Pemerintah AS memperluas larangan investornya dalam menanamkan modal ke perusahaan China, dari 31 menjadi 59 perusahaan. Kebijakan ini mendapat reaksi keras dari China yang menganggapnya merusak tatanan pasar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Presiden Amerika Serikat Joe Biden, pada Kamis (4/6/2021), menandatangani perintah larangan entitas AS berinvestasi di 59 perusahaan China yang diduga terkait dengan sektor teknologi pertahanan atau pengawasan. Langkah ini sekaligus perluasan dari kebijakan presiden sebelumnya, Donald Trump, yang melarang investasi di 31 perusahaan. Pemerintah China dalam tanggapannya mengaku siap merespons langkah Washington itu dan melindungi hak dan kepentingan China.
Alasan larangan investasi di perusahaan China tersebut, menurut Biden, adalah untuk mendukung kompleks industri militer di AS sekaligus mencegah entitas investasi AS membantu program penelitian dan pengembangan militer, intelijen, dan keamanan China.
”Selain itu, saya menemukan bahwa penggunaan teknologi pengawasan China di luar China dan pengembangan atau penggunaan teknologi pengawasan China untuk memfasilitasi penindasan atau pelanggaran hak asasi manusia yang serius merupakan ancaman yang tidak biasa dan luar biasa,” kata Biden.
Melalui kebijakan tersebut, Pemerintah AS melarang warganya terlibat dalam pembelian atau penjualan sekuritas yang diperdagangkan secara publik di 59 perusahaan. Adapun daftar perusahaannya tertuang dalam daftar negatif investasi yang diterbitkan Departemen Keuangan AS. Daftar negatif investasi yang efektif berlaku mulai 2 Agustus 2021 tersebut akan diperbarui secara berkala.
Selanjutnya, investor AS memiliki 365 hari sejak tanggal pencatatan tersebut untuk melakukan transaksi dengan tujuan divestasi. Meskipun tidak diwajibkan, divestasi lebih dari 365 hari setelah pencatatan akan dilarang tanpa izin. Daftar baru itu juga memuat tambahan sekitar 10 perusahaan publik China. Investor dan pemegang saham perusahaan-perusahaan itu dipastikan harus memilih dan mengambil sikap investasi mereka dengan keluarnya daftar itu.
Perusahaan-perusahaan besar China masuk dalam daftar itu. Termasuk di antaranya perusahaan-perusahaan yang sebelumnya termasuk dalam daftar Departemen Pertahanan. Mereka, antara lain, Aviation Industry Corp of China (AVIC), China Mobile Communications Group, China National Offshore Oil Corp (CNOOC), Hangzhou Hikvision Digital Technology Co Ltd, Huawei Technologies Ltd, dan Semiconductor Manufacturing International Corp (SMIC). SMIC adalah kunci dari langkah nasional China untuk meningkatkan sektor cip domestiknya.
”Kami sepenuhnya berharap bahwa dalam beberapa bulan ke depan akan menambahkan perusahaan tambahan ke pembatasan perintah eksekutif yang baru itu,” kata salah satu pejabat senior AS.
Sumber lain dari Pemerintah AS menyebutkan bahwa masuknya perusahaan teknologi pengawasan China memperluas cakupan perintah awal pemerintahan Trump tahun lalu. Perintah itu menurut Gedung Putih dirancang dengan ceroboh karena rawan digugat secara hukum.
Biden disebut telah meninjau sejumlah aspek kebijakan AS terhadap China. Pemerintahannya, misalnya, telah memperpanjang tenggat untuk implementasi yang ditetapkan oleh pemerintahan Trump saat menyusun kerangka kebijakan. Langkah ini sekaligus merupakan bagian dari serangkaian langkah Biden yang lebih luas untuk melawan China. Biden berketetapan untuk memperkuat aliansi AS dan mengejar investasi domestik besar untuk meningkatkan daya saing ekonomi AS di tengah hubungan yang semakin memburuk dengan Beijing.
Beijing sendiri dipastikan tidak tinggal diam. Sebagaimana dimuat media China, Global Times, China berjanji untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi hak dan kepentingan sah perusahaan China.
Wang Wenbin, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan bahwa China akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hak dan kepentingan sah perusahaan China. Beijing dengan tegas juga mendukung upaya perusahaan China untuk melindungi hak mereka sendiri sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pemerintah China mendesak AS untuk berhenti mengambil tindakan yang merusak tatanan pasar keuangan global dan merugikan kepentingan investor. ”Pemerintah AS sebelumnya memberlakukan larangan investasi terhadap perusahaan yang berhubungan dengan militer China untuk tujuan politik, yang sepenuhnya mengabaikan fakta dan situasi aktual dan secara serius merusak tatanan pasar normal dan merugikan hak dan kepentingan sah tidak hanya perusahaan China, tetapi juga kepentingan investor global, termasuk investor AS,” kata Wang.
Li Haidong, seorang profesor di Institut Hubungan Internasional Universitas Luar Negeri China, mengatakan, Biden sengaja memperluas persaingannya dengan China. Hal itu dilakukan semata-mata untuk menahan perkembangan China yang tengah meningkatkan kekuatan ekonomi dan ilmiahnya. Li yakin upaya Pemerintah AS untuk melemahkan perkembangan ekonomi dan teknologi perusahaan China tidak akan berhasil dan rencananya hanya akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan dan investor AS.
Bulan lalu, Koordinator kebijakan Indo-Pasifik Biden, Kurt Campbell, mengatakan, periode kerja sama AS dengan China telah berakhir dan bahwa paradigma dominan dalam hubungan bilateral ke depan adalah persaingan. Sumber dari kalangan pejabat senior AS mengatakan Departemen Keuangan AS nanti akan memberikan panduan tentang apa arti ruang lingkup teknologi pengawasan, termasuk apakah perusahaan dianggap memfasilitasi penindasan atau pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
”Kami benar-benar ingin memastikan bahwa larangan di masa depan memiliki landasan hukum yang kuat. Jadi, daftar pertama kami benar-benar mencerminkan hal itu,” kata sumber lainnya. (AFP/REUTERS/BEN)