Koalisi Oposisi Berencana Hapus Kewenangan Senat Memilih PM
Kegagalan Pita Limjaroenrat duduk di kursi Perdana Menteri karena kewenangan Senat yang besar di parlemen. Kini, Pita dan MFP berencana menghapus kewenangan itu.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
BANGKOK, JUMAT — Tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari para senator pada putaran pertama pemungutan suara di parlemen, pemimpin Partai Bergerak Maju (MFP), Pita Limjaroenrat, tidak patah arang. Partai memilih berupaya untuk mengamendemen undang-undang yang akan membatasi kekuasaan senator, termasuk mengurangi atau bahkan meniadakan peran mereka dalam proses pemilihan perdana menteri.
Rencana itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Bergerak Maju Chaithawat Tulathon dalam wawancara televisi, seperti diberitakan Reuters, Jumat (14/7/2023). ”Karena para senator merasa tidak nyaman dalam memilih perdana menteri, mengapa tidak (sekalian) menghapuskan kewenangan ini?” kata Chaithawat.
Dia menyatakan, MFP dan koalisi partai oposisi akan berusaha membatasi kewenangan ini dengan mengubah pasal dalam konstitusi Thailand. Diperkirakan amendemen memakan waktu satu bulan.
Pada putaran pertama pemungutan suara di parlemen, Pita hanya mendapatkan dukungan 323 suara dari yang dibutuhkannya 375 suara untuk memastikan jabatan perdana menteri. Total suara yang diperolehnya itu sudah termasuk dukungan dari 13 senator dari 250 senator di parlemen. Sebanyak 182 anggota parlemen atau Majelis Nasional menolak pencalonan Pita dan 199 orang lainnya menyatakan abstain.
Pita menjadi calon tunggal yang diajukan dalam pemungutan suara di parlemen, Kamis. Hasil mengecewakan yang diperoleh Pita itu dinilai terjadi karena partai yang berafiliasi dengan pemerintah dan militer menutup rapat-rapat upaya para politisi muda untuk memperbaiki sistem demokrasi di Thailand.
”Ada kekuatan lama yang menekan senat dan para pemodal (kapitalis) yang tidak ingin Thailand dipimpin oleh pemerintahan pimpinan MFP,” kata Chaithawat.
Pendapat untuk menghapuskan kewenangan para senator ikut serta dalam proses pemilihan PM disampaikan Piyabutr Saengkanokkul, Sekretaris Jenderal Gerakan Progresif Thailand. Piyabutr, yang juga pengacara, mengatakan, tidak ada jalan lain untuk menghapuskan kewenangan ini selain mengamendemen Konstitusi Thailand 2017.
Bab 15 Bagian 256 Ayat 3 Konstitusi Thailand 2017 mensyaratkan amendemen harus mendapat dukungan mayoritas dari anggota gabungan dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Dukungan dari Senat tidak boleh kurang dari sepertiga total anggota Senat yang berjumlah 250 orang. Dengan jumlah anggota DPR sebanyak 500 orang dan anggota Senat 250 orang, amendemen ini membutuhkan dukungan setidaknya 335 anggota parlemen.
”Kalau usulan amendemen ini ditolak Majelis Nasional, MFP bisa menyatakan kepada pendukungnya dan rakyat bahwa usaha terbaik mereka masih menemui jalan buntu. Namun, MFP bisa tetap berjalan dengan kepala tegak,” kata Piyabutr, dikutip dari laman Bangkok Post.
Analis politik Thitinan Pongsudhirak mengatakan, hasil mengecewakan yang diperoleh Pita dan koalisinya adalah cara rezim dan kelompok konservatif untuk tetap bercokol di kursi kekuasaan. ”Ini cara untuk tetap berkuasa dalam jangka panjang dan untuk mencegah pemerintah prodemokrasi yang dapat melawan mereka,” katanya.
Thitinan tidak terkejut dengan situasi yang tengah dihadapi Pita dan kelompok progresif Thailand. ”Kekuatan konservatif melihat Pita dan MFP sebagai ancaman yang harus dipadamkan. Saya tidak akan terkejut, dengan cara ini, bahwa mereka akan melakukan hal yang sama untuk mencegah MFP bahkan berada di pemerintahan,” katanya.
Calon alternatif
Pita menyatakan tidak akan menyerah pada situasi tersebut. Dia bersama koalisi delapan partai oposisi yang mendukungnya akan kembali mencoba pada pemungutan suara kedua yang menurut rencana berlangsung 19 Juli.
Namun, sejumlah analis menilai, peluang Pita untuk berkuasa sangat tipis jika mereka tetap memaksakan skenario ini. Thitinan berharap Partai Pheu Thai, mitra koalisi MFP, mengajukan calon alternatif agar koalisi oposisi akhirnya bisa membentuk pemerintahan. Ini perlu dicoba walau dengan potensi MFP tidak akan mendapatkan posisi sama sekali di kabinet.
Pichet Chuamuangphan, Wakil Ketua DPR dari Pheu Thai, mengatakan, koalisi harus berembuk kembali untuk mematangkan strategi jelang pemungutan suara kedua pekan depan. Sejauh ini, Pheu Thai masih merujuk pada perjanjian awal yang disepakati bersama dengan partai-partai lainnya, yaitu mendukung Pita sebagai PM. ”Kami masih mendukung pernyataan itu (hingga saat ini),” kata Cholnan Srikaew, pemimpin Pheu Thai.
Meski koalisi oposisi masih solid, sejumlah nama figur alternatif bermunculan jika strategi oposisi tidak berhasil mengegolkan amendemen konstitusi dan Pita dalam pemungutan suara putaran kedua. Thitanin menyebut Srettha Thavisin, salah satu taipan properti pendukung keluarga mantan PM Thaksin Shinawatra, berpotensi sebagai figur alternatif. Srettha disebut-sebut sebagai calon alternatif yang disukai komunitas bisnis Thailand. Meski begitu, Thitinan menyebut Srettha tidak memiliki basis pendukung yang kuat di Pheu Thai.
Figur alternatif lainnya adalah putri bungsu keluarga Shinawatra, yaitu Paetongtarn Shinawatra. Digambarkan sebagai sosok yang cerdas, dia menarik banyak pemilih yang loyal terhadap nama besar keluarganya.
Israa Sunthornvut, mantan anggota parlemen dari Partai Demokrat, mengatakan, figur alternatif menarik untuk didalami, termasuk oleh kelompok konservatif. Namun, jika Pita tetap masuk dalam kabinet di pemerintahan baru, kelompok tersebut, menurut Isra, tetap tidak akan bisa berkompromi. (AFP/REUTERS)