Tidak heran jika media Jepang, "The Japan Times", menuliskan, "China dalam waktu tak lama lagi tidak butuh teknologi Barat".
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Kunjungan Menteri Keuangan AS Janet Yellen ke China sejak Kamis (6/7/2023) bertujuan sangat bagus, baik bagi AS, juga bagi China maupun dunia. Upaya Yellen mirip mencegah pemudaran ekonomi AS tanpa saling mencederai. Ini langkah pas di tengah ekonomi AS yang memudar. Perdana Menteri China Li Qiang juga menyambut bagus dengan kalimat puitis.
"Kemarin, pas momen Anda tiba di bandara dan turun dari pesawat, kami melihat sebuah pelangi," kata Li saat bertemu Yellen di Beijing, Jumat (7/7/2023). "Saya kira, hal ini berlaku juga bagi relasi AS-China. Setelah melewati gelombang-gelombang angin dan hujan, akhirnya kami bisa melihat sebuah pelangi."
Fobia China yang disuarakan ekonom Peter Navarro, penasihat dagang AS pada era Presiden Donald Trump, telah melahirkan serentetan pengenaan tarif terhadap produk impor asal China. Pemblokiran teknologi AS terhadap Huawei telah berefek pada penjualan produk Huawei di dunia.
Balasan China, dengan mengurangi impor produk pertanian AS, juga telah mencederai kepentingan ekonomi petani AS. Tarif yang dikenakan AS terhadap produk China turut membebani konsumen AS.
Ada banyak retaliasi dagang, investasi yang berlanjut di antara dua negara itu. Inilah efek visi keamanan yang diusung para teknokrat hawkish AS terkait kebijakan luar negeri AS. Bukan Navarro penyebab utamanya, melainkan para think-tank hawkish beraliran demokrat liberal.
Sikap hawkish berlanjut di tangan Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan. Hal itu turut menyusup ke beberapa teknokrat ekonomi, termasuk Charlene Barshefsky, mantan Perwakilan Dagang AS.
Kekukuhan Yellen
Kabinet Presiden Joe Biden menyadari efek retaliasi dagang, jika itu berhadapan dengan China yang tidak mau tunduk seperti Jepang. Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo pernah mengusulkan pengurangan tarif impor asal China karena membebani konsumen AS. Namun, ide ini langsung mendapat kritikan tajam dari para hawkish.
Adalah Yellen yang terus menyuarakan pentingnya perbaikan relasi ekonomi AS-China. Di tengah langkah AS yang masih kukuh untuk menutup akses cip tercanggih ke China, ia terus menyuarakan pentingnya perbaikan relasi.
Yellen telah mendengar jeritan pebisnis AS yang menghadapi hambatan di China sebagai balasan atas perang ekonomi AS. “Saya mendengar keluhan dari pebisnis AS akan senjata non-ekonomi dari China, juga hambatan bagi perusahaan asing (AS) di pasar China,” kata Yellen pada pertemuan di Beijing yang digelar Kamar Dagang dan Industri AS di China (The New York Times, 7/7/2023).
Di hadapan PM Li, Yellen menyatakan seharusnya alasan keamanan AS tidak menjadi halangan bagi kelangsungan relasi ekonomi AS-China. Ia tegaskan, tidak mungkin dua perekonomian ini terpecah. Atas dasar itulah Yellen tetap bersedia berkunjung ke China untuk memperbaiki relasi ekonomi.
Fakta menyakitkan
Profesor dari Harvard, Graham Allison, menuliskan fakta menyakit tentang pertumbuhan AS dalam artikel berjudul "The Inconvenient Truth About US Growth", 28 April 2023. Allison merespons artikel The Economist yang menyanjung kinerja perekonomian AS.
Menurut Allisson, benar bahwa AS masih melejit di antara negara-negara anggota G7, seperti disebut The Economist. Allison menulis, prestasi ekonomi AS melejit, tetapi tanpa memasukkan China sebagai perbandingan. “Menyatakan AS sebagai kampiun di antara G7 serupa dengan menganugerahi Amerika medali emas Olimpiade tanpa kehadiran sprinter juara dunia, Usain Bolt,” tulis Allison memberikan perbandingan dengan sprinter asal Jamaika.
