Limbah Nuklir Fukushima Dibuang ke Laut, IAEA Awasi Sampai Tetes Terakhir
PLTN Fukushima Daiichi akan membuang limbah nuklirnya setelah mendapat lampu hijau dari IAEA. Untuk menenangkan publik, IAEA akan mengawasi prosesnya sampai tetes terakhir.

Foto ini memperlihatkan tangki yang menyimpan air yang sudah diolah tetapi masih bersifat radioaktif setelah digunakan untuk mendinginkan bahan bakar bekas di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi di Okuma, Prefektur Fukushima, Jepang, pada 27 Februari 2021.
TOKYO, RABU - Badan Tenaga Atom Internasional atau IAEA akan mengecek kondisi pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi sekali lagi sebelum Pemerintah Jepang membuang air radioaktif yang sudah diolah di kompleks itu selama dua tahun ke laut. IAEA memberi lampu hijau untuk pembuangannya ke laut karena dinilai sudah memenuhi standar global.
Sekitar 1,33 juta ton air tanah, air hujan, dan air yang digunakan untuk pendinginan reaktor nuklir terakumulasi di kompleks Fukushima yang dinonaktifkan setelah beberapa reaktor meleleh akibat gelombang tsunami pada 2011 yang merusak fasilitas tersebut. Akan tetapi, masyarakat Jepang khususnya para nelayan, dan negara tetangga seperti Korea Selatan dan China tetap tidak yakin dan khawatir buangan bekas limbah dari Fukushima Daiichi itu masih beracun dan berbahaya, tak hanya bagi kehidupan manusia tetapi juga habitat laut.
Baca juga : Dapat Lampu Hijau IAEA, Jepang Segera Buang Limbah Nuklir ke Samudra Pasifik
Direktur IAEA Rafael Grossi, berbicara dengan masyarakat Jepang, Rabu (5/7/2023), berusaha meyakinkan mereka tentang rencana pelepasan air limbah itu, meski ia mengakui kekhawatiran tetap ada. “Kami tidak mempunyai solusi jitu yang bisa meredakan keraguan dan kekhawatiran, tetapi kami akan membuka kantor permanen di sini untuk meninjau perkembangan dari pelepasan air ini. Kami akan tinggal di sini bersama Anda selama beberapa dekade mendatang. Sampai tetes air terakhir yang dibuang,” kata Grossi di Iwaki, Perfektur Fukushima, Jepang. Grossi mengunjungi Fukushima pada Rabu malam, lalu melanjutkan perjalanan ke Korsel, Selandia Baru, dan Kepulauan Cook.
Operator PLTN Fukushima Daiichi, Tokyo Electric Power Company (Tepco), selama bertahun-tahun mengolah air limbah itu untuk menghilangkan hampir semua unsur radioaktif kecuali tritium, isotop hidrogen yang susah dipisahkan dari air. Mereka berusaha mengencerkannya sebelum kemudian membuangnya ke laut. Air yang diolah sudah diencerkan jauh di bawah tingkat tritium yang disetujui secara internasional sebelum dilepaskan ke Samudra Pasifik.
Grossi mengatakan, mengolah, mengencerkan, dan melepaskan air limbah secara bertahap adalah metode yang sudah terbukti banyak digunakan di negara-negara lain, termasuk China, Korsel, Amerika Serikat, dan Perancis untuk membuang air yang mengandung radionuklida tertentu dari pembangkit nuklir. Sebagian besar air limbah Fukushima mengandung cesium dan radionuklida lainnya, tetapi akan disaring lebih lanjut untuk membawanya di bawah standar internasional, kecuali tritium. Kemudian air limbah akan diencerkan 100 kali dengan air laut sebelum dilepaskan. Sebagian ilmuwan menilai, untuk dampak jangka panjang, paparan radionuklida dosis rendah belum diketahui sehingga sebaiknya jangan dilepaskan dulu.

