Mengenal Sosok Simbol Kekaisaran Jepang
”Naruhito disiapkan untuk menjadi kaisar yang sigap dengan isu nyata di dalam dan luar negeri. Bukan dari aspek politik, melainkan isu-isu universal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Ke Indonesia! Inilah lawatan perdana Kaisar Naruhito dalam konteks inisiatif diplomasi internasional sejak naik takhta menjadi Kaisar Jepang per 1 Mei 2019. Naruhito dan istrinya, Permaisuri Masako, diharapkan bisa menjadi wajah Jepang yang modern, toleran, dan berkelanjutan.
Naruhito dididik secara khusus untuk membawa Jepang memasuki era baru. Ia adalah kaisar kedua yang melakukan lawatan ke luar negeri. Setelah Perang Dunia II, Jepang menyadari mereka tidak bisa mengisolasi diri seperti yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Jepang harus aktif di kancah internasional. Dalam upaya itu, keluarga Kerajaan Jepang memegang peranan penting.
Dari segi pendidikan, Naruhito berbeda dengan ayahnya, Kaisar Emeritus Akihito. Baik Akihito maupun ayahnya, Kaisar Hirohito, murni produk pendidikan dalam negeri Jepang. Adapun Naruhito dikirim untuk berkuliah ke luar negeri, yaitu ke Universitas Oxford di Inggris, selama dua tahun.
Baca juga: Dari Kijang hingga Ratangga, Tonggak Penanda Hubungan Jepang-Indonesia
Di sana, ia mulai membangun relasi dengan berbagai keluarga kerajaan Eropa. Hal ini tidak lepas dari keinginan Kaisar Emeritus Akihito yang semasa memegang tampuk kepala negara juga menjadi Kepala Misi Rekonsiliasi Jepang.
Keputusan ini tidak lepas dari campur tangan Permaisuri Emerita Michiko yang lahir dari kalangan rakyat jelata. Pandangannya memengaruhi cara kedua pasangan itu dalam membesarkan dua putra mereka, yaitu Naruhito dan Fumihito.
Kedua pangeran ini diasuh langsung oleh ayah dan ibu mereka. Berbagai buku mengenai keluarga kerajaan Jepang menyebutkan bahwa Akihito dan Michiko jarang memakai jasa pengasuh dari istana. Ini disebut-sebut sebagai perubahan drastis keluarga kerajaan yang tradisional menjadi modern dan berperan aktif di dalam berbagai aspek kehidupan.
”Naruhito disiapkan untuk menjadi kaisar yang sigap dengan isu nyata di dalam dan luar negeri. Bukan dari aspek politik, melainkan isu-isu universal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, Naruhito sangat berminat mendalami persoalan mitigasi krisis iklim dan pengelolaan air,” kata Jeffrey Kingston, Guru Besar Kajian Jepang dan Asia Kontemporer di Universitas Temple, Jepang. Ia dihubungi dari Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Berdasarkan keterangan laman Badan Rumah Tangga Kerajaan Jepang, gelar strata 1 Naruhito dari Universitas Gakushuin adalah sarjana sejarah. Di Oxford, ia melanjutkan kuliah strata 2 dengan mengambil topik penelitian mengenai sejarah pemanfaatan Sungai Thames untuk transportasi.
Baca juga: Dari Ikan Mas, Koi, Berlanjut ke Arwana
”Membahas air berarti membahas berbagai persoalan yang saling beririsan. Air adalah sumber kehidupan, moda transportasi, pembangkit energi, dan banyak lagi. Perawatan dan pengelolaan air ini isu yang tidak mengenal batas geografis demi lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan,” kata Naruhito ketika berpidato pada Konferensi Ke-44 Air Asia Pasifik di Jepang pada April 2022 dan dikutip oleh surat kabar Japan Times. Ia menyampaikan pidato itu dalam bahasa Inggris.
Misi universal ini memang dirancang khusus sejak zaman Kaisar Hirohito. Pada 1947, Undang-Undang Dasar Jepang diubah setelah negara itu kalah dalam Perang Dunia II dan menderita setelah dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat.
Keluarga kerajaan menjadi lembaga pendukung pemerintahan demokrasi. Seluruh aset mereka dilucuti dan segala biaya operasional keluarga kerajaan datang dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang disetujui oleh parlemen.
Hirohito menjadikan reinkarnasi keluarga kerajaan itu sebagai misi membangun kepercayaan dunia atas Jepang sebagai negara yang bersahabat dan tidak segan mengulurkan tangan untuk membantu sesama.
Putranya, Akihito, yang naik takhta pada 1989, melanjutkan misi ini. Ia adalah Kaisar Jepang pertama yang berkunjung ke luar negeri. Indonesia bersama Malaysia dan Thailand menjadi tujuan pertamanya guna membangun kembali persahabatan setelah perang.