Ia menambahkan, besaran G7 secara keseluruhan di dunia sudah menurun. Porsi besaran ekonomi G7 sebesar 44 persen sekarang ini, tetapi sejatinya sudah tinggal 30 persen jika diukur dari purchasing power parity. Porsi perekonomian G7 pada 2027 masih akan turun lagi menjadi 27,95 persen. Porsi perekonomian G7 sudah tersalip oleh BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) pada 2021.
Menurut Allison, penurunan porsi ekonomi AS sendiri dipastikan terus merosot dibandingkan dengan China jika dilihat dari potensi pertumbuhan ekonomi di depan. Ekonomi China masih bisa tumbuh 4,5 persen per tahun, sedangkan AS tidak bisa tumbuh di atas 2 persen.
Tanpa teknologi AS
Di tengah pertumbuhan tinggi itu, hal mencengangkan adalah rencana China untuk maju secara ekonomi tanpa teknologi AS sebagai andalan. Dalam situasi sekarang ini, tidak ada lagi teknologi yang menjadi kekuatan ekonomi AS. Dari produk manufaktur hingga pesawat terbang, bahkan pesawat tempur sekalipun, China telah mampu membuatnya dan bahkan menyaingi teknologi AS.
Ke depan, kejayaan ekonomi AS berpotensi tinggal mitos. Pada 10 Maret 2021, harian AS, The New York Times, menuliskan artikel berjudul "Xi’s Gambit: China Plans for a World Without American Technology". Harian itu menulis, China telah meluncurkan miliaran dollar AS untuk penelitian dan pengembangan serta teknologi guna mengantisipasi pemutusan akses teknologi AS dan Barat lainnya ke China. Pemerintah China telah memprogramkan pembangunan ekonomi dengan moto “jalan sendiri”. Programnya meluas, "Mulai dari telepon pintar hingga ke mesin pesawat”.
China telah meluncurkan program ini sejak 2015. “AS yang telah menanjak menuju puncak, ingin menendang pengikutnya,” kata Zhang Xiaojing, ekonom dari Chinese Academy of Social Sciences. Hal ini membuat China bergegas sehingga harus berpacu sejak dini, kata Rebecca Arcesati, analisis teknologi dari Mercator Institute for China Studies di Berlin. “Mereka paham, tanpa akses teknologi, mereka tidak akan bisa meraih target,” kata Arcesati.
“China ingin mengurangi ketergantungan teknologi, bukan mengurangi perdagangan dan interaksi ekonomi. China hanya ingin mencegah kerapuhan pertumbuhan dan ingin mengelakkan tekanan,” kata Daniel Russel, mantan diplomat AS bekerja pada Asia Society Policy Institute.
Pejabat Chinese Academy of Engineering, Ni Guangnan, menuliskan bahwa China telah lama mencanangkan perolehan teknologi yang selama ini didominasi Intel, Microsoft, Oracle, dan lainnya dalam komputasi. Malah pada 5 Juli 2023, China melarang ekspor galium, germanium agar tidak dipakai di perusahaan AS dan Barat, yang tidak bersahabat.
Lepas dari itu, China mendekati swasembada teknologi. Maka tidak heran jika The Japan Times, 1 Mei 2023, menuliskan, "China dalam waktu tak lama lagi tidak butuh teknologi Barat".
Ini tentu berbahaya bagi AS. China dengan pengejaran teknologi dan besaran ekonomi, serta prospek pertumbuhan yang masih besar bisa membuat AS ketinggalan akses pasar.
Maka, langkah Yellen sangat tepat agar dua perekonomian terbesar di dunia ini tidak putus soal relasi ekonomi meski masing-masing masih saling membenci dan saling menekan. Tentu, setiap negara tetap punya keunggulan tertentu, yang tidak pernah bisa diungguli secara telak oleh pesaing.
Kunjungan Yellen belum tentu memuluskan relasi ekonomi, tetapi langkah Yellen tetap penting di tengah globalisasi di mana dunia saling membutuhkan. (REUTERS/AP/AFP)