Dua Kisah Lain Pemberontakan di Rusia yang Tak Disebut Putin
Seperti Gorbachev dan Yeltsin, Putin selamat dari pemberontakan. Namun, bagaimana dengan masa depan Putin berikutnya?
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·3 menit baca
Rostov-on-Don, kota berjarak sekitar 1.000 kilometer selatan Moskwa, Rusia, pada akhir pekan lalu tiba-tiba menjadi pusat perhatian dunia. Semula tak ada yang terlihat ganjil saat Yevgeny Prigozhin, pendiri dan komandan pasukan tentara bayaran Wagner Group, Jumat (23/6/2023) siang, mengunggah rekaman video pernyataan di Telegram.
Sudah sering Prigozhin muncul di Telegram. Lewat platform media sosial ini, ia biasa menyampaikan pernyataan-pernyataan atau melaporkan pertempuran-pertempuran yang dijalani pasukannya. Saat ia dan pasukannya merebut kota Bakhmut, Mei 2023, Prigozhin juga tampil di Telegram, menyampaikan kemenangan mereka.
”Instrumen Prigozhin adalah Telegram,” kata Stephen Kotkin, sejarawan ahli Rusia dan penulis tiga volume biografi Joseph Stalin dalam wawancara dengan Redaktur Pelaksana Jurnal Foreign Affairs Justin Vogt, 24 Juni 2023. ”Jika militer Rusia mulai terbelah di lapangan, ini seperti peristiwa yang digerakkan oleh Telegram di kancah politer militer.”
Pada Jumat siang itu, Prigozhin awalnya mempertanyakan motif Kremlin melancarkan perang di Ukraina. Dalam rentetan pesan berikutnya, pria berusia 62 tahun mengklaim, anggota pasukan dijadikan target serangan udara militer Rusia. Kamp-kamp pasukan Wagner di Ukraina, tuding Prigozhin, digempur pasukan Moskwa dengan helikopter, roket, dan artileri.
Ia menyebut beberapa pejabat militer Rusia, antara lain Menteri Pertahanan Sergey Shoigu dan Kepala Staf Umum Jenderal Valery Gerasimov, sebagai pemberi perintah serangan itu. Keduanya dituding bersekongkol ingin menghancurkan pasukan Wegner. Kementerian Pertahanan Rusia menyebut klaim Prigozhin sebagai ”kabar bohong”.
Waktu terus bergulir. Selepas Jumat tengah malam, dinas intelijen Rusia, Badan Keamanan Federal (Federal Security Service/FSB), mengumumkan investigasi terhadap Prigozhin dengan tuduhan pemberontakan bersenjata. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyebut ada ”upaya kudeta bersenjata”.
Hari berganti, Sabtu. Sekitar pukul 07.30 waktu setempat, Prigozhin kembali muncul melalui video di Telegram. Ia mengumumkan, pasukan Wagner telah menguasai kota Rostov-on-Done, termasuk menduduki Markas Distrik Militer Selatan. Koresponden media Rusia, RT, melaporkan adanya ledakan besar dan tembakan di sekitar markas itu.
Suasana semakin tegang saat Prigozhin memobilisasi pasukannya menuju Moskwa, jantung kekuasaan Rusia. Media Rusia melaporkan, mereka menembak jatuh beberapa helikopter dan pesawat komunikasi militer. Tak ada konfirmasi mengenai hal itu dari Kemenhan Rusia. Menjelang siang, Presiden Rusia Vladimir Putin berpidato di televisi dan menyebut situasi yang terjadi sebagai ”tikaman di punggung”.
Ia menyebut revolusi tahun 1917 yang berujung perang saudara. ”Orang Rusia membunuh warga Rusia. Sesama saudara saling membunuh, sementara para petualang politik dan kekuatan-kekuatan asing memetik keuntungan dari situasi itu dengan mencabik-cabik negeri ini untuk dipecah belah. Kami tak membiarkan hal itu terjadi lagi,” kata Putin.
Ada dua peristiwa besar lain, yang belum terhapus dari memori, yang tak disebut Putin dalam pidatonya. Pertama, upaya kudeta oleh kelompok komunis garis keras terhadap Presiden Rusia (kala itu) Mikhail Gorbachev, Agustus 1991. Kedua, pemberontakan berdarah oleh kelompok komunis dan nasional terhadap Presiden (waktu itu) Boris Yeltsin, 21 September-4 Oktober 1993.
Yang pertama, Gorbachev sedang menikmati liburan di Crimea saat tiba-tiba ditahan oleh polisi rahasia Soviet, KGB. Tank-tank dan tentara sudah disiagakan di jalan-jalan di Moskwa. Sejumlah pejabat militer dan sipil, otak upaya kudeta itu, ingin mencegah penandatanganan keputusan yang memberi otonomi lebih besar pada 15 republik di Soviet.
Percobaan kudeta tersebut tidak terorganisasi dengan rapi. Hanya dalam hitungan dua hari, setelah puluhan ribu warga Rusia turun ke jalan-jalan, berpusat di gedung parlemen, Moskwa, upaya kudeta itu padam. Tak terlupakan saat Yeltsin, yang baru terpilih sebagai Presiden Rusia, berdiri dan berpidato di atas salah satu tank mengelingi gedung parlemen. Beberapa bulan kemudian, satu demi satu republik-republik di Soviet mengumumkan kemerdekaannya.
Pemberontakan berikutnya menimpa Yeltsin, dua tahun kemudian. Krisis saat itu lebih besar, menelan korban jiwa sedikitnya 148 orang, menyusul kebuntuan politik selama beberapa bulan. Yeltsin selamat dari upaya kudeta. Ia memerintahkan tank-tank menyerbu gedung parlemen.
Hampir 30 tahun berlalu, Putin mengalami pemberontakan dalam skala jauh lebih kecil yang dilancarkan Prigozhin. Lokasinya pun jauh dari pusat kekuasaan di Moskwa. Drama pemberontakan kali ini padam lebih cepat (hanya sekitar 36 jam), tanpa setetes darah pun tertumpah, dan melibatkan pihak ketiga, Presiden Belarus Alexander Lukashenko, yang menampung Prigozhin dan tentara bayarannya.
Seperti Gorbachev dan Yeltsin saat itu, Putin selamat. Sementara pemberontakan di Rostov-on-Don padam, banyak pertanyaan muncul mengenai kelanjutan drama 36 jam itu. Salah satu pertanyaan utama: bagaimana masa depan Putin berikutnya, dan apakah drama ini akan mengubah dinamika perang Ukraina?