Pengalaman Seumur Hidup yang Seharga Nyawa
Liburan mewah berbiaya ratusan ribu bahkan jutaan dolar kian populer sejak pembatasan perjalanan Covid-19 dicabut. Mulai dari mendaki Everest, mengunjungi Stasiun Luar Angkasa, hingga melihat bangkai Titanic.
Bagi sebagian orang, liburan itu bisa berarti bersantai-santai healing di pantai atau pegunungan. Atau berlibur di taman dekat-dekat rumah saja. Jika beruntung dan ada uang lebih, bisa juga jalan-jalan ke luar daerah atau bahkan luar negeri.
Namun, bagi mereka yang superkaya, tujuan liburan itu ibaratnya ”sundul langit” alias tak ada batasnya, berapa pun ongkosnya. Entah ke palung terdalam atau ruang angkasa, tak masalah bagi mereka. Mereka bisa memilih terbang ke Stasiun Luar Angkasa Internasional atau melihat bangkai kapal RMS Titanic sebagaimana dilakukan baru-baru ini oleh lima penjelajah tajir asal Eropa dan Amerika Serikat.
Menggunakan jasa OceanGate, mereka menempuh perjalanan bawah laut menggunakan kapal selam mini yang disebut Titan. Tujuan mereka adalah ”kuburan” Titanic di dasar Samudra Atlantik Utara, Minggu (18/6/2023).
Kelima penumpang Titan itu adalah CEO OceanGate dan pilot Titan, Stockton Rush; taipan kelahiran Pakistan tetapi berkewarganegaraan Inggris, Shahzada Dawood (48), dan putranya, Suleman Dawood (19); penjelajah asal Inggris, Hamish Harding (58); serta ahli Titanic dan kapal selam, Paul-Henri Nargeolet (77).
Baca juga: Titan Terbaring di Dasar Atlantik Bersama Titanic
Untuk menikmati pengalaman itu, setiap orang harus membayar 250.000 dollar AS atau Rp 4 miliar kepada OceanGate. Namun sayang, wisata yang tergolong ekstrem itu berakhir dengan tragedi.
Baru saja menyelam selama 1 jam 45 menit, Titan hilang kontak. Setelah lima hari pencarian, tim pencari menemukan puing-puing Titan sekitar 488 meter dari bangkai Titanic. Diduga, Titan meledak. Ada anomali suara seperti ledakan bawah laut tak lama setelah Titan hilang kontak.
Kini, perhatian orang tertuju pada penyebab Titan meledak dan gugatan faktor keamanan dan keselamatan Titan yang berukuran seperti mobil minivan itu. CEO OceanGate sekaligus pilot Titan, mendiang Stockton Rush, pernah mengatakan Titan aman bahkan “hampir kebal risiko. Tetapi, ia juga mengakui pada titik tertentu, tidak ada apapun yang aman. “Tetapi, jika Anda hanya ingin merasa aman, sebaiknya jangan bangun dari tempat tidur. Jangan masuk ke mobil Anda. Jangan lakukan apapun. Pada titik tertentu, Anda akan mengambil risiko,” kata Rush kepada wartawan CBS, David Pogue, tahun lalu.
Pelancong tamasya ekstrem ini diyakininya tidak akan pernah melakukan perjalanan ke dasar lautan atau ke puncak gunung bahkan ke luar angkasa jika mengkhawatirkan masalah keselamatan dan keamanan terus. Bagi sebagian orang, risiko dalam perjalanan atau petualangan itu justru menjadi daya tarik tersendiri dan ini yang membuat bisnis “pemenuhan selera petualangan ekstrem” sedang melonjak.
Kalau perjalanan jelajah bangkai Titanic harganya Rp 4 miliar, harga untuk ikut tamasya ke luar angkasa bersama roket SpaceX pada April 2022 itu mencapai 55 juta dollar AS atau Rp 825 miliar. Berapa kalau untuk jalan-jalan ke Kutub Selatan? Tur Kutub Selatan biayanya sekitar 100.000 dollar AS atau Rp 2 miliar. Atau mau ikut ke luar angkasa bersama Virgin Galactic dengan tiket 450.000 dollar AS atau Rp 7 miliar. Perjalanan mendaki Gunung Everest juga berkisar Rp 2 miliar untuk perjalanan eksklusif “hanya untuk Anda”. Tetapi Everest juga menjadi kurang menarik bagi kelompok super duper kaya karena sudah banyak orang yang berhasil mendaki hingga ke puncaknya.
