Makelar Pengurusan Berhenti Kerja Berkembang di Jepang
Di Jepang, banyak karyawan menganggap proses mengundurkan diri dari perusahaan sebagai momok. Takut untuk mengutarakannya ke atasan adalah salah satunya. Persoalan ini ditangkap sebagai peluang bisnis.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Wujud kesetiaan orang Jepang antara lain berupa bekerja di tempat yang sama dalam jangka panjang. Bahkan, sebagian orang Jepang menganggap berhenti kerja untuk pindah ke tempat lain adalah kesalahan besar. Anggapan itu dipertahankan sekalipun situasi di tempat kerja tidak nyaman.
Jepang dikenal antara lain karena pekerjanya bisa bertahan di satu tempat kerja dalam jangka panjang. Di antara negara maju, pekerja Jepang rata-rata bekerja selama 12,4 tahun di satu tempat kerja. Di negara maju lainnya, lama bekerja rata-rata pegawai di satu tempat kerja yang sama adalah 10,1 tahun.
Pekerja di Jepang memang diharapkan bertahan di satu tempat kerja sampai memasuki masa pensiun. Masih ada anggapan negatif di Jepang terhadap orang yang pindah kerja dengan alasan mengejar karir dan penghasilan. Sebab, kebudayaan di Jepang mengutamakan pencapaian kelompok dibandingkan kemajuan karir individu.
Padahal, kondisi kerja di Jepang tidak selalu baik-baik saja. Sejak lama ada istilah “karoshi” untuk menyebut orang yang meninggal karena bekerja terlalu keras. Miwa Sado (31), jurnalis yang meliput isu politik, meninggal setelah lembur selama 159 jam pada 2013. Ada pun Matsuri Takahashi (24), yang bekerja di biro iklan Dentsu Inc, meninggal setelah lembur 100 jam.
Sebaliknya, mengacu pada data Kementerian Tenaga Kerja Jepang, pindah kerja bisa menawarkan kesempatan lebih baik. Setidaknya sepertiga karyawan yang berhenti lalu pindah kerja mendapatkan kenaikan gaji dan tunjangan.
“Ada kondisi di banyak perusahaan Jepang bahwa salah bahkan memalukan untuk berhenti kerja. Anda akan mengecewakan orang lain atau dimarahi atasan kalau berhenti kerja. Dampaknya, banyak orang tetap bertahan di tempat kerja yang tidak mereka sukai,” kata Yuichiro Okazaki, pendiri Exit, kepada Financial Times.
Pengalaman mencemaskan soal berhenti kerja juga dialami mitra Okazaki di Exit, Toshiyuki Niino. Beberapa tahun lalu, Niino juga khawatir saat akan memutuskan keluar dari Softbank yang dimiliki Masaoyoshi Son.
Bisnis mereka sederhana, yakni membantu karyawan menyampaikan kepada perusahaan bahwa mereka mau berhenti bekerja.
Kala itu, bekerja untuk Son dianggap sebagai salah satu bukti keunggulan. Sebab, Son merupakan investor yang mendanai banyak perusahaan rintisan dan salah satu orang terkaya Jepang.
Pengalaman Niino mendorongnya mendirikan Exit bersama Okazaki. Bisnis mereka sederhana, yakni membantu karyawan menyampaikan kepada perusahaan bahwa mereka mau berhenti bekerja. Exit akan menghubungi perusahaan dan atasan tempat kliennya itu dan menyampaikan bahwa klien Exit tidak akan lagi bekerja sejak pemberitahuan disampaikan Exit.
Pemberitahuan disampaikan dua pekan sebelum pekerja mulai benar-benar berhenti. Hal itu sesuai dengan aturan di Jepang bahwa pekerja harus menyampaikan pengunduran diri paling telat dua pekan sebelum mulai berhenti bekerja.
Setelah pemberitahuan Exit, perusahaan akan mengirimkan surat kepada karyawannya. Niino-Okazaki menekankan, seluruh komunikasi antara perusahaan dengan karyawan yang menjadi klien Exit hanya boleh dilakukan lewat surat. Tidak boleh ada percakapan lewat telepon apalagi pertemuan langsung.
