Kegelisahan Oppenheimer, Kegelisahan Kita
”Bapak Atom” Oppenheimer pun ngeri melihat ledakan bom atom di New Mexico dan Jepang, lalu ”insaf”. Sejumlah negara malah berlomba-lomba membuat bom yang lebih dahsyat.
”Sekarang, saya menjadi Kematian, penghancur dunia”. Kutipan terkenal ”Bapak Atom” J Robert Oppenheimer yang diambil dari kitab Bhagavad-Gita itu kembali beredar luas setelah film Oppenheimer yang disutradarai Christopher Nolan tayang di seluruh dunia sejak 21 Juli 2023. Kisah fisikawan Amerika Serikat yang memimpin Proyek Manhattan di Los Alamos pada awal 1942 untuk membangun bom atom selama Perang Dunia II itu tetap relevan sampai sekarang karena dunia masih hidup dalam bayang-bayang bom dan nuklir.
Apalagi dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang meningkatkan risiko itu. Belum lagi ketegangan antarnegara, seperti China-Amerika Serikat, China-Taiwan, India-Pakistan, India-China, dan Korea Utara-Korea Selatan-Jepang. Dunia masih hidup di zaman nuklir yang dibantu diwujudkan Oppenheimer pada 1945. Dunia juga masih dihadapkan pada dilema moral dan politik yang sama dengan yang dialami Oppenheimer soal bagaimana mengelola ancaman yang ditimbulkan oleh senjata pemusnah massal.
Baca juga : Indonesia Tegaskan Kawasan Asia Tenggara Bebas Senjata Nuklir
Film Oppenheimer menawarkan kesempatan untuk menghidupkan kembali perdebatan mengenai ancaman nuklir. Ketika AS menjatuhkan bom atom ke kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah. PD II berakhir dan Oppenheimer dipuji sebagai pahlawan. Padahal, Oppenheimer terguncang dan merasa ngeri dengan kekuatan teknologi yang dia ciptakan sendiri.
Beberapa tahun kemudian, pada 1954, izin keamanan Oppenheimer dicabut karena ia dianggap sebagai ancaman keamanan negara. Alasannya, ia memiliki hubungan dengan gerakan kiri di University of California, Berkeley. Ini karena kekasih dan saudara laki-lakinya, Frank, tergabung dalam Partai Komunis. Selain itu, ada alasan lain.
Setelah melihat hasil ledakan nuklir di Los Alamos dan Jepang, Oppenheimer tidak mau lagi disuruh membantu membuat bom yang lebih kuat atau bom hidrogen. Kisah Oppenheimer dalam film itu sebenarnya peringatan bagi para pemimpin dunia. ”Senjata atom adalah bahaya yang memengaruhi hidup semua orang di dunia. Masalah ini harus ditangani bersama secara bertanggung jawab,” kata Oppenheimer.
Ini menjadi akhir dari karier Oppenheimer di pemerintahan. Ia tidak lagi memiliki kemampuan untuk memengaruhi masa depan energi atom dalam Perang Dingin. Banyak fisikawan, termasuk Albert Einstein, yang juga kecewa karena AS telah menjatuhkan bom tanpa peringatan pada musuh yang sudah dikalahkan. Oppenheimer berharap munculnya bom atom itu akan membuat orang tidak mau lagi berperang dan menciptakan kontrol internasional atas senjata semacam itu.
Namun, begitu Rusia memiliki bom atom, harapan Oppenheimer diabaikan kelompok garis keras, seperti Presiden AS pada waktu itu, Harry S Truman. Kini, ada sembilan negara yang memiliki senjata nuklir. AS dan Rusia memiliki sekitar 90 persen dari hampir 13.000 senjata nuklir dunia. Pada saat yang sama, persenjataan nuklir China meningkat pesat dan berpotensi mencapai 1.500 hulu ledak pada 2035. China kini memiliki sekitar 40 hulu ledak.
Joan Rohlfing, Presiden dan Chief Operating Officer Inisiatif Ancaman Nuklir, organisasi keamanan global nonprofit dan nonpartisan yang fokus pada pengurangan ancaman nuklir dan biologis, mengatakan, situasi dunia yang serba tegang meningkatkan risiko penggunaan senjata nuklir. Contohnya, hubungan diplomatik AS-Rusia yang anjlok, AS-China yang berada pada titik terendah dalam sejarah, ketegangan India-Pakistan yang sama-sama memiliki senjata nuklir, dan India-China yang panas terus.
Belum lagi program nuklir Inggris dan Korea Utara yang berkembang pesat. Sayangnya, kesadaran publik akan semua ancaman yang terus meningkat ini sangat rendah. Itulah sebabnya, banyak ahli nuklir khawatir dunia tidak sadar sedang berjalan menuju bencana nuklir. ”Senjata nuklir yang ada saat ini jauh lebih kuat daripada nuklir di zaman Oppenheimer,” kata Rohlfing.
