Titah Presiden Xi dan Diplomasi ala ”Pendekar Serigala” China
China ingin membangun citra yang lebih positif guna mendukung bangsa itu mencapai kesejahteraan. Namun, pendekatan agresif oleh sejumlah politisi dan diplomat China di media menjadi hambatan.
Presiden China, yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Partai Komunis China, Xi Jinping, pada awal pekan ini meminta pemerintah dan seluruh media arus utama China menyebarluaskan citra ”Negara Panda” itu sebagai entitas yang ramah, terhormat, dan bisa diandalkan masyarakat global. Namun, citra yang dibangun politisi dan diplomat melalui gaya ”Pendekar Serigala” bisa kontraproduktif.
Instruksi tersebut dimaksudkan agar rakyat China bisa memperoleh akses global untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Akan tetapi, kehadiran para ”Pendekar Serigala” di kalangan politisi dan diplomat membuat cita-cita itu tidak mudah dicapai.
”Kita harus memakai pendekatan multilateral, bukan pendekatan unilateral, apalagi hegemoni. Kembangkan diskursus global yang menempatkan China pada citra positif. Misalnya, nilai-nilai falsafah klasik dan modern serta kemanusiaan universal,” kata Xi dalam arahannya ketika berbicara di forum Partai Komunis China, Selasa (1/6/2021).
Baca juga: Tantangan Besar bagi China
Beberapa cara yang diajukan oleh Xi ialah melalui diplomasi kebudayaan. Ia meminta adanya pendekatan antarpersonal antara warga negara China dan warga negara-negara lain guna mengenalkan nilai-nilai tradisi ataupun pandangan China modern kepada dunia. Oleh sebab itu, harus ada sistem pengembangan profesional di bidang komunikasi untuk membentuk citra China yang bersahabat di luar negeri.
Menurut Xi, hal ini diperlukan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat China. Hubungan yang baik dengan negara-negara lain berarti semakin banyak akses rakyat China untuk meningkatkan kesejahteraan dan bekerja sama dalam berbagai bidang yang akan membawa pembangunan di China.
Pernyataan Xi ini disambut dengan antusias oleh para politisi China. Di negara itu, pidato ataupun arahan lainnya adalah titah yang harus dilaksanakan.
Meskipun demikian, ada sejumlah pihak yang memberikan pandangan kritis mengenai cara diplomasi China yang dinilai tidak konsisten. Di satu sisi, China ingin dipandang sebagai bangsa yang baik dan terhormat, tetapi di sisi lain ada begitu banyak nilai merah di dalam rapor internasionalnya. Isu hak asasi manusia, seperti penindasan kelompok etnis Uighur dan Tibet, salah satu contohnya.
Pada akhir tahun 2020, lembaga penelitian dari Amerika Serikat (AS), Pew Research, menerbitkan hasil jajak pendapat terhadap 14.276 orang dewasa yang tinggal di 14 negara, antara lain, di AS, Kanada, Jepang, Jerman, Inggris, dan Perancis. Sebanyak 77 persen responden mengemukakan, mereka memiliki pandangan negatif terhadap China, terutama soal isu hak asasi manusia.
Peneliti senior Pew Research, Laura Silver, ketika berbicara kepada CNN mengatakan, pandangan miring terhadap China ini sudah muncul jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Setelah pandemi merebak, China bersikap defensif saat AS meminta mereka membuka data mengenai asal-usul virus. Hal itu menyebabkan masyarakat dunia semakin tidak memercayai mereka.
”Pendekar Serigala”
Apalagi, sejak 2019 negara tersebut dikenal mempraktikkan apa yang selama ini kerap disebut sebagai diplomasi ”Pendekar Serigala”. Memang tidak ada panduan resmi bahwa diplomasi ini dianggap sebagai metode yang diakui oleh Pemerintah China, tetapi pada praktiknya gaya diplomasi tersebut mengakibatkan kesulitan bagi media arus utama global maupun masyarakat sipil dunia untuk bisa menerima China dengan tangan terbuka.
”Pendekar Serigala” adalah terjemahan dari Zhan lang, film karya sutradara sekaligus aktor laga Wu Jing pada 2015 dan sekuelnya tahun 2017. Film ini tercatat sebagai film komersial tersukses sepanjang sejarah China. Wu berperan sebagai anggota pasukan khusus China yang sendirian menghadapi musuh dari pihak-pihak asing ataupun pengkhianat dari dalam negeri. Tema cerita yang ultranasionalis ini membuat film ”Pendekar Serigala” disukai para pejabat pemerintah hingga rakyat jelata.
Para ”Pendekar Serigala” ini kemudian ”melompat” keluar dari layar perak ke dunia nyata. Wujudnya adalah para politisi dan diplomat di dalam Pemerintah China. Mereka ”melolong dan menggigit” tidak hanya di media arus utama, tetapi juga di berbagai media sosial. Salah satu diplomat paling agresif adalah juru bicara Kementerian Luar Negeri, Zhao Lijian.