Sebab, karyawan memakai jasa Exit karena mereka takut menyampaikan pengunduran diri secara langsung. Percakapan lewat telepon apalagi pertemuan langsung akan membuat ketakutan itu hadir lagi. Ketakutan itu bisa ditekan bila komunikasi cukup dilakukan lewat surat.
Hingga 70 persen klien Exit merupakan pria berusia paling tua 30 tahun. Mereka bekerja di berbagai bidang. Alasan klien Exit ingin keluar dari pekerjaan lama bervariasi, mulai dari mengalami perundungan, jenuh, hingga lembur tanpa dibayar. Sebagian besar terpaksa memakai jasa Exit karena tidak berani menyampaikan secara langsung kepada atasan atau tempat kerjanya.
Exit salah satu pemula di bisnis itu. Kini, menurut Japan Times, ada hampir 30 perusahaan di Jepang menyediakan layanan jasa sejenis. Kini, biaya layanan Exit rata-rata 20.000 yen per orang.
Saat didirikan pada 2017, Exit menagih 50.000 yen untuk karyawan tetap dan 40.000 yen untuk karyawan tidak tetap. Ada potongan harga 10.000 yen untuk klien yang menggunakan jasa Exit lebih dari sekali. Setiap bulan, rata-rata 300 orang menggunakan jasa Exit.
Tanpa KarakterTentu tidak semua senang dengan keberadaan Exit dan perusahaan sejenis. Salah satunya Koji Takahashi yang bekerja di salah satu perusahaan di Tokyo. Ia pernah dikontak perusahaan sejenis Exit kala ada bawahannya keluar.
Karena tidak mengerti situasinya, ia mendatangi rumah karyawan itu dan bertemu orangtua karyawan tersebut. “Saya memberikan kartu nama, mengenalkan diri sebagai atasan anak mereka yang sebenarnya terhitung baru menjadi karyawan. Saya jelaskan kebingungan saya,” katanya kepada Aljazeera.
Mereka dimanfaatkan pihak lain untuk mendapatkan uang dari ketakutan mereka.
Kepada orangtua karyawannya itu, Takahashi menitipkan pesan. “Saya akan menerima pengunduran diri anak mereka jika anak mereka mau menghubungi saya secara langsung. Saya ingin memastikan keselamatannya,” ujarnya.
Ia menganggap, pengguna jasa Exit dan perusahaan sejenis sebagai orang tanpa karakter dan penakut. “Mereka dimanfaatkan pihak lain untuk mendapatkan uang dari ketakutan mereka,” kata dia.
Okazaki memahami jika banyak orang tidak suka dengan bisnisnya. Namun ia berkilah bahwa bisnisnya tercipta karena ada permintaan pasar untuk itu. Fakta hampir 30 perusahaan menyediakan jasa sejenis menunjukkan pasar untuk segmen itu masih besar.
Niino mengatakan, banyak kliennya merasa terbantu oleh Exit atau perusahaan sejenis. Sebagian pemberi kerja juga bersyukur karena mendapat masukan atas kondisi kerja di tempat mereka.
“Sebagian orang mau keluar bukan karena kondisi kerjanya buruk, melainkan karena tidak suka dengan atasannya. Kepada kami, para klien mengungkapkan dengan jelas apa alasan mereka keluar. Bagi perusahaan, data itu penting untuk meningkatkan kondisi kerja,” tuturnya.
Fakta hampir 30 perusahaan menyediakan jasa sejenis menunjukkan pasar untuk segmen itu masih besar.
Bisnis Exit, menurut Niino, akan bertahan selama berhenti kerja dianggap tabu oleh masyarakat Jepang. Padahal, kondisi itu buruk bagi kesehatan mental.
“Sebagian klien kami sampai berpikir akan bunuh diri karena tidak sanggup dengan tekanan di tempat kerja. Mereka merasa lega setelah menemukan jasa kami. Kami sudah enam tahun mengelola perusahaan ini dan jumlah kliennya terus bertambah. Jadi, kami tidak yakin ada perubahan selama beberapa tahun terakhir,” kata dia. (RAZ)