Nanti malam baru kami bisa membuat pengumuman bersama jika Jumat itu libur bersama atau tidak,” kata Wali Kota Taipei Chiang Wan-an kepada surat kabar Taipei Times.
Kantor berita Taiwan, Central News Agency, mengabarkan, jalur kereta ke utara ditutup karena ada beberapa titik yang terganggu longsoran batu-batu akibat angin kencang. Demikian pula dengan layanan penerbangan dan perkapalan. Perusahaan listrik nasional, Taipower, mengatakan bahwa sebelumnya ada 13.000 rumah yang mengalami pemadaman listrik. Dari jumlah itu, masih ada 1.300 rumah yang listriknya belum menyala karena alirannya masih diperbaiki.
Citra satelit yang dirilis oleh National Institute of Information and Communications Technology (NICT) memperlihatkan topan Khanun bergerak ke utara menuju Okinawa, Jepang barat daya pada Selasa (1/8/2023).
Sejumlah waduk, antara lain, Waduk Wujie di Nantou dikurangi airnya dengan cara membuka pintu air di bendungan. Tindakan ini dilakukan untuk berjaga-jaga apabila terjadi hujan lebat, waduk tetap bisa menampung air. Perkiraannya, Kamis malam hingga Jumat akan turun hujan dengan curah 200 milimeter.
Di China, persiapan juga dilakukan, walaupun perkiraan Badan Meteorologi Nasional mengatakan kecil kemungkinan Topan Khanun menghantam. Hal ini karena China baru saja terimbas Topan Doksuri di Beijing, Hebei, dan Henan. Apabila Topan Khanun mampir, wilayah-wilayah ini akan terkena badai lagi, padahal masih belum pulih dari badai awal pekan ini.
Asia Pasifik
Kawasan Asia Pasifik memiliki risiko bencana alam terbesar di dunia. Berdasarkan kajian Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2018, penyebab kerugian yang besar setiap kali terjadi bencana alam di Asia Pasifik ialah karena mayoritas negara di kawasan ini masih negara berkembang maupun miskin.
Penduduknya padat dan banyak yang tinggal di lokasi rawan terdampak bencana alam. Hal ini ditambah dengan mutu bangunan tempat tinggal maupun tempat bekerja tidak tahan bencana, sehingga risiko korban jiwa, korban luka, dan kerugian material sangat tinggi.
Dari segi cuaca ekstrem. Pemanasan global akibat perubahan iklim menjadi penyebab utama. Kenaikan suhu Bumi mengakibatkan lebih banyak penguapan sehingga tingkat kelembaban dan pengembunan di angkasa meningkat. Ini yang membuat hujan lebih deras dan apabila digabung dengan musim hujan, terutama La Nina, bencana yang ditimbulkan semakin tinggi risikonya.
Pekan lalu, Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik (UNESCAP) mengeluarkan laporan bahwa negara-negara di Asia Pasifik secara keseluruhan membutuhkan dana 145 miliar dollar Amerika Serikat untuk membangun sistem mitigasi bencana alam. Sejauh ini, mayoritas negara di kawasan mengeluarkan kurang dari 10 persen dari biaya yang diperlukan untuk mitigasi di wilayah masing-masing.
UNESCAP menjelaskan bahwa PBB menargetkan per tahun 2027, setiap individu di dunia harus diliputi di dalam sistem mitigasi bencana lokal. Ini mencakup sistem peringatan dini sehingga setiap orang bisa menyiapkan diri apabila ada pengumuman kemungkinan terjadi bencana; ketersediaan sarana dan prasarana untuk evakuasi maupun penunjang selama bencana terjadi; dan mitigasi bencana berupa berbagai tindakan, mulai dari penghijauan, penurunan pemakaian bahan bakar fosil, membangun infrastruktur antibencana, tata kota, hingga tata pemerintahan.
Laporan itu mengatakan, apabila sistem ini ada dan berjalan, risiko kematian akibat bencana bisa dikurangi hingga delapan kali. Sebaliknya, tanpa sistem mitigasi, bencana setiap tahun di Asia Pasifik mengakibatkan kerugian material 3,1 persen dari pendapatan domestik bruto kawasan ini atau sekitar 1 triliun dollar AS.
Pada tahun 2022 saja, Asia Pasifik terkena 140 bencana yang mayoritas adalah bencana hidrometeorologi. Artinya, bencana itu berkaitan erat dengan cuaca ekstrem, antara lain berupa banjir, longsor, dan kekeringan parah. Sebanyak 62 juta penduduk terdampak bencana dan 7.300 orang tewas. Bencana yang memakan korban terbesar adalah di Pakistan pada pertengahan tahun lalu.
Dikatakan bahwa China, India, dan Jepang adalah negara-negara dengan kerugian material paling besar karena kepadatan penduduknya. Negara-negara kepulauan kecil, antara lain ialah Republik Federasi Mikronesia, Vanuatu, Palau, dan Tonga terpapar risiko kerusakan paling besar karena apabila terjadi badai, mereka semakin kehilangan daratan. Adapun negara-negara berkembang Kamboja, Bhutan, dan Laos diperkirakan bisa menderita kerugian sebesar 7-13 persen dari PDB masing-masing. (AP)