Orang Jepang yang tidak sanggup menghadapi tekanan punya dua cara, menghilang atau bunuh diri. Ada bisnis untuk membantu orang Jepang yang mau menghilang dari kehidupan lama dan memulai hidup baru.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Sebagian orang Jepang benar-benar secara harfiah memulai hidup baru. Bahkan, ada bisnis untuk membantu orang-orang yang menginginkan itu. Pilihan itu diambil bila kehidupan saat ini dirasakan terlalu menekan.
Kantor berita AFP menyoroti fenomena itu lewat laporan pada Sabtu (24/6/2023). Setiap Juni, kepolisian Jepang mengeluarkan laporan jumlah orang hilang. Dalam risalah pada Juni 2023 diungkap, 84.910 warga Jepang dilaporkan hilang pada 2022. Pada 2013-2022, rata-rata 83.283 orang Jepang menghilang setiap tahun. Jumlah pria yang menghilang selalu lebih banyak dibandingkan perempuan. Pada 2022, 54.259 pria Jepang dilaporkan menghilang.
Jumlah orang yang dilaporkan menghilang hanya menurun selama pandemi Covid-19 pada 2020-2021. Kala itu, laporan orang hilang tidak sampai 80.000 orang per tahun. Pembatasan gerak, termasuk jam malam, ikut menurunkan jumlah orang hilang.
Pelarian malam hari adalah arti harfiah dari bisnis yang membantu orang-orang menghilang. Orang Jepang menyebut bisnis itu sebagai Yonige-Ya yang berarti “Toko Pelarian Malam Hari”. Sebagian perusahaan di bisnis itu menyediakan laman dan pusat layanan melalui telepon. Dengan demikian, layanan itu mudah diakses.
Dinamai Yonige-Ya karena para pelaku biasanya memang meninggalkan kehidupan lamanya pada malam hari. Biasanya, kala orang-orang di sekitar tempat tinggal lama sudah tidur atau tidak ada. Setelah itu, pelaku benar-benar-benar menghilang seperti uap air. Orang Jepang memakai istilah Jouhatsu atau menguap untuk orang yang mendadak menghilang.
Dua Pilihan
Salah satu pemilik Yonige-Ya, Sho Hatori, menyebut ada banyak alasan orang ingin meninggalkan kehidupan lamanya. Ada yang menghilang untuk menghindari tumpukan utang, ada juga yang karena kegagalan di sekolah atau tempat kerja.
Jepang salah satu masyarakat yang kurang menoleransi kegagalan. Orang Jepang mengenal Sekentei yang secara ringkas bermakna tidak mempermalukan diri sendiri dan senantiasa taat aturan. Kegagalan dinilai tidak sesuai prinsip itu dan dampak mentalnya pada orang yang gagal bisa sangat buruk.
Peneliti kajian Jepang pada Lund University, Paul O’Shea, mengatakan, orang Jepang sangat mempertahankan budayanya. Pria akan merasa gagal jika tidak mampu memberi nafkah layak kepada keluarga. Sementara perempuan akan dianggap gagal jika tidak mampu mengurus rumah dan menjadi ibu. “Gagal akan menjadi sangat memalukan bagi orang Jepang,” kata dia.
Hitori mengatakan, tekanan itu bisa disikapi dengan dua cara. Bagi yang tetap bersemangat hidup, walau tidak dengan kehidupannya sekarang, akan memilih jouhatsu. “Kami membantu orang-orang memulai kehidupan yang benar-benar baru, terpisah dari kehidupan lamanya,” kata dia kepada BBC.
Sementara bagi yang sudah tidak sanggup lagi hidup, akan memilih bunuh diri atau jisatsu. Kasus bunuh diri di Jepang memang amat tinggi. Hutan Aokigahara di kaki gunung Fuji menjadi salah satu lokasi bunuh diri di Jepang.
Hitori dan banyak pebisnis Yonige-Ya tidak membantu orang yang ingin memilih jisatsu. Sementara untuk yang memilih jouhatsu, biaya layanannya bisa mencapai ratusan ribu yen per orang. Biaya akan tergantung pada tingkat kerumitan pelarian.
Jouhatsu dan Yonige-Ya sudah lama menjadi bagian Jepang. Hitori sudah berbisnis setidaknya 30 tahun. Jauh sebelum itu, malah ada film dokumenter yang merekam fenomena jouhatsu. Film berjudul Ninger Jouhatsu itu dibuat Imamura Shōhei pada 1967. Film itu menceritakan lika-liku upaya detektif swasta yang disewa keluarga pelaku Jouhatsu.
Nakamori mengatakan, dulu pelaku johatsu lebih banyak karena tidak tahan dengan suami atau istrinya. Alih-alih bercerai, mereka memilih menghilang. Sebab, proses perceraian amat rumit dan bisa memalukan. Sementara jouhatsu bisa dilakukan seketika.
Bukan Pidana
Calon pengguna Yonige-Ya akan diperiksa untuk memastikan tidak melakukan pelanggaran pidana apa pun. Sebab, membantu pelarian kasus pidana bisa dianggap sebagai kaki tangan. Orang Jepang sampai sekarang masih terus mengingat pelarian Carlos Ghosn, warga Lebanon-Perancis.
Mantan pemimpin Renault-Nissan itu melarikan diri dari tahanan rumah di Tokyo Desember 2019. Pelarian itu dibantu pensiunan tentara Amerika Serikat, Michael Taylor. AS setuju mengekstradisi Taylor dan lalu divonis dua tahun penjara oleh Jepang pada Juli 2021. Taylor mengaku dibayar setidaknya 1 juta dollar AS untuk membantu pelarian Ghosn yang sampai sekarang tinggal di Lebanon.
Meski hampir mirip, para pebinis Yonige-Ya tidak mau terlibat hal seperti itu. Mereka masih mau membantu jika calon kliennya hanya menghindari masalah perdata. Calon klien yang terlilit masalah perdata akan dikenai tarif layanan lebih tinggi dibandingkan yang hanya ingin menghilang karena tekanan hidup.
Hitori dan para pebisnis Yonige-Ya menyediakan layanan pindah tempat tinggal saja hingga mendapatkan identitas baru. Aturan privasi yang amat ketat dan dihormati di Jepang memudahkan jouhatsu.
“Keluarga tidak bisa sembarang meminta akses pada rekaman kamera pengawas. Polisi tidak bisa campur tangan pada kasus orang hilang kecuali ada indikasi kematian yang mencurigakan atau penculikan. Keluarga hanya bisa menunggu,” kata sosiolog yang lama meneliti jouhatsu, Hiroki Nakamori.
Sebagian pelaku jouhatsu memang ada yang akhirnya kembali. Ada yang membutuhkan beberapa tahun saja, ada juga yang sampai puluhan tahun baru kembali lagi ke keluarganya. (AFP)