Anggota kelompok sipil yang memakai topeng Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida (kanan) dan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol berunjuk rasa menentang keputusan pemerintah Jepang untuk melepaskan air radioaktif olahan ke laut dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima, di Seoul, Korea Selatan, Rabu (5/7/2023).
Sementara sebagian ilmuwan lain menilai rencana pelepasan itu aman, tetapi menuntut lebih banyak transparansi dalam pengambilan sampel dan pemantauan. Proses pelepasan air ini juga tak bisa dilakukan dengan cepat. Paling tidak akan memakan waktu 30-40 tahun.
Rencana Jepang ini ditentang, terutama oleh para nelayan, karena khawatir tidak akan ada yang mau membeli hasil tangkapan mereka. Serikat nelayan Jepang sudah lama menentang rencana itu karena beberapa negara melarang impor produk makanan dari Jepang lantaran takut pada dampak radiasi. Jepang dilaporkan secara teratur menguji makanan laut dari daerah Fukushima dan dinyatakan aman.
Baca juga : 10 Tahun Setelah Tsunami, Fukushima Terseok-seok
China termasuk negara yang melarang impor makanan laut dari 10 prefektur di Jepang, termasuk Fukushima dan Tokyo. Impor makanan laut dari prefektur lain diperbolehkan, tetapi harus lulus uji radioaktivitas dan memiliki bukti diproduksi di luar 10 prefektur yang dilarang.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, mengkritik pelepasan air limbah nuklir Jepang. China akan meningkatkan pemantauan lingkungan laut dan pemeriksaan impor hasil laut untuk memastikan keselamatan dan keamanan pangan masyarakat. Harian Yomiuri menyebutkan Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi akan bertemu secara terpisah dengan Menlu China Qin Gang dan Menlu Korsel Park Jin, di sela-sela pertemuan tingkat menteri ASEAN, pekan depan, untuk menjelaskan perkara ini.
Harian Mainichi menyebutkan, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida juga akan bertemu Presiden Korsel Yoon Suk Yeol untuk menjelaskan masalah yang sama ketika menghadiri pertemuan puncak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Lituania, pekan depan. Sama seperti China, harian Korea Times, menyebutkan Pemerintah Korea akan memeriksa intensif seluruh impor produk makanan laut dari Jepang selama 100 hari setelah air bekas limbah PLTN Fukushima dilepaskan. Wakil Menteri Kelautan Korsel Park Sung-hoon mengatakan akan memeriksa apabila importir, distributor, dan pengecer sudah menandai dengan benar semua asal bahan makanan laut yang datang dari luar negeri seperti kerang dan ikan laut.

Dalam arsip foto pada 26 Agustus 201 ini, nelayan Choji Suzuki memilah ikan yang dia tangkap di perairan lepas pantai Iwaki, sekitar 40 kilometer selatan PLTN Fukushima Daiichi yang lumpuh akibat gelombang tsunami. Kapal Suzuki salah satu dari 14 kapal penangkap ikan yang direkrut Prefektur Fukushima untuk ekspedisi penangkapan ikan dan seminggu sekali secara bergilir untuk mengukur tingkat radiasi ikan yang mereka tangkap di perairan Fukushima.
Pada 2013, Korsel melarang semua impor makanan laut dari delapan prefektur di dekat Fukushima karena takut dengan radiasinya. Korsel tidak akan mencabut pembatasan impor karena mengutamakan keselamatan dan kesehatan rakyat. Bagi yang gagal menandai negara asal produk makanan laut, akan diancam denda hingga 7.600 dollar AS (Rp 114 juta). Mereka yang memalsukan tanda diancam hukuman penjara hingga tujuh tahun.
Pada Mei dan Juni lalu, Pemerintah Korsel memeriksa jaringan distribusi domestik makanan laut Jepang dan menangkap 158 pengecer karena salah dan tidak memasang tanda asal negaranya. Selama pertengahan awal tahun ini, Korsel sudah mengimpor 10.710 ton makanan laut dari Jepang, sekitar 2 persen dari total impor makanan laut Jepang. “Pemeriksaan intensif ini harus dilakukan supaya masyarakat bisa membeli dan menyantap makanan laut tanpa harus merasa khawatir,” kata Park.
Baca juga : Jalan Panjang Menuju Hidup Normal
Wakil Kepala Pertama dari Kantor Koordinasi Kebijakan Korsel Park Ku-yeon menyatakan, Korsel menghormati keputusan IAEA mengizinkan pelepasan air buangan PLTN Fukushima karena IAEA adalah badan otoritatif dunia. Hanya, Pemerintah Korsel akan menyampaikan hasil analisis terhadap tinjauan akhir IAEA setelah penilaian independen Korsel selesai.
Hasil survei terbaru oleh Gallup Korsel menyebutkan sekitar 80 persen responden prihatin dengan keputusan Jepang karena Korsel banyak membeli garam dari Jepang. Sebuah situs e-dagang lokal melaporkan peningkatan hingga 800 persen dalam pembelian garam dari minggu ke minggu pada Juni setelah Jepang mengumumkan rencana pelepasan air Fukushima. Korsel sedang dalam proses melepaskan hingga 400 ton garam laut dari cadangan negara untuk menstabilkan pasar. (REUTERS/AFP/AP)