Makna Kunjungan Kaisar Naruhito
Indonesia adalah negara pertama yang dikunjungi sejak Kaisar dinobatkan. Diletakkannya Indonesia sebagai prioritas bukan kebetulan. Hal ini menunjukkan kedekatan pribadi dan keluarga kekaisaran dengan bangsa Indonesia.
Kunjungan Kaisar Naruhito ke Indonesia memiliki makna yang amat penting dalam hubungan kedua negara dan kedua bangsa, Indonