Dari Rawa Mesopotamia yang Mengering Mohammed Berseru, "Allah Kasihanilah!"
Perubahan iklim telah membuat dunia semakin menderita. Cuaca yang kian tidak dapat diprediksi merusak keberlanjutan komunitas.
Perubahan iklim telah membuat dunia semakin menderita. Cuaca semakin sulit untuk diprediksi. Kekeringan, kebakaran hutan atau Semak, badai, banjir, dan tanah longsor datang silih berganti.
Saat ini sebagian besar Eropa dan Amerika terpanggang gelombang panas. CNN memberitakan, di Amerika Serikat, jutaan orang di wilayah barat daya dan selatan menghadapi deraan suhu tinggi. Beberapa tempat, seperti Texas dan Arizona diempas gelombang panas selama berminggu-minggu. Di kota Phoenix, AS dalam 19 hari terakhir suhu rata-rata tercatat mencapai 43,3 Celcius, tertinggi dalam 49 tahun terakhir.
Baca juga: Dampak Cuaca Ekstrem Makin Berat bagi Warga
Sementara itu, di Kanada, Spanyol, dan Yunani terjadi kebakaran hutan. Di barat laut Athena, Yunani, tampak gumpalan asap menjulang di dari hutan Dervenohoria yang terbakar. Ribuan orang telah diungsikan.
Situasi yang tak kalah buruk dialami seorang peternak Irak, Mohammed Hamid Nour (23). Deraan musim kering yang berkepanjangan membuat rawa Mesopotamia mengering. Dalam empat tahun terakhir, Mohammed telah kehilangan belasan kerbaunya. Saat rawa Mesopotamia mengering, air yang tersisa menjadi asin dan membuat kerbau-kerbau itu mati. Tak ingin kehilangan lebih banyak, Mohammed menjual sebagian kerbaunya yang tersisa.
Padahal, bagi Mohammed, kerbau-kerbau miliknya menjadi andalan untuk menghasilkan susu yang kemudian diolah menjadi “geymar”. Dicampur dengan madu, krim kental itu sangat disukai warga Irak sebagai menu sarapan.
Namun, ada yang tak kalah mengkhawatirkan selain matinya kerbau-kerbau milik Mohammed. Rawa-rawa Mesopotamia, terkait erat dengan budaya budaya Arab Marsh atau Ma'adan dimana Mohammed adalah salah satu penerusnya. Komunitas Ma'adan yang menghidupi diri dengan mengembangkan budaya berburu dan memancing telah hidup di rawa Mesopotamia selama kurang lebih 5.000 tahun. Rumah mereka antara lain dibuat dengan anyaman alang-alang. Situs ini merupakan salah satu situs warisan dunia UNESCO.
Baca juga: Gelombang Panas yang Memanggang Asia Kemungkinan karena Perubahan Iklim
Akan tetapi, perubahan iklim telah membuat rawa-rawa itu terus menyusut dari 20.000 kilometer persegi pada awal 1990-an menjadi hanya 4.000 kilometer persegi. Selain karena iklim, pembuatan bendungan di Turki dan Suriah, di bagian hulu Sungat Efrat dan Tigris turut berpengaruh pada menyusutnya air di rawa Mesopotamia. Kondisi itu memicu migrasi komunias Ma’adan. Kini hanya tersisa beberapa ribu orang saja tinggal di rawa-rawa itu. Pada awal 1990-an, tercatat ada sekitar 250.000 orang tinggal di rawa Mesopotamia. Cuaca yang kian tidak bersahabat dan kian sulit diprediksi telah merusak keberlanjutan komunitas di rawa Mesopotamia.
“Ketinggian air di rawa-rawa bagian tengah dan Efrat turun setengah sentimeter sehari," kata Jassim al-Assadi, peneliti dari Nature Iraq. “Situasi itu akan menjadi lebih buruk dalam dua bulan ke depan karena suhu naik dan semakin banyak air menguap," tambahnya.
“Di mana ada air dua bulan lalu, sekarang menjadi gurun,” kata Youssef Mutlaq, seorang penggembala kerbau.
Kantor Berita AFP menyebutkan, saat fajar suhu rawa-rawa Chibayish – bagian dari rawa Mesopotamia – pada akhir Juni lalu 35 derajat Celcius, dan kian memanas hingga 50 derajat Celcius pada tengah hari. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, Irak adalah salah satu dari lima negara terdampak parah perubahan iklim. Curah hujan semakin jarang. Bila merujuk catatan Bank Dunia yang menyebutkan bahwa dalam 25 tahun ke depan Bank Dunia suhu akan naik rata-rata 2,5 derajat, situasi Irak mungkin akan jauh lebih buruk.
Hujan ekstrem
Bagi dunia, dampak perubahan iklim tak hanya terjadi di Irak. Situasi serupa terjadi di China. CNN memberitakan, mural dan patung Buddha kuno di gua-gua di sepanjang Jalur Sutra China juga terancam. Bila budaya dan rawa Mesopotamia terancam oleh kekeringan, mural dan patung-patung kuno di kuil Gua Dunhuang dan Gua Mogao yang terletak di Provinsi Gansu terancam oleh kikisan curah hujan yang ekstrem.