Zhao terkenal galak di media sosial. Ia mempraktikkan diplomasi defensif sekaligus ofensif. Mantan Presiden AS Donald Trump ketika menjabat sebagai pemimpin Negara Paman Sam memiliki reputasi buruk karena comel di Twitter. Salah satu cuitannya mengatakan, pandemi Covid-19 sebagai strategi perang biologis China, bahkan menyebut penyakit ini sebagai ”Kung Flu”, pelesetan dari bela diri tradisional kungfu.
Bukannya mendudukkan perkara, Zhao membalas dengan lebih cerewet di Twitter. Ia mengejek Trump sebagai penyebar teori konspirasi. Pada saat yang sama, Zhao juga menggaungkan bahwa jangan-jangan justru AS yang menyebarkan virus SARS-CoV-2 dan lalu mengambinghitamkan China.
Pada pertengahan 2020, ketika China mengekspor masker medis dan alat pelindung diri (APD) dalam jumlah besar, beberapa negara mengemukakan kritik bahwa mutu perlengkapan medis ini tidak sebaik yang diharapkan. Menanggapi hal itu, Zhao mencuit, ”Kalau begitu jangan beli masker dan APD dari China. Cari saja dari tempat lain.”
Perilaku ”Pendekar Serigala” ini menular kepada rekan-rekan di Pemerintah China. Kritik dari pihak lain ditanggapi dengan cuitan baper atau balas menjelek-jelekkan si pengkritik. Salah satu contoh adalah kejadian seusai pertemuan para menteri luar negeri negara-negara anggota G-7. Para menlu G-7 menerbitkan komunike yang berisi ketertarikan untuk mengembangkan diplomasi politik, ekonomi, dan budaya dengan China. Syaratnya, China harus memperbaiki perilaku mereka terhadap kelompok minoritas dan menghentikan genosida terhadap etnis Uighur.
Baca juga: Taiwan Tuduh China Halangi Mereka Membeli Vaksin Covid-19
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, dalam jumpa pers di Beijing membalas dengan mengejek negara-negara G-7 tidak becus mengelola diri sendiri. Kekerasan berbasis ras dan agama masih terjadi di Barat, kesenjangan sosial semakin melebar, dan mereka menumpuk vaksin Covid-19 untuk diri sendiri. Berbeda dengan China yang membagi-bagikan vaksin kepada negara-negara lain, terutama negara miskin dan berkembang.
Pada April 2020, Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian memanggil duta besar China untuk Perancis supaya meminta maaf kepada rakyat Perancis. Akun media sosial Kedutaan Besar China di Paris menyebarkan unggahan bahwa panti-panti jompo Perancis sengaja membiarkan warga lansia yang tertular Covid-19 meninggal. Walhasil, rakyat Prancis berang. Diselidiki lebih lanjut, unggahan ini keluar ketika Perancis termasuk negara yang mempertanyakan asal-usul virus korona.
Kontraproduktif
Gaya diplomasi tersebut secara umum ditanggapi secara positif oleh rakyat China karena cara komunikasi seperti itu terkesan nasionalis dan membela kehormatan bangsa. Namun, sejumlah kritik, termasuk di dalam Pemerintah China, mengatakan bahwa akan lebih banyak dampak buruk yang dihasilkan dari agresivitas dalam diplomasi dan komunikasi tersebut. Kantor berita Xinhua pada tahun 2020 mencatat ada 115 akun Twitter yang terdaftar atas nama politisi dan diplomat China dan aktif bercuitan.
Baca juga: Filipina Kehilangan Kesabaran pada China
Mantan Duta Besar China untuk Maroko dan Mali, Cheng Tao, ketika diwawancara majalah Caixin mengemukakan, tidak menyukai diplomasi ”Pendekar Serigala”. Menurut dia, cara ini sangat tidak sesuai dengan citra ramah dan dapat diandalkan yang ingin dibangun oleh China.
”Sekarang ini zamannya diplomasi bijak. Argumen pro maupun kontra harus berdasarkan kajian akademik dan sudut pandang politik yang lebih luas. Bukan saling lempar tuduhan karena terbakar emosi,” ujar Cheng.
Sementara itu, ketika diwawancarai harian South China Morning Post, Direktur Pusat Politik Global Universitas Kajian Luar Negeri China (CFAU) Shi Zhan menerangkan, dampak jangka panjang diplomasi ”Pendekar Serigala” akan merugikan China. Bukannya mengundang simpati, melainkan malah kian mempercepat pengasingan China dari jejaring global. Apalagi, pandemi mengakibatkan pola rantai suplai global berubah sehingga risiko terhadap perkembangan industri China juga besar.