Rencana Militerisasi AS di Asia Cuatkan ”Wuwang Guochi”
China, di bawah Xi, telah meninggalkan sikap diam terhadap tekanan asing. Sikap diam ini umumnya berlaku di era pemimpin China sebelumnya. Xi sebenarnya juga tetap ingin diam, tetapi terpaan asing tidak pernah berhenti.
Menjadi makmur dan kuat atau fu qiang. Inilah impian China yang tertanam selama 150 tahun sejarah dipermalukan oleh asing. Status fu qiang penyebab Barat bisa menjajah China, maka hal serupa harus diraih. Rencana militerisasi AS di Asia mencuatkan lagi frasa China wuwang guochi atau ”jangan pernah lupa sejarah dipermalukan”.
Frasa ini bertujuan mengenang penjajahan pahit, terutama oleh Inggris dan Jepang. Di dalamnya termasuk peran pahit oleh Perancis, AS, Rusia, Portugal, Italia, Belanda, Spanyol, Belgia, Swedia, Norwegia, dan Austro-Hongaria.
Inggris dikenal dengan Perang Opium dua babak, memaksa China membebaskan perdagangan opium yang melemahkan serta membuat rakyat China kecanduan. Hasil dagang ganja menjadi sumber pembiayaan kolonialisasi dan sebagian wilayah China dicaplok.
Baca Juga: AS-China Bersitegang di Laut China Selatan
Jepang dikenal dengan pembantaian Nanjing, diiringi penghinaan kepada Dinasti Qing serta pancaplokan wilayah China. Ini ditambahkan lagi dengan pencaplokan wilayah oleh beberapa negara asing, seperti dikompilasikan USC US-China Institute (PowerPoint Presentation (usc.edu)).
Begitu pahit kisah sejarah, hingga China dijuluki ”orang sakit dari Asia”. Tentu kelemahan Dinasti Qing dan pertarungan internal turut memudahkan kolonialisasi asing di China yang lemah sejak tahun 1840 hingga era reformasi ekonomi pada 1978.
Di tengah era kolonialisasi, China sudah mengampanyekan wuwang guochi. Frasa ini dipopulerkan pertama kali pada 1915, sebagaimana disebutkan dalam buku Never Forget National Humiliation: Historical Memory in Chinese Politics and Foreign Relations karya profesor Zheng Wang terbitan 2012. Wang adalah kelahiran China dan kini Direktur Center for Peace and Conflict Studies (CPCS) serta profesor di School of Diplomacy and International Relations, Seton Hall University.
Falsafah pohon diterpa angin
Kampanye didasari niat kuat karena sejarah dipermalukan membekas kuat secara psikis (Forbes, 17 September 2015). Di dalamnya ada kesan amarah karena tekanan asing kepada China yang tidak pernah mengendor hingga sekarang, termasuk rencana terbaru militerisasi oleh AS di Asia. Rencana ini didukung pernyataan mendiang Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada 1 Juli 2014, bahwa Jepang akan mengubah Konstitusi Pasifis untuk membuka pintu bagi perubahan arah militer di depan (The Global Times, 8 Juli 2014).
Nuansa geram ini tergambar dalam ucapan Presiden Xi Jinping pada acara 100 tahun Partai Komunis China pada Juli 2021. ”China tidak akan lagi bisa ’diintimidasi, ditindas, atau ditundukkan’, dan siapa pun yang mencobanya akan ’mendapati kepala mereka berlumuran darah di tembok baja besar’,” kata Xi.
Isu sejarah ini mencuat lagi sejak Xi menjabat pada 2012. ”Setiap orang yang berniat membantah, mendistorsi, atau mengagungkan sejarah agresi tidak akan pernah ditoleransi,” kata Xi dalam kesempatan lain pada 2014, merespons pernyataan PM Abe.
Baca Juga: Memahami Arah Rivalitas AS-China
Kisah sejarah juga menjadi penyebab buruknya hubungan China-Jepang, sebagaimana dituliskan Cambridge University Press, 11 Januari 2016, lewat artikel berjudul ”Routinised recognition and anxiety: Understanding the deterioration in Sino-Japanese relations”.