Baca juga : Senjata Nuklir yang Mengancam Sewaktu-waktu
Daya ledak nuklir pada zaman Oppenheimer saja membuatnya terguncang. Ketika melihat ledakan nuklir pertama di Alamogordo, New Mexico, pada 16 Juli 1945, Oppenheimer segera tahu dunia tidak akan pernah sama lagi. Apalagi, AS akhirnya tetap mengembangkan bom hidrogen yang ia tentang. Ia dilaporkan syok setelah melihat hasil tes di New Mexico itu.
Pemerintah menjadikan daerah itu sebagai kelinci percobaan karena terpencil, datar, dan memiliki kondisi angin yang bisa diprediksi. Karena sifatnya rahasia, penduduk di sekitarnya tidak diperingatkan. Padahal, penduduk perdesaan itu menggantungkan hidupnya pada pertanian dan peternakan. Mereka tidak tahu abu halus yang bertebaran di mana-mana adalah hasil dari ledakan atom pertama di dunia itu.
Pemerintah awalnya berusaha menyembunyikan tes nuklir itu dengan mengatakan, ledakan di tempat pembuangan amunisi menyebabkan gemuruh dan cahaya terang yang terlihat sampai 257 kilometer jauhnya. Baru setelah AS menjatuhkan bom di Jepang beberapa minggu kemudian, penduduk New Mexico menyadari apa yang sudah mereka saksikan.
Menurut Taman Sejarah Nasional Proyek Manhattan, sebagian besar radiasi melesat ke atmosfer dan jatuh di area seluas 402 kilometer persegi, tetapi konsentrasi terbesar ada di sekitar 48 kilometer dari lokasi uji. Itu baru bom atom buatan Oppenheimer dan kawan-kawan.
Bayangkan, bom hidrogen 80 kali lebih kuat ketimbang bom Hiroshima. Setelah AS, Rusia juga berencana menyebarkan senjata nuklir yang lebih kuat. Oppenheimer pernah meramalkan, strategi kompetisi nuklir akan menyebabkan kompetisi persenjataan. Dan, ia benar.
Majalah Time, 21 Juli 2023, melansir, harapan akan perlucutan senjata nuklir secara total menjadi tidak realistis dalam waktu dekat. Sebab, perlucutan senjata nuklir itu membutuhkan dukungan dari negara-negara nuklir. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah membangun dialog pengurangan risiko ketegangan AS-China dan memulai kembali dialog nuklir AS-Rusia.
Akan sangat sulit mengatasi ancaman nuklir kecuali ada tekanan internasional terus-menerus terhadap pemerintah negara-negara nuklir. Selalu ada harapan karena jumlah senjata nuklir menurun dari sekitar 65.000 unit pada pertengahan 1980-an menjadi sekitar 12.500 unit pada hari ini. Ini berkat Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir yang dibuat 50 tahun lalu.
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga berkomitmen menjaga kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas senjata nuklir. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, awal Juli lalu, menegaskan, tidak ada persenjataan yang lebih kuat dan merusak daripada senjata nuklir. Jika ada senjata nuklir, kesalahan perhitungan sedikit saja akan berujung bencana dunia dan kiamat.
Untuk memastikan Asia Tenggara bebas senjata nuklir dan rezim perlucutan senjata serta nonproliferasi global ditegakkan, sudah ada Komisi Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ). Hanya, 25 tahun setelah penandatanganan Protokol Perjanjian SEANWFZ, tidak ada satu pun negara senjata nuklir yang menandatanganinya.
Baca juga : Larangan Uji Coba Nuklir dan Kisah Albert Einstein
Bagi Nolan, kisah penemuan bom atom di filmnya itu menjadi peringatan pada saat dunia sedang bergulat dengan kecerdasan buatan (AI). Apa yang dilakukan Oppenheimer di Los Alamos adalah ekspresi tertinggi dari sains yang di satu sisi positif, tetapi di sisi lain konsekuensinya tinggi. Seperti pada zaman Oppenheimer, perkembangan cepat dalam AI juga menimbulkan ketakutan yang sama terhadap bahaya teknologi dengan konsekuensi tidak terkendali.
Banyak orang khawatir AI bisa jadi tidak terkendali dan membahayakan umat manusia, seperti halnya para ilmuwan dan publik yang resah dengan perkembangan nuklir. ”Peneliti AI merujuk momen saat ini sebagai momen Oppenheimer. Film ini memberi peringatan dan menunjukkan bahayanya AI. Munculnya teknologi baru ini disertai dengan rasa takut karena tidak ada yang tahu akan menjadi seperti apa,” kata Nolan. (AFP/AP)