Baca juga: Misi Persahabatan Kaisar Jepang
Akihito turun takhta pada 2019 karena alasan kesehatan akibat usianya yang sepuh. Naruhito pun menggantikannya. Pesan persatuan dan perdamaian yang ia usung tidak hanya membangun relasi Jepang secara global guna menebus dosa zaman perang, tetapi juga menjadikan Jepang sebagai negara serta bangsa yang toleran.
Di tengah modernisasi monarki Jepang, kritik tetap banyak melayang kepada keluarga kerajaan. Di tengah tekanan itu, Naruhito dan Masako berusaha menampilkan keluarga kerajaan yang kompak dan modern. Kiprah mereka sebagai simbol negara Jepang yang membawa bahtera diplomasi lunak baru dimulai.
Di tengah modernisasi monarki Jepang, kritik tetap banyak melayang kepada keluarga kerajaan. Wujud yang paling jelas ialah perlakuan terhadap istri Naruhito, Permaisuri Masako. Lahir di keluarga diplomat, Masako menghabiskan masa mudanya berkeliling dunia. Ia lulus S-1 di Universitas Harvard, AS dan melanjutkan ke pascasarjana Hubungan Internasional di Universitas Tokyo.
Masako berkarier sebagai diplomat di Kementerian Luar Negeri Jepang mewakili negara di Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Ketika menikah dengan Naruhito pada 1993, Masako mengorbankan kariernya. Akan tetapi, pada saat bersamaan dielu-elukan sebagai sosok perempuan Jepang modern.
Baca juga: Takhta Krisan, Simbol Harapan Negeri Sakura
Namun, publik ternyata belum bisa sepenuhnya menganggapi modernitas ini karena Masako terus digugat untuk memiliki keturunan laki-laki. Segala kiprah dan prestasinya seolah dilupakan, apalagi berketurunan merupakan tantangan tersendiri bagi pasangan Naruhito dan Masako.
"Kritik ini datang dari dalam dan luar negeri. Dari dalam Jepang adalah karena publik terpaku pada aturan tradisional peran perempuan melahirkan ahli waris laki-laki dan dari luar negeri karena ketidakmampuan Jepang memodernkan sistem keberlanjutan takhta. Ini menyerang keluarga kerajaan, terutama Masako dari berbagai sisi," papar Kingston.
Baca juga: Makna Kunjungan Kaisar Naruhito
Kehamilan pertama Masako pada 1999 berakhir dengan tragedi karena janinnya luruh. Mereka baru dikaruniai anak pada tahun 2001 dengan kelahiran Putri Aiko. Ini ternyata tidak memuaskan publik dan tekanan kepada Masako berlanjut.
Isu ahli waris takhta itu memang membuat pusing seantero Jepang. Perdana Menteri Junichiro Koizumi sempat mengutarakan wacana mengubah peraturan negara agar perempuan bisa menjadi ratu. Sejak tahun 1965, yaitu kelahiran Pangeran Fumihito, tidak ada lagi bayi laki-laki lahir di keluarga kerajaan Jepang.
Pada tahun 2004, ia didiagnosa mengalami stres akibat tekanan mental. Bahkan, Naruhito pun meminta kepada media massa untuk memberi ruang kepada istrinya agar bisa menjalani perawatan serta pemulihan dengan damai.
Fumihito sendiri memiliki dua anak perempuan, Mako dan Kako. Jepang bisa bernapas lega karena pada 2006, Fumihito dan istrinya, Kiko, dikaruniai bayi laki-laki yang mereka namai Hisahito.
Alhasil, jalur ahli waris takhta dari Naruhito adalah ke Fumihito dan kemudian Hirohito. Jika pangeran muda ini tidak lahir, harapan terakhir Takhta Krisan adalah kepada Pangeran Masahito yang kelahiran tahun 1935 dan adik dari Kaisar Emeritus Akihito.
Baca juga: Kekaisaran Jepang, Monarki Tertua, 2.600 Tahun Tanpa Pernah Putus
Tuntasnya perkara ahli waris ini bisa meringankan beban Masako, walaupun tidak sepenuhnya karena kini ia mengemban tugas yang juga berat, yaitu sebagai permaisuri. “Saya masih dalam proses penyembuhan, tetapi dengan senang hati menunaikan tugas kerajaan dengan semampunya,” kata Masako, dikutip oleh BBC edisi 9 Desember 2018.
Di tengah tekanan itu, Naruhito dan Masako berusaha menampilkan keluarga kerajaan yang kompak dan modern. Kiprah mereka sebagai simbol negara Jepang yang membawa bahtera diplomasi lunak baru dimulai.