Pemilu Turki dan Thailand menarik untuk diikuti dan memiliki benang merah yang hampir serupa. Salah satu pola yang sama adalah rezim cenderung memproduksi undang-undang yang berfungsi melestarikan kekuasaannya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
AP PHOTO/ALI UNAL
Presiden Turki sekaligus calon petahana Recep Tayyip Erdogan memberikan pidato di Istana Kepresidenan di Ankara, Turki, Minggu (28/5/2023).
Menarik mengikuti pemilihan umum di Turki dan Thailand. Di Turki, petahana Recep Tayyip Erdogan yang sempat diprediksi terlempar dari singgasananya setelah dua dekade berkuasa, Sabtu (3/6/2023), diambil sumpahnya sebagai presiden untuk ke tiga kalinya dan berkuasa hingga 2028 nanti.
Tidak hanya mengunci kursi kepresidenan, aliansi partai yang mendukungnya menjadi pemilik kursi mayoritas di parlemen. Artinya, Erdogan dan sekutunya memiliki kuasa yang cukup kuat untuk mengendalikan trias politica (eksekutif, legislatif, yudikatif) di tangannya. Kekuasaannya sangat luas.
Thailand juga menarik. Di tangan anak-anak muda, para pemilih di negara berjulukan Negeri Gajah Putih itu melihat ada peluang untuk perubahan. Dari hasil pemilihan, terlihat bagaimana para pemilih di Thailand ingin agar muka-muka lama segera lengser dan berhenti cawe-cawe terhadap masa depan negara.
Thailand juga menarik. Di tangan anak-anak muda, para pemilih di negara berjulukan Negeri Gajah Putih itu melihat ada peluang untuk perubahan.
Partai Melangkah Maju (MFP) yang dipimpin Pita Limjaroenrat menang dengan perolehan suara hingga 38,44 persen. Sedangkan partai Pheu Tai, yang salah satunya dimotori Paengtongtarn Shinawatra, putri bungsu Taipan Thailand Thaksin Shinawatra (yang juga adalah mantan perdana menteri), mendapat dukungan 28,66 persen pemilih.
Dua partai yang dimotori Prayuth Chan Ocha dan Prawit Wongsuwon, perdana menteri dan wakil perdana menteri petahana, yaitu United Thai Nation Party dan Palang Pracharath, masing-masing mendapat dukungan 12,55 persen dan 1,42 persen suara.
Menang pemilu tidak langsung membuat Pita didapuk menjadi perdana menteri. Bahkan, lebih jauh, meski telah berkoalisi dengan delapan partai, Pita masih membutuhkan tambahan dukungan 64 para Senator di Senat. Akan tetapi, sebelum mencapai ke sana, posisi Pita pun sudah “digoyang”.
AFP/JACK TAYLOR
Pemimpin Partai Bergerak Maju sekaligus kandidat Perdana Menteri Thailand Pita Limjaroenrat berfoto untuk media setelah menggelar konferensi pers di Bangkok, Thailand, 15 Mei 2023.
Turki dan Thailand mungkin tidak bisa dibandingkan bila berbicara soal sistem pemilu yang digunakan. Thailand menggunakan sistem parlementer, terutama dalam menentukan siapa yang berhak untuk menjadi penguasa. Sedangkan Turki menggunakan sistem pemilihan langsung, pemenang pemilu adalah orang yang didaulat untuk memimpin negara.
Akan tetapi, kalau melihat lebih jauh, ada benang merah yang sama yang bisa ditemukan dari situasi politik di kedua negara, yaitu orang-orang yang sedang atau pernah berkuasa menggunakan aturan perundangan yang dibuat pada masa pemerintahannya untuk mempersulit kemunculan wajah-wajah baru.
Orang-orang yang sedang atau pernah berkuasa menggunakan aturan perundangan yang dibuat pada masa pemerintahannya untuk mempersulit kemunculan wajah-wajah baru.
Thailand adalah contoh bagaimana pemenang pemilu masih membutuhkan “restu” dari para Senator yang dipilih atau ditunjuk oleh rezim Prayuth, saat dia berkuasa. Prayuth mengamandemen konstitusi ini pada tahun 2017, menempatkan orang-orang yang berasal dari militer, untuk duduk di Senat dan menjadi penentu siapa yang akan berkuasa di Thailand selama lima tahun ke depan pascapemilihan.
