Zbigniew Kazimierz Brzeziński, mantan penasihat Dewan Keamanan Nasional China, dalam analisisnya di Foreign Policy No 146, Januari-Februari 2005, melihat China akan berpikir saksama.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·3 menit baca
Dari sisi ekonomi, ASEAN seperti bagian jajaran angsa liar terbang dipimpin China, mirip pola yang dulu dilakukan Jepang. Bedanya, ASEAN tidak punya sejarah ditaklukkan China seperti Jepang menjelang Perang Dunia II. Relasi ekonomi ke depan mirip spesialisasi lebih dalam dan saling melengkapi.
ASEAN-China lebih melebur ketimbang eksploitatif seperti Jepang yang melahirkan gerakan Malari 1974. Penduduk muda dan kelas menengah ASEAN-China akan menjadi sumber pertumbuhan global.
Di luar ekonomi, ada hal urgen di depan. Ini terkait independensi China dari AS, yang tidak diraih Jepang. Karena kesadisan perangnya, Jepang takluk dan membiarkan AS jadi hegemonik di Asia. China yang independen dan menguat secara ekonomi dan militer, inilah persoalannya ke depan. AS tidak lagi seperti dulu, bisa menjadi crusader global.
Seperti apa China ke depan bagi ASEAN? Menurut John Mearsheimer, pakar geopolitik dari University of Chicago, China tidak berbeda dengan kekuatan geopolitik global secara historis. China akan hegemonik, bebas mengaum, seperti Belanda di Indonesia. Gejala sudah ada dengan dominasi China di Laut Selatan.
China juga meningkatkan taktik militer anti-access/area denial (A2/AD), menangkal kekuatan terbesar dunia. ASEAN terkunci perlahan.
Otoriterianisme merangsek?
Apakah China akan merangsek secara ideologi seperti AS dengan gerakan demokratisasi di dunia? China, dengan pemikiran teknokrat Wang Huning, telah mencanangkan sosialisme ala Partai Komunis China secara domestik lewat sentralisasi pemerintahan bergaya otoriter.
Apakah gaya ini akan ekspansif secara regional? Gejalanya sudah ada. China menyatakan agar Myanmar bebas menentukan prinsip sendiri walau sudah menahan Aung San Suu Kyi. Bagaimana ASEAN, pendamba demokrasi, menahan arus otoritarianisme?
China sudah memahami ketakutan dunia. Presiden Xi Jinping mencanangkan harmonisasi dan janji tak akan hegemonik. Teori Yan Xuetong, pakar relasi internasional China, menyatakan China akan menjadi pemimpin global yang baik.
Yan memotret China lewat kepemimpinan global dalam konteks historis domestiknya, bahwa jatuh bangunnya pemerintahan tergantung moralitas pemimpinnya. Hal itu diterapkan Yan dalam konteks pemimpin global di depan.
Berpikir saksama
Zbigniew Kazimierz Brzeziński, mantan penasihat Dewan Keamanan Nasional China, dalam analisisnya di Foreign Policy No 146, Januari-Februari 2005, melihat China akan berpikir saksama. Gambaran kesaksamaan ini terasa saat kemajuan ekonomi China mulai memuncak.
Brzezinski tak menepis potensi konflik di depan, tetapi menyatakan China akan mementingkan uang ketimbang perang. Namun, ada potensi moralitas China berubah seperti terlihat dari sejarahnya. Bagaimana agar ASEAN tak terjebak potensi perubahan moralitas China di depan?
ASEAN sejatinya sedang keteteran, tak punya pola kecuali sekadar verbalis. Filipina melupakan sejarahnya dengan eksistensi keluarga Marcos, Kamboja dengan Perdana Menteri Hunsen, Myanmar dengan juntanya, Singapura dengan dinasti politik. Thailand, Malaysia serta Indonesia sarat dengan kapitalisme ersatz (Ersatz Capitalism and Industrial Policy in Southeast Asia, karya Fabian Bocek, 2022).
Seperti pernah dikatakan Wang Huning tentang negaranya, ”Tidak ada nilai inti di China,” dalam esai tahun 1988 berjudul ”The Structure of China’s Changing Political Culture”. Kini China mantap dengan sentralisasi bergaya otoriter. ASEAN belum mencuat tentang format bersama.