Dokter Lintas Batas Minta ASEAN Buka Jalur Kemanusiaan ke Myanmar
Selain luka-luka akibat konflik, ada masalah serius penyakit tropis yang diperparah oleh kejadian topan Mocha.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi kemanusiaan internasional, Dokter Lintas Batas (Medecins Sans Frontieres/MSF), meminta kepada Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN agar membuka akses kemanusiaan permanen ke Myanmar. Hal ini demi memastikan semua lapisan masyarakat di negara itu mendapat akses layanan kesehatan, terlepas mereka pro-junta militer atau kubu prodemokrasi.
Hal itu disampaikan Christos Christou, Presiden Internasional MSF, ketika berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Kamis (6/7/2023). Pemimpin organisasi yang berkantor pusat di Geneva, Swiss, ini tengah melakukan tur ke negara-negara Asia Tenggara untuk menyampaikan misi kemanusiaan MSF sekaligus mengadvokasi mengenai penanganan penyakit tuberkulosis (TB), khususnya TB di kalangan anak-anak.
”Berhubung Sekretariat ASEAN di Jakarta, MSF juga bertemu dengan berbagai perwakilan tetap negara-negara untuk ASEAN, menyampaikan laporan mengenai situasi di Myanmar,” katanya.
Christou menjelaskan bahwa MSF merupakan organisasi netral dan independen. Keberadaan MSF di Myanmar merupakan komitmen mereka untuk selalu memberikan bantuan kesehatan, penanganan bencana, dan penyuluhan hidup sehat. Mereka memiliki misi untuk tetap tinggal di suatu negara ataupun wilayah seburuk apa pun keadaannya.
MSF telah beroperasi di Myanmar sejak 1992. Konflik yang terus berkecamuk di negara itu menghadirkan sejumlah hambatan bagi misi MSF. Selain memberi bantuan kemanusiaan, MSF juga bertindak sebagai mata dan telinga komunitas internasional untuk melaporkan perkembangan situasi di sana.
”Kami melakukan pendekatan sesuai dengan poin keempat di dalam Lima Poin Konsensus ASEAN terkait Myanmar,” kata Christou, merujuk pada poin tentang bantuan kemanusiaan.
Lima Poin Konsensus itu adalah penghentian segala bentuk kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pemangku kepentingan, mediasi oleh utusan khusus ketua ASEAN yang dibantu Sekretaris Jenderal ASEAN, memberikan berbagai bantuan kemanusiaan melalui Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan ASEAN (AHA Centre), serta kunjungan utusan khusus ke Myanmar untuk bertemu semua pihak.
MSF melihat pentingnya pembukaan jalur kemanusiaan yang permanen bagi berbagai lembaga swadaya masyarakat ataupun organisasi kemanusiaan internasional. Jika ada jalur ini, proses pemberian bantuan logistik, obat-obatan, ataupun layanan kesehatan tidak perlu melalui birokrasi yang berbelit-belit.
”ASEAN memiliki kekuatan untuk mewujudkannya. Apalagi, Indonesia merupakan suara yang sangat penting di ASEAN sebagai Ketua ASEAN 2023 dan bisa mengawal komitmen ini ketika jabatan bergilir ini diambil alih oleh Laos untuk tahun 2024,” kata Christou.
Jika ada jalur kemanusiaan, proses pemberian bantuan logistik, obat-obatan, ataupun layanan kesehatan tidak perlu melalui birokrasi yang berbelit-belit.
Ia menuturkan, apabila permintaan dikabulkan oleh ASEAN, MSF berencana memulai program kemanusiaan intensif mereka menangani dampak Topan Mocha yang melanda pada 14 Mei lalu. Salah satu lokasi dengan penduduk terdampak terbanyak ada di Negara Bagian Rakhine.
Terdapat pula persoalan mengenai kelompok etnis Rohingya di Myanmar. Walaupun pada tahun 2017 mereka melakukan eksodus ke Bangladesh, masih ada warga etnis Rohingya yang bertahan di Rakhine. Mereka tidak terjamah layanan kesehatan oleh Pemerintah Myanmar dulu ataupun junta sekarang.
”Selain luka-luka akibat konflik, ada masalah serius penyakit tropis yang beberapa antara lain malaria dan demam berdarah. Juga ada persoalan kekurangan gizi serta akses air bersih yang menimbulkan gangguan pencernaan dan penyakit kulit. Ini diperparah dengan topan Mocha yang kian mendatangkan penyakit,” ujar Christou.
Jadi korban
Bergerak membantu di wilayah konflik memiliki tantangan serta risiko kematian bagi para pekerja kemanusiaan. Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volker Turk mengatakan bahwa sejak kudeta Myanmar terjadi pada Februari 2021, jumlah pekerja kemanusiaan yang tewas mencapai 40 orang. Angka ini dicantumkan di dalam laporan Turk kepada Komisi HAM PBB.
”Serangan kepada para pekerja kemanusiaan ini disengaja dan direncanakan. Ini pelanggaran HAM berat, bahkan di situasi konflik sekalipun,” ucap Turk.
Sepertiga rakyat Myanmar atau sekitar 17,6 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan segera. Sebanyak 3.747 orang telah tewas di tangan junta militer. Adapun jumlah penduduk yang kehilangan tempat tinggal mencapai 1,5 juta orang. Jika tidak ditangani, Myanmar akan jatuh ke dalam krisis kemanusiaan parah.
Turk memaparkan bahwa terjadi serangan disengaja ke berbagai fasilitas kesehatan, sumur-sumur warga, ladang warga, dan gudang makanan. ”Siapa pun yang melakukan serangan itu harus diadili sebagai penjahat perang,” tuturnya.
Baik junta militer maupun kelompok pemberontak sama-sama mengeluarkan pernyataan menyangkal telah melakukan serangan-serangan ke fasilitas kemanusiaan tersebut. Mereka saling melempar kesalahan sehingga mempersulit penelusuran mencari pihak yang bertanggung jawab. (AFP)
------------
CATATAN EDITOR:
Tulisan ini telah diperbarui terkait peran MSF di Myanmar pada hari Jumat, 7 Juli 2023, pukul 18.00 WIB. Terima kasih - Redaksi