“Gansu terkenal dengan guanya dan karya seni yang tersimpan di dalamnya selama berabad-abad,” kata Li Zhao, seorang peneliti senior di Beijing Greenpeace East Asia. Menurutnya, meningkatnya curah hujan di gurun menimbulkan risiko akut, diantaranya lonjakan kelembapan dan banjir bandang.
Baca juga: Perubahan Iklim terbukti Memperburuk Banjir dan Kekeringan Global
Kelembaban akan mempercepat kristalisasi dan penumpukan garam di permukaan mural. Kondisi itu menyebabkan lapisan warna mengelupas. Kebocoran air hujan juga mengikis lukisan, sementara banjir bandang dan tanah longsor menyebabkan beberapa gua runtuh. Karya seni di beberapa gua, termasuk Gua Mogao, telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan.
Li mengatakan pejabat dan akademisi China semakin sadar akan ancaman krisis iklim di situs warisan budaya negara itu. “Data tersebut memberikan gambaran yang jelas tentang dampak perubahan lingkungan terhadap peninggalan budaya. Tetapi di banyak tempat lain, pekerjaan pemantauan baru dimulai dalam beberapa tahun terakhir,” kata Li.
Dari Washington hingga Beijing, pihak berwenang telah mengingatkan tentang bahaya panas ekstrem dan perubahan cuaca itu. Mereka mengimbau agar warga lebih banyak mengkonsumsi air dan berlindung dari sengatan matahari. Hujan lebat dan deraan suhu di Asia, sebagaimana terjadi di China, Vietnam, India, dan baru-baru ini Korea Selatan serta panas di Eropa dan Amerika ditengarai merupakan dampak dari perubahan iklim. Badan Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan tren gelombang panas tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan.
"Intensitas peristiwa ini akan terus meningkat, dan dunia perlu bersiap menghadapi gelombang panas yang lebih intens," kata John Nairn, penasihat panas ekstrem senior di WMO kepada wartawan di Geneva.
Kerentanan ganda
Dalam laman resminya, PBB memperkirakan, saat ini sebanyak 3,5 miliar orang tinggal di "titik panas iklim". Awal Juni lalu, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Operasi Perdamaian Jean-Pierre Lacroix di depan Dewan Keamanan mengatakan, isu perubahan iklim itu memiliki resiko pada perdamaian dan keamanan dunia. Untuk itu, Lacroix mengatakan, perlu ada langkah serius untuk mencegahnya. terkait hanya akan meningkat, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Operasi Perdamaian Jean-Pierre Lacroix mengatakan kepada Dewan Keamanan pada hari Selasa, memperingatkan bahwa tindakan harus dilakukan.
Baca juga: Cuaca Ekstrem Pengaruhi Kesehatan Anak
Dia menyebutkan, laporan penilaian Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terbaru, menunjukkan bahwa iklim dan risiko seperti hilangnya keanekaragaman hayati serta konflik kekerasan akan semakin berinteraksi. Guncangan iklim memicu memburuknya lingkungan keamanan, dari Afghanistan hingga Mali, dan misi penjaga perdamaian PBB mengambil langkah-langkah untuk beradaptasi. “Mengingat meningkatnya keterkaitan perubahan iklim, perdamaian, dan keamanan serta perubahan yang lebih luas pada dinamika konflik di wilayah tempat kami bekerja, kami harus terus beradaptasi,” ujarnya.
Dari 16 negara yang paling rentan iklim, sembilan di antaranya menjadi tuan rumah misi lapangan PBB yaitu, Afghanistan, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Haiti, Mali, Somalia, Sudan, Sudan Selatan, dan Yaman. Sementara itu misi lapangan PBB tidak memiliki “solusi akhir” untuk perubahan iklim. “Misi kami menyaksikan secara langsung kerentanan ganda yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan ketidakamanan,” kata Lacroix.
Upaya bersama
Menurut Robert Vautard, Direktur Institut Iklim Perancis Pierre-Simon Laplace, gelombang panas di seluruh Eropa, Afrika, Asia hingga Timur Tengah bukan satu fenomena tunggal tetapi dampak dari beberapa tindakan pada waktu yang sama. “Akan tetapi semuanya diperkuat oleh satu faktor yaitu perubahan iklim,” kata Vautard.
Baca juga: Menanggung Dampak Perubahan Iklim
Untuk itu, upaya serius perlu dilakukan oleh semua pihak, terutama negara-negara industri besar yang selama ini dinilai menjadi penyumbang besar polusi dunia. Hari-hari ini, dunia melihat ke arah Beijing, China dimana utusan iklim AS, John Kerry bertemu dengan para petinggi China, salah satunya Wang Yi, Kepala Komite Kebijakan Luar Negeri Partai Komunis China.
Mereka mencoba menghidupkan kembali pembicaraan tentang upaya mengurangi emisi karbon yang selama ini dianggap sebagai pemicu pemanasan global. Dari Balai Agung Rakyat di Beijing, Wang Yi dan Kerry menyerukan pentingnya kepemimpinan global dalam masalah iklim.
Seiring itu, dari rawa Mesopotamia, Irak, Mohammed yang telah kehilangan tiga perempat dari ternaknya itu berharap semua seruan tersebut tidak berakhir menjadi isapan jempol semata. Di bawah kaki langit yang biru tak berawan, sambil membenahi keffiyah di kepalanya, ia pun lantas berdoa, "Aku mohon padamu Allah, kasihanilah!"
(AP/AFP/Reuters)