Remi Lucidi, Berburu Ketenaran Sampai Kehilangan Nyawa
Pengejaran popularitas sudah ada sejak sebelum era media sosial. Dulu, pengejaran hanya dilakukan remaja. Kini, anak-anak hingga orang dewasa berlomba menjadi populer di media sosial
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Ketenaran melalui media sosial bagaikan candu. Remi Lucidi (30) membayar kecanduan itu dengan nyawanya. Pria asal Perancis itu tewas setelah jatuh dari gedung tinggi di Hong Kong.
Kepolisian Hong Kong dalam pernyataan pada Senin (31/7/2023), membenarkan ada seorang pria tewas karena jatuh dari gedung tinggi. Sejumlah media Hong Kong menyebut, pria itu terakhir kali diketahui mengetuk jendela di salah satu menara pada Kompleks Tregunter pada Kamis (27/7/2023) malam. Jenazah korban, menurut polisi, masih di kamar mayat. Sejauh ini, polisi tidak menemukan indikasi kekerasan oleh pihak lain. Tidak ditemukan pula indikasi bunuh diri di lokasi.
Belum diketahui bagaimana cara Lucidi berada di ketinggian. Ia diduga mengelabui penjaga gedung dengan mengaku hendak menyambangi kenalan di lantai 40. Saat petugas sedang memeriksa kebenaran keterangannya, Lucidi diduga mulai memanjat menara tersebut.
Media lokal, termasuk South China Morning Post mengutip seorang sumber menyebutkan, Lucidi terlihat terakhir kali terlihat saat mengetuk jendela kaca sebuah penthouse di lantai 68 pencakar langit itu. Lucidi, terakhir mengunggah foto pemandangan malam Hong Kong seminggu yang lalu di Instagram. Ia menandai lokasi foto – yang tampak diambil dari atas – sebagai Times Square di distrik perbelanjaan Causeway Bay. Lucidi pernah mengunggah foto yang diberinya judul “Di atas langit, 425m”. Ia menandai dengan “Dubai” sebagai lokasi foto tersebut.
Lucidi selama ini dikenal sebagai selebgram, atau orang-orang yang dikenal karena aktivitasnya di Instagram. Lucidi, yang memakai akun Remi Enigma, kerap menggunggah foto dan video sedang berada di bangunan tinggi. Mayoritas bangunan itu berada di Eropa dan Asia. Dalam foto dan video yang diunggahnya, Lucidi hampir tidak pernah menggunakan pengaman. Ia malah sibuk merekam dirinya sembari memegang tongkat swafoto.
Di Instragram, Lucidi punya 27.000 pengikut. Sementara unggahan videonya bisa disukai sampai 500.000 orang. Dengan kata lain, orang-orang yang menyukainya belum tentu menjadi pengikut akunnya. Jumlah penyuka yang lebih besar dari pengikut menjadi salah satu indikasi ketenaran akun media sosial. Tak heran bila kepergiannya diratapi oleh para pengikut dan pendukungnya.
Harga Popularitas
Pakar psikologi pada University of North Carolina Mitch Prinstein pernah mengingatkan, ada harga atas popularitas di media sosial. Harganya tergantung jenis popularitas yang dikejar.
Orang-orang yang mencari status akan kerap dilanda kecemasan, kelelahan, dan kecanduan untuk terus mengunggah ke media sosial. Sementara orang-orang yang mengunggah agar unggahannya disukai, akan lebih sehat jiwa dan raga. Dengan perkembangan Instagram dan media sosial sejenis untuk membagikan foto dan video, yang paling banyak dikejar adalah soal validasi status.
Prinstein menyebut, mengejar popularitas sudah ada sejak sebelum era media sosial. Para remaja dulu melakukan berbagai hal agar dikenal di lingkungannya. Karena lingkungan yang disasar terbatas, tekanannya tidak setinggi sekarang.
Selain itu, dulu pengejaran popularitas hanya dialami remaja. Hal itu bagian dari proses transisi dan pencarian jati diri. Dulu, orang-orang berusia di atas 20 tahun dan tidak bekerja di industri hiburan, tidak lagi mencari popularitas.
Sekarang, situasi berbeda. Lucidi adalah contoh orang dewasa yang tetap berusaha populer dengan cara ekstrem. Orang-orang dari berbagai rentang usia kecanduan mencari validasi status. Prinstein menyebutnya sebagai wabah masa SMA. Terjebak pada cara pandang seperti itu, menurut Prinstein, buruk bagi kondisi mental orang-orang dalam berbagai rentang usia.
Sementara pengajar di Claremont Graduate University, Paul J. Zak, pernah meneliti dampak penggunaan media sosial. Ia menemukan, pengguna media sosial menghasilkan hormon oksitosin dan dopamin kala menggunggah dan melihat jangkauan unggahan mereka.
Oksitosin secara alami dihasilkan oleh sentuhan kasih sayang di antara manusia. Kadang, oksitosin disebut sebagai hormon berpelukan. Sebab, hormon itu paling kerap diproduksi orang yang berpelukan dengan orang yang dikasihinya.
Dalam riset Zak, produksi hormon itu ikut menjadi faktor subyek risetnya kecanduan media sosial. Subyek merasa kehilangan sebagian kehidupannya kalau tidak mengunggah atau melihat media sosial selama beberapa waktu. “Dunia subyek ada di media sosial. Teman, keluarga, kenalan ada di sana. Bukan di dunia nyata,” kata dia.
Riset itu dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa di University of Maryland beberapa tahun lalu. Setelah beberapa tahun lewat, kesimpulan Zak belum banyak berbeda dari fakta di lapangan.
Ada pun dosen pada Chicago University, Wilhelm Hofmann, pernah meriset di Jerman. Dalam penelitian itu disebut, kecanduan pada sosial media lebih susah ditolak dibandingkan kecanduan pada nikotin dan alkohol. Apalagi, sebagian orang tidak merasa ketagihan pada sosial media sebagai kecanduan. Hampir setiap kecanduan bisa berakibat buruk. (AP/AFP/REUTERS)