ASEAN-China Percepat Perundingan CoC Laut China Selatan
ASEAN dan China menyepakati pedoman untuk mempercepat perundingan kode tata perilaku (CoC) di Laut China Selatan.
Oleh
LUKI AULIA, KRIS MADA, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara anggota ASEAN dan China menyepakati seperangkat pedoman untuk mempercepat perundingan kode tata perilaku atau code of conduct di Laut China Selatan yang disengketakan. ASEAN dan China selama bertahun-tahun berusaha merumuskan kode tata perilaku yang mengikat secara hukum untuk mengatur Laut China Selatan, salah satu jalur laut tersibuk di dunia.
Perairan ini diklaim oleh China, Taiwan, serta empat negara anggota ASEAN, yakni Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Jalur tersebut juga menjadi titik terpanas di kawasan karena berbagai persoalan, seperti tindakan militer China dan kegiatan penangkapan ikan nelayan China.
Pedoman itu diadopsi dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN dengan Ketua Dewan Kebijakan Luar Negeri China Wang Yi, Kamis (13/7/2023), di Jakarta. Menlu Retno Marsudi menilai, perkembangan ini adalah tonggak penting dan pencapaian yang harus terus membangun momentum positif dalam kemitraan yang memajukan inklusivitas dan keterbukaan, menghormati hukum internasional, dan mendorong dialog serta kolaborasi.
”Kami ingin China menjadi mitra ASEAN yang setia dalam menjaga arsitektur regional yang terbuka dan inklusif. Hanya melalui ini, kita dapat mencapai kerja sama yang saling menguntungkan demi perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran bersama di Indo-Pasifik,” ujar Retno.
Wang mengatakan, China menyambut baik dan mendukung semua pihak dalam mempercepat penyusunan pedoman itu. Ia berharap pedoman itu akan memainkan peran yang konstruktif. ”China akan secara aktif berpartisipasi dan dengan tegas mendukung kerangka kerja sama regional dengan ASEAN sebagai intinya. China juga mematuhi konsep inklusivitas, menolak campur tangan, dan melanjutkan pembangunan”.
Pada 2002, China dan ASEAN menandatangani Deklarasi Perilaku Para Pihak (DoC), perjanjian informal yang mengikat kedua belah pihak untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati kebebasan navigasi, dan menyelesaikan konflik secara damai. DoC membuka jalan pada kode tata perilaku (CoC), kerangka kerja yang mengikat untuk penyelesaian sengketa. Harian The Strait Times, Kamis, menyebutkan, pedoman yang diadopsi itu disebut Pedoman Percepatan Kesimpulan Awal dari CoC yang Efektif dan Substantif yang bertujuan untuk mempercepat proses negosiasi CoC. Namun, rincian soal pedoman itu tidak diberikan.
Selain isu sengketa Laut China Selatan, Retno juga meminta dukungan China untuk implementasi konkret Pandangan ASEAN pada Indo-Pasifik (AOIP) yang merupakan inisiasi dari Indonesia dan ditandatangani para pemimpin ASEAN pada 2019. AOIP menjabarkan posisi bersama ASEAN dalam kerja sama, keamanan, dan kemakmuran kawasan, serta pendirian untuk tidak berpihak pada kekuatan besar mana pun yang bersaing demi mendapatkan pengaruh di kawasan.
Wang mengatakan, China dan ASEAN sedang dalam ”diskusi aktif” atas versi ketiga dari perjanjian perdagangan bebas dan sudah mendorong implementasi penuh Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), kesepakatan perdagangan yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN, serta 15 negara Asia-Pasifik. China dan ASEAN adalah mitra dagang terbesar satu sama lain, dengan perdagangan mencapai 1,29 triliun dollar AS pada 2022.
China juga merupakan sumber investasi asing langsung terbesar keempat di ASEAN, yang menyentuh 13,8 miliar dollar AS pada 2021. China dan ASEAN aktif mempromosikan kerja sama yang saling menguntungkan dan berhasil berjalan di jalur yang benar untuk pembangunan dan kemakmuran bersama jangka panjang dalam dua dekade terakhir.
Di tengah situasi geopolitik saat ini yang kompleks dan mengalami perubahan besar, Wang menggarisbawahi pentingnya menciptakan lingkungan strategis yang kondusif untuk saling mendorong pembangunan serta stabilitas jangka panjang. ”China akan terus memperdalam kemitraan strategis dengan ASEAN,” ujarnya.