Nada keras tidak muncul mendadak. Kisah sejarah dipermalukan menghinggapi para teknokrat dan pemimpin China sejak era Dinasti Qing hingga Deng Xiaoping. Untuk mencegah pengulangan sejarah, China harus mewujudkan fu qiang, seperti dituliskan pada buku berjudul Wealth and Power: China’s Long March to the Twenty-first Century terbitan 2013 karya Orville Schell dan John Delury. Buku ini terbit tak lama setelah Xi berkuasa.
China, di bawah Xi, telah meninggalkan sikap diam terhadap tekanan asing. Sikap diam ini umumnya berlaku di era Deng Xiaoping, Jiang Zemin, hingga hu Jintao. Xi sebenarnya juga tetap ingin diam, tetapi terpaan asing tidak pernah berhenti.
Sejarah memengaruhi kebijakan
Di era Xi, ditiupkan ungkapan ”shu yu jìng er feng bu zhi” (pohon tetap ingin diam, tetapi angin tidak akan berhenti menerpa). Lewat artikel ”China will not swallow bitter pill of humiliation”, harian China Daily, 5 Juli 2016, menuliskan mengapa sikap diam ditinggalkan dan China malah mulai unjuk gigi termasuk lewat arena militer.
Harian itu menambahkan, ”China sebagai negara cinta damai telah berupaya mencegah badai, telah mencoba sikap menahan diri paling maksimal ketika Angkatan Laut AS rutin mengirimkan kapal-kapal perang memasuki perairan Laut China Selatan atas nama navigasi bebas.”
”Akan tetapi, niat baik itu tidak resiprokal, ketulusannya dianggap enteng, sikap menahan diri China telah dipandang sebagai tanda kelemahan,” demikian China Daily melanjutkan. Maka dari itu, lanjut harian tersebut, latihan militer China di Laut China Selatan, ”Layak diterjemahkan sebagai kesiapan perjuangan jangka panjang demi mengamankan kedaulatan. China harus bersiap-siap dengan situasi terburuk sekalipun.”
Baca Juga: AS-China Setuju Cegah Konflik Terbuka
Buku karya Schell dan Delury itu menyebutkan, faktor sejarah dipermalukan menjadi faktor yang memengaruhi hampir semua agenda di China. Sangat penting memahami aspek ini dalam relasi AS-China, pesan buku tersebut. Sejarah dipermalukan membuat setiap gerak-gerik atau tekanan Barat mudah menjelma sebagai pengingat kisah dipermalukan. Presiden Xi kini dikenal paling gencar mengingatkan sejarah itu lewat program The Chinese Dream, sekaligus menjadi dorongan mengejar kemajuan di segala bidang.
Buku karya Schell dan Delury itu melanjutkan, China mengidap ilusi bahwa asing itu barbar dan terlalu jauh dari sikap beradab. Sejarah dipermalukan oleh negara-negara asing yang demokratis justru tidak memperlihatkan peradaban. Maka, China mengejar fu qiang bukan lewat jalan demokrasi, melainkan lewat sosialisme komunis.
Akan tetapi, niat baik itu tidak resiprokal, ketulusannya dianggap enteng, sikap menahan diri China telah dipandang sebagai tanda kelemahan.
Generasi China berikutnya juga mungkin akan sulit melupakan sejarah dipermalukan. Bahkan, warga ”dibius” mendukung pemerintah, terutama jika itu terkait dengan tekanan asing. Zheng Wang menuliskan, kisah sejarah dipermalukan merasuk di sanubari rakyat. Kisah sejarah memilukan itu telah menjadi bahan pelajaran sejarah di sekolah-sekolah China.
Zheng menambahkan, untuk memahami China, kunjungi sekolah-sekolah dan bacalah juga buku teks pelajaran sejarahnya. Di dalamnya ada penekanan tentang penderitaan rakyat akibat ulah asing. Dalam sejarah tentang perang melawan Jepang, konflik ditekankan lebih ke arah pertarungan etnis Jepang dan China.
Menurut Wang, buku sejarah juga menekankan budaya ketidaknyamanan terhadap asing. Kisah sejarah terkait ini termasuk mengambil kasus-kasus terbaru. AS juga diposisikan sebagai negara yang membuat China tidak nyaman. Kasus pengeboman oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pimpinan AS atas Belgrade pada 1999 yang turut menyasar bangunan Kedubes China disetir sebagai penghinaan kepada China.