Eksklusif
Eksklusivitas, petualangan, dan risiko bahaya adalah perpaduan yang kuat bagi kelompok super duper kaya. Kecelakaan tragis Titan tidak akan menyurutkan orang-orang sangat kaya untuk tetap berlibur menantang maut. Pakar wisata petualangan dan rekreasi di Universitas Sheffield Hallam, Inggris, Adele Doran, kepada BusinessInsider, Kamis, yakin bisnis tamasya ekstrem tidak akan pernah bangkrut karena selalu akan ada orang kaya yang haus akan tantangan.
Seperti salah satu korban Titan, Hamish Harding, yang sebelumnya pernah ikut ke luar angkasa bersama Blue Origin milik Jeff Bezos, tahun lalu. Status yang diberikan kepada orang super duper kaya dengan jelajah ribuan meter di bawah laut, ke luar angkasa, atau pergi ke tempat sangat terpencil, merupakan faktor besar di pasar tamasya ekstrem ini. “Penelitian di unggahan media sosial menunjukkan wisatawan petualang selalu menyebutkan seberapa tinggi mereka mendaki atau seberapa jauh mereka berjalan. Faktor bisa menyombongkan diri ini penting,” kata Doran.
Apalagi setelah berhasil melakukan pengalaman yang pertama, terpanjang, atau paling ekstrem. Banyak pelancong mencari pengakuan untuk itu. Psikolog perjalanan di AS, Charlotte Russell, menjelaskan banyak orang menganggap “menantang diri sendiri” sebagai hal yang positif. Bagi orang yang tidak kaya-kaya amat, tantangan itu bisa datang dalam bentuk latihan lari marathon, mempelajari ketrampilan baru, atau melakukan hobi berbeda. Tetapi, bagi orang super duper kaya, tantangannya menjadi lebih ekstrem. “Miliarder cenderung suka mengambil risiko besar sehingga perilakunya juga ekstrem. Dan karena mereka kaya raya, mereka tak mau dilihat orang melakukan hal-hal yang biasa-biasa saja,” ujarnya.
Shirley Palmer, pakar pola pikir dan kebahagiaan di AS, sependapat. Untuk orang super duper kaya, partisipasi dalam tamasya ekstrem itu menjadi bukti status sosial mereka karena tamasyanya prestise. Tetapi ada juga alasan lain untuk ikut tamasya ekstrem, karena mereka bosan saja. “Bagi mereka yang memiliki segalanya, ada keinginan untuk melarikan diri dari kebosanan dan mencari kebaruan. Mereka bosan atau stres dari rutinitas sehari-hari. Wisata ekstrem bisa memberikan kebaruan dan menyuntikkan kebahagiaan,” ujarnya.
Baca juga: Terjebak Macet? Naik Taksi Terbang Aja
Aktivitas berisiko tinggi bisa membuat orang ketagihan dan meninggalkan perasaan euforia bahagia. Apalagi jika petualangan itu dilakukan untuk pertama kalinya, berdurasi panjang, dan sangat ekstrem. Selain sensasinya, banyak pelancong juga mencari pengakuan untuk itu.
Psikolog Scott Lyons yang kliennya termasuk beberapa orang terkaya di dunia juga menilai orang kaya semakin mencari “rasa hidup” karena jika dari sisi ekonomi, mereka sudah puas dan terpenuhi semua kebutuhannya. Orang super duper kaya secara alami adalah pengambil risiko. Orang akan melakukan lebih banyak pencarian sensasi jika mereka rentan terhadap kebosanan. Petualangan lalu menawarkan “rasa hidup” itu. Secara fisiologis, tamasya ekstrem bisa memberikan kebahagiaan. Ada banyak hormon yang dilepaskan tubuh kita dan menjadi pereda nyeri atau endorfin dan untuk sesaat ini bisa menghilangkan rasa bosan atau mati rasa. “Orang yang mencari sensasi dengan mengejar petualangan dan pengalaman baru cenderung konsisten mengejar momen singkat ini. Rasa menjadi orang penting dan istimewa setelah melakukan sesuatu yang tidak dilakukan orang lain ini juga seperti candu,” kata Lyons kepada harian Daily Mail, Kamis.
