Pekerja Migran Minta Malaysia Adil
Ribuan WNI ditahan Malaysia melebihi aturan keimigrasian negara itu. Ada ratusan tahanan berusia di bawah 18 tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Malaysia diminta memberikan keadilan kepada pekerja migran di negara itu. Kuala Lumpur juga diimbau menghentikan penangkapan pekerja migran yang hamil, sakit, atau berusia lanjut. Sementara Pemerintah Indonesia agar lebih proaktif membantu warganya yang ditahan di depot detensi imigrasi Malaysia.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, mengatakan, sampai Maret 2023 saja ada 3.550 warga Indonesia tetap ditahan Malaysia meski masa tahanan maksimum telah lewat. ”Tidak ada kepastian hukum kapan mereka disidang,” ujarnya dalam pembahasan temuan Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB), Senin (26/6/2023), di Jakarta.
Sejak 2020, KBMB memantau Rumah Detensi Imigrasi (DTI) Sabah dan Sarawak, Malaysia. Pemantauan juga dilakukan di tempat penampungan sementara pekerja migran di Nunukan, Kalimantan Utara. Hasil pemantauan telah disiarkan secara berkala. Untuk hasil keempat, KBMB membahas, antara lain, bersama Komnas HAM.
Baca juga: Penempatan Pekerja Migran Ilegal Berkembang dan Beradaptasi
Anggota tim pencari fakta KBMB, Nurismi Ramadhani, mengatakan, masa tahanan melebihi hukuman maksimum aturan keimigrasian hanya salah satu persoalan di berbagai DTI. Tim KBMB selalu menemukan persoalan dalam serangkaian pemantauan.
Untuk laporan kali ini, fokusnya adalah pekerja migran yang hamil, sakit, dan berusia lanjut (lansia). Laporan juga fokus pada kondisi anak balita. ”Pada Maret-April 2023, ada 14 deportasi massal dan empat deportasi khusus dari Sabah ke Nunukan,” ujarnya.
Dari rangkaian deportasi itu, ada 174 orang berusia di bawah 18 tahun. Bahkan, ada 41 anak balita di antara orang-orang yang dideportasi Malaysia. Sebagian anak itu menghabiskan tahun-tahun awal hidupnya dalam DTI Malaysia. Sebab, ibu mereka ditangkap kala hamil, lalu melahirkan di dalam DTI. ”Ibu hamil tidak mendapat pelayanan kesehatan selama di DTI,” ujar Nurismi.
Pekerja lansia meninggal
Tim KBMB juga menemukan sejumlah pekerja migran lansia meninggal di DTI atau kala dirujuk ke rumah sakit. ”Berdasarkan kesaksian para deportan lain, mereka yang meninggal di rumah sakit baru diantar beberapa jam sebelum akhirnya wafat. Ada indikasi penolakan terhadap hak kesehatan,” tutur Nurismi.
Oleh karena itu, KBMB mendesak Malaysia tidak menangkap perempuan hamil, orang sakit, dan orang lansia. Sebab, mereka tidak mendapat pelayanan kesehatan memadai selama di DTI. Bahkan, sebagian akhirnya meninggal.
KBMB juga merekomendasikan Malaysia membuat DTI khusus perempuan hamil, orang lansia, tahanan sakit, dan anak-anak. Sebab, DTI saat ini tidak memungkinkan ada pelayanan memadai untuk tahanan dengan kondisi tersebut. ”Malaysia perlu mempertimbangkan pengembangan penahanan alternatif,” ujar Nurismi.
Malaysia memakai pendekatan hukum imigrasi untuk masalah pekerja migran. Kuala Lumpur tidak memakai pendekatan pekerja atau HAM dalam menangani pekerja migran.
Harian Kompas telah menghubungi Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta Ammil Afiq Jazimi untuk meminta tanggapan. Hingga berita ini naik cetak, belum ada tanggapan dari Ammil.
Persoalan lain yang muncul, menurut Nurismi, Malaysia memakai pendekatan hukum imigrasi untuk masalah pekerja migran. Kuala Lumpur tidak memakai pendekatan pekerja atau HAM dalam menangani pekerja migran. ”Karena itu, pendekatannya menangkap dan menghukum,” katanya.
Masalahnya, menurut Anis, Malaysia tidak konsisten menjalankan hukumnya sendiri. Aturan keimigrasian Malaysia menetapkan 18 bulan sebagai masa tahanan maksimum bagi pelanggar aturan keimigrasian Malaysia.
Faktanya, menurut Anis, ada ribuan orang ditahan lebih dari 18 bulan di berbagai DTI Malaysia. Bahkan, ada ribuan warga Indonesia ditahan hingga tiga tahun di berbagai DTI Malaysia. Padahal, Malaysia seharusnya mendeportasi orang-orang yang telah ditahan maksimum 18 bulan. Dengan demikian, beban berbagai DTI Malaysia juga berkurang.
Terkait hal itu, KBMB menemukan indikasi kelebihan beban DTI. Ini terlihat dari kepadatan jumlah penghuni. Sejumlah ruangan berkapasitas maksimum di bawah 100 orang terpaksa dihuni hingga 200 orang.
Malaysia tidak konsisten menjalankan hukumnya sendiri.
”Penghuninya terpaksa tidur miring karena tidak ada tempat untuk tidur telentang. Bukan hanya kelebihan kapasitas, tahanan di berbagai DTI juga tidak mendapat hak kesehatan memadai, seperti ditemui pada kasus tahanan lansia dan perempuan hamil,” katanya.
KBMB menemukan bahwa tidak semua pekerja migran yang ditangkap berstatus sebagai pendatang ilegal. Sebagian ditangkap karena gagal menunjukkan dokumen keimigrasian. Sebab, dokumen itu disimpan pemberi kerja, sedangkan penangkapan dilakukan di luar tempat kerja.
Ada juga kasus-kasus penangkapan di tempat tinggal para pekerja. Penangkapan seperti itu terjadi biasanya selepas musim panen. KBMB menemukan pola, penangkapan paling kerap terjadi selepas musim panen selesai. Saat musim panen, nyaris tidak ada penangkapan terhadap pekerja migran. Para pekerja migran yang ditangkap banyak yang bekerja di berbagai perkebunan.
Anis mengatakan, memang salah satu kendala deportasi adalah identifikasi kewarganegaraan. Sebagian orang yang ditahan di DTI tidak memiliki dokumen kewarganegaraan.
Bahkan, sebagian tidak jelas kewarganegaraannya. Karena itu, diperlukan proses untuk mengidentifikasi kewarganegaraan para tahanan di DTI. ”Bukan hanya dari Indonesia, ada juga dari Filipina dan negara lain,” ujarnya.
Baca juga: Dua Jenazah Pekerja Migran Tiba di Tanah Air Setiap Hari
Salah satu solusi untuk kendala itu juga persoalan lain, Indonesia perlu lebih rutin memberikan pendampingan kekonsuleran kepada warganya di DTI. Dengan pendampingan rutin, diharapkan berbagai persoalan yang menimpa warga Indonesia di DTI bisa segera terindentifikasi.
KBMB merekomendasikan Malaysia memberikan kepastian proses hukum terhadap para tahanan. ”Tahanan imigrasi mengalami derita psikologis berkepanjangan, yang juga tidak diperlukan, karena tidak tahu kapan penghukuman akan berakhir. Perbaikan administrasi peradilan harus segera dilakukan, termasuk memenuhi hak para tahanan untuk mengetahui status hukumnya,” kata Nurismi.