Hal itu pernah teruji dan berhasil dicapai oleh Prayuth saat pemilu 2019. Meski saat itu hanya memenangi 115 kursi saat pemungutan suara, dengan dukungan para Senator yang pro-militer di Senat dan ditambah dukungan dari beberapa partai kecil, Prayuth akhirnya melenggang ke kursi kekuasaan untuk kedua kalinya.
Ia mengambil alih kekuasaan pertama kali pada 2014 setelah memimpin kudeta terhadap PM YIngluck Shinawatra, saudara perempuan Thaksin Shinawatra. Dikutip dari Al Jazeera, dia memposisikan dirinya sebagai “ayah” dan Thailand sebagai keluarganya.
AP PHOTO/SAKCHAI LALIT
Petahana, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan Oca mengacungkan ke-empat jarinya pada para pendukungnya pada rapat umum terakhir di Bangkok, Thailand, Jumat (12/5/2023).
Sama halnya seperti Prayuth yang menyebut dirinya sebagai ayah atau bapak bagi rakyat Thailand, di kalangan terdekatnya, Erdogan sering disapa "beyefendi" (bapak). Bagi para pengagumnya, ia dijuluki "reis" (bapak pemimpin). (Kompas.id, 16 Mei 2023)
Perubahan konstitusi tahun 2017 yang dilakukan melalui referendum mengubah sistem pemilihan Turki, dari parlementer menjadi pemilihan langsung. Namun amandemen itu juga memberikan kekuasaan yang sangat besar pada Erdogan dalam posisinya sebagai presiden.
Rezim Erdogan seringkali melakukan intervensi dalam sistem peradilan di Turki jika ada kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan pers atau media.
Salah satunya adalah hak prerogatif untuk menunjuk lima hakim agung dari 13 hakim agung di lembaga peradilan tertinggi. Hal ini memberikan ruang bagi Erdogan campur tangan pada masalah hukum.
Hasil ini dikritik oleh tidak hanya kalangan oposisi tapi juga media. Dikutip dari laman RSF (reporters without borders), rezim Erdogan seringkali melakukan intervensi dalam sistem peradilan di Turki jika ada kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan pers atau media.
Tiga tahun terakhir, indeks kebebasan pers Turki terus mengalami kemerosotan, dari rangking 149 di tahun 2021, 153 di tahun 2022 dan di tahun ini, Turki berada di posisi 165 dari 180 negara berdasarkan data RSF. Sebanyak 200 jurnalis ditahan selama lima tahun terakhir, termasuk 63 diantaranya karena menulis berita yang dinilai menghina Erdogan.
Dua hari jelang pemungutan suara putaran pertama, Erdogan mengeksploitasi habis-habisan berbagai lembaga penyaiaran yang lebih dari 80 persen dikontrol oleh pemerintah. Selama hampir satu setengah jam, tim kampanye Erdogan memblok siaran 14 saluran TV (termasuk A Haber, 24 TV, TV100 dan Akit TV) sambil memojokkan rivalnya Kemal Killicdaroglu tanpa peluang rivalnya itu memberikan sanggahan.
Sebanyak 200 jurnalis ditahan selama lima tahun terakhir, termasuk 63 diantaranya karena menulis berita yang dinilai menghina Erdogan.
Untuk menjaga simpati rakyat calon pemilih tetap terjaga, pascagempa Februari lalu, menggunakan pengadilan, pemerintahan Erdogan memblokir akses ke beberapa platform media yang memberitakan hal-hal seputar bencana. Beberapa jurnalis juga sempat ditahan karena pemberitaan mereka. Sebanyak 173 orang ditahan karena unggahan di media sosial mereka tentang gempa. Sebanyak 43 orang di antaranya berakhir di tahanan.
Tak hanya itu, otoritas juga membatasi bandwidth Twitter selama hampir satu hari penuh, yang secara efektif memblokir akses ke platform itu. Pembatasan dicabut setelah kritik luas bahwa Twitter memiliki peran penting dalam upaya penyelamatan, termasuk korban yang memberi tahu lokasi mereka untuk meminta bantuan. Banyak orang yang terperangkap di bawah reruntuhan mencuit lokasi mereka agar dievakuasi.