Lebih dari 73 persen aturan-aturan yang bisa mendorong integrasi ekonomi negara ASEAN sudah selesai. Akan tetapi, jalan menuju integrasi yang sesungguhnya masih panjang.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN terengah-engah untuk mewujudkan kawasannya sebagai pusat pertumbuhan. Meski sejumlah upaya dan persyaratan telah ditegakkan, merealisasikan integrasi ekonomi Asia Tenggara masih menghadapi jalan berliku.
Demikian mengemuka dalam seminar yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan The Habibie Center, di Jakarta, Selasa (25/7/2023). Seminar yang bertajuk ”ASEAN sebagai Epicentrum of Growth: Menuju ASEAN yang Inklusif dan Terintegrasi di Bawah Keketuaan Indonesia” menghadirkan Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Regional dan Subregional Kementerian Koordinator Perekonomian Netty Muharni, Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hadi, serta Kepala Pusat Penelitian Makroekonomi dan Keuangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Zamroni Salim.
Netty menjelaskan, sejak ditetapkan sebagai cetak biru pada 2015, perjalanan penegakan aturan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) telah mencapai 73 persen. Di bawah keketuaan Indonesia, saat ini negosiasi terus dilakukan, termasuk dua hal yang menjadi prioritas, yaitu soal keamanan pangan dan kesepakatan kerangka kerja ekonomi digital (DEFA).
”Tadinya kerangka kerja ini baru menjadi agenda kerja sama ASEAN tahun 2025. Akan tetapi, di bawah Indonesia, agenda ini dimajukan,” kata Netty. Menurut rencana, negosiasi tahap pertama akan berlangsung akhir tahun, jelang serah terima keketuaan ASEAN kepada Laos.
ASEAN, menurut Netty, selama ini telah menjadi hub bagi perdagangan global. Mengutip data East-West Center, Netty menyebut, nilai totalnya mencapai 2,8 triliun dollar AS. Modalitas posisi geografis dan geoekonomi itu juga ditunjang dengan bonus demografi setiap negara anggota ASEAN, kinerja ekonominya, hingga peluang untuk menggali potensi ekonomi hijau dan biru di kawasan ini.
Dengan 58 persen jumlah penduduknya masuk dalam kategori usia produktif dan merupakan angkatan kerja ketiga terbesar di dunia setelah China dan India, warga ASEAN bisa menjadi calon konsumen dan juga produsen. Apalagi, pada 2030 diperkirakan 70 persen penduduk ASEAN akan tinggal di kota-kota besar dengan pendapatan menengah ke atas.
Dalam pandangan Zamroni, rencana integrasi ekonomi ASEAN bisa terkoreksi dengan masih cukup lebarnya ketimpangan ekonomi di antara negara-negara anggota. Hal lainnya adalah rencana bergabungnya Timor Leste sebagai anggota terbaru organisasi regional ini. Perekonomian Timor Leste masih sangat muda dan tingkat pendapatan per kapita cukup rendah, sekitar 2.700 dollar AS.
Ketimpangan itu, menurut Zamroni, berbuah pada masih stagnannya nilai perdagangan intra-ASEAN. Meski perdagangan bebas di kawasan ASEAN telah mengalami perubahan dan perluasan secara berkala, proporsi perdagangan intra-ASEAN tergolong rendah untuk sebuah organisasi regional.
Dalam catatannya, perdagangan intra-ASEAN stagnan sejak tahun 2008. Hingga saat ini, angkanya masih di bawah 30 persen. Hanya Kamboja yang nilai perdagangan dengan negara-negara ASEAN tinggi, yaitu berkisar 58,9 persen. Nilai perdagangan dengan anggota ASEAN yang paling kecil adalah Vietnam, yaitu kurang dari 10 persen.
Dibandingkan dengan Uni Eropa, nilai perdagangan sesama anggotanya telah di atas 70 persen per tahun. Capaian itu salah satunya karena setiap negara mendorong para pebisnisnya untuk berinvestasi di negara-negara anggota.
Zamroni mengakui, ada pandangan yang menyebut kehadiran anggota baru bisa berkontribusi positif dalam pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, jika pertumbuhan itu hanya mengandalkan pola konsumsi semata, akan berdampak pada perekomian secara lebih luas. ”Akselerasi ekonomi bisa terkoreksi,” katanya.
Sementara dalam pandangan Fithra, ASEAN bisa menjadi pusat pertumbuhan dengan memanfaatkan posisinya di dalam percaturan politik global. ASEAN, yang secara tradisional mengikuti garis kebijakan luar negeri Indonesia, dinilai memiliki keuntungan karena kedekatan hubungan yang terbangun antara negara-negara besar, terutama yang ekonominya sangat kuat, seperti China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Mantan Tenaga Ahli Kementerian Perdagangan Bidang Analisa Implementasi Kebijakan Perdagangan Luar Negeri ini mengatakan, ASEAN bisa menangkap peluang adanya rencana dari sejumlah negara, seperti AS, Jepang, dan negara Eropa lain, untuk memindahkan basis produksinya. ASEAN bisa mengintegrasikan basis produksi negara-negara besar itu di kawasan ini.