Baca Juga: Relasi AS-China dan Dunia
Kisah meninggalnya pilot pesawat tempur F-8 China pada 2001 akibat tabrakan dengan pesawat mata-mata EP-3 AS turut dijadikan bahan pelajaran sejarah. Penekanannya, termasuk tentang AS yang tidak bertanggung jawab dan tidak meminta maaf atas kejadian itu. Menurut Wang, setiap kejadian sejarah disusun agar menyentuh rasa dipermalukan.
Sebagai akibatnya, kata Wang, Pemerintah China memanaskan sentimen termasuk lewat manuver militer. Rakyat didorong memahami dan sekaligus menginginkan pemerintah agar tidak kompromi atas tekanan asing.
Wang menuliskan perspektif domestik China, di mana sejarah disusun sedemikian rupa dengan tujuan agar pihak luar bisa memahami dasar kebijakan luar negeri China. Hal itu sekaligus menjelaskan mengapa generasi muda China begitu patriotik dan nasionalistis. Setelah peristiwa gerakan demokrasi di Lapangan Tiananmen pada 1989, ”sejarah dipermalukan” dicuatkan dengan penekanan asing ada di balik itu.
Gugatan pada penyusunan sejarah
Gugatan Wang, sejarah disusun tidak sekaligus membuat Partai Komunis berkaca atas kekhilafan masa silam. Bagaimanapun juga, demikian Wang, partai turut menyebabkan sejarah dipermalukan terjadi, termasuk akibat pertarungan kelas di China. Namun, inti dari kampanye pendidikan patriotik lewat sejarah adalah kemuliaan China dan trauma dipermalukan.
Wang menunjukkan, ketika melihat kejayaan masa lalu Tiongkok, buku teks ”melupakan” aspek lain. ”Misalnya, buku teks sejarah standar China memuji ekspedisi angkatan laut Laksamana Zheng He pada era Dinasti Ming sebagai ’pelayaran perdamaian dan persahabatan’,” demikian hasil kajian atas buku itu yang dilakukan Zachary Fredman dari Boston University.
Fredman menambahkan, dalam penelitian terbaru terlihat bahwa pelayaran Zheng sering disertai dengan aksi kekerasan terhadap penduduk lokal (halaman 46). Namun, buku teks sejarah ini menekankan bahwa China selalu menjadi ”negara cinta damai” sambil mengabaikan kampanye militer yang dilakukan berbagai dinasti terhadap tetangga China.
Pendidikan sejarah di China juga mengagungkan pencapaian Partai Komunis China sembari mengabaikan penderitaan yang dialami banyak warga biasa di tangan partai. Dalam buku teks China, sebagian besar kisah tentang penderitaan warga datang akibat campur tangan asing dan penghinaan.
Insiden kapal Yinhe
Namun, kisah China dipermalukan memang nyata terjadi dan berlanjut di era modern serta berlangsung semena-mena. Termasuk kisah terbaru terkait ini adalah pencidukan di laut oleh AS atas kapal kargo China, Yinhe, pada 1993. Kasus ini terjadi berdekatan dengan Perang Teluk I, kala AS menyerang Irak sepihak pada 1991.
Harian The New York Times, 6 September 1993, menuliskan, intelijen AS mencurigai Yinhe yang sedang dalam perjalanan di Teluk Persia berisikan gas beracun dan senjata. Yinhe diperiksa di pelabuhan Damman, Arab Saudi, dan tidak ditemukan bahan beracun atau senjata kimia.
Akan tetapi, proses pelepasan Yinhe butuh waktu 20 hari hingga para awak kapal kekurangan persediaan air. China mengecam perilaku AS itu dan meminta kompensasi karena telah menyebabkan gangguan pelayaran. AS tidak merasa perlu minta maaf dan menyatakan hanya bertindak atas niat baik, juga tidak membayar kompensasi. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS ketika itu, Michael McCurry, hanya mengatakan bahwa AS telah bertindak penuh tanggung jawab dan berterima kasih kepada China atas sikap terbuka.
Namun, China tak bisa menerima. ”Jika perilaku bertindak sendiri seperti polisi dunia seperti itu tidak dikecam, masih adakah keadilan, kesetaraan kedaulatan, dan relasi normal di antara negara-negara di dunia ini?” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri China. (AFP/REUTERS)