Layanan spesial
“Tren” tamasya ekstrem ini belum akan mati berkat media sosial yang menggugat hasrat orang untuk mencari lebih banyak sensasi dan adrenalin seperti melihat bangkai Titanic secara langsung. Hanya sedikit orang yang beruntung bisa melihat Titanic dari jarak dekat. Ekspedisi OceanGate adalah salah satu perusahaan yang didirikan 2009 dan melayani permintaan dari individu yang ingin menjelajahi laut bahkan sampai di kedalaman samudra dunia yang tampaknya tidak terjangkau. “Bagi orang yang sangat kaya, uang bukan masalah. Pengalaman yang utama. Mereka menginginkan sesuatu yang tidak akan pernah mereka lupakan,” kata pemilik TARA, Inc., firma spesialis event-event khusus, Nick D'Annunzio, kepada CNN, Rabu lalu.
Besarnya risiko tamasya ekstrem ini membuat biayanya mahal karena proses persiapannya pun dilakukan hati-hati untuk meminimalisir kesalahan atau kecelakaan. Wakil Presiden Abercrombie & Kent untuk jet pribadi & perjalanan minat khusus, Ann Epting, mengatakan perusahaan perjalanan mewah biasanya merencanakan perjalanan petualangannya sekitar 18 bulan sebelumnya untuk memastikan keamanan para pelancongnya. Perusahaan akan melakukan apa saja sebagai tindakan pencegahan risiko sejak awal. Seperti ketika tamasya ke desa pegunungan di Oman, Abercrombie & Kent pernah membuat anak tangga di sisi gunung dan jembatan kayu agar desa lebih mudah diakses para pelancong.
Baca juga: Wisata Luar Angkasa, Tamasya Kaum Kaya Menembus Kemustahilan
Bisnis tamasya ekstrem juga melonjak berkat teknologi, semua bisa diakses meski terbatas. Kini orang bisa lebih mudah ke luar angkasa karena perkembangan teknologi pesawat luar angkasa yang melesat. Pesawat jet pribadi yang canggih juga sekarang sudah bisa menjelajahi Antartika.
Yang semula mustahil dilakukan, sekarang bisa dan biasa asalkan ada uangnya. Pasar “wisata petualangan” mewah tumbuh cepat dan membuka sudut-sudut daerah terpencil di seluruh dunia. Wisatawan sekarang bisa naik pesawat jet pribadi dari Cape Town, Afrika Selatan, ke Kutub Selatan “hanya” dengan merogoh kocek 98.000 dollar AS atau Rp 1,5 miliar per orang. Raplh Iantosca, penasihat perjalanan mewah dan pemilik perusahaan perjalanan The Expeditionist di AS, bisa mengatur perjalanan dari Cape Town ke Antartika dan Amerika Selatan dengan kapal selam dan ada aktivitas panjat es dan hiking. Biayanya? 250.000 dollar AS atau Rp 4 miliar per orang. “Daya tarik perjalanan seperti ini ada pada penekanan ‘tak semua orang bisa melakukan perjalanan ini’,” kata Iantosca kepada harian the Wall Street Journal, Selasa lalu.
Tamasya ekstrem dan “perjalanan menemukan tempat baru” bukan sesuatu yang baru. Manusia sudah menjelajahi tempat-tempat terpencil di seluruh dunia ini selama ribuan tahun. Mereka menggunakan bintang-bintang untuk mengarungi lautan demi migrasi dan berdagang. Orang Eropa juga berlayar jauh untuk mencari tepi dunia yang mereka yakini sebagai Bumi datar.
Para penjelajah dari kelompok orang kaya juga dari dulu membuat beragam ekspedisi untuk menemukan kebaruan hingga menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun bertahan dalam kondisi yang sulit dan berbahaya. Bahkan kerap kali mereka tak kembali, seperti Michael Clark Rockefeller, cucu raja minyak AS, John D Rockefeller yang hilang di Papua pada 18 November 1961. Atau seperti penjelajah asal Inggris, Percy Fawcett, yang hilang di hutan Brazil pada 1925 ketika sedang mencari “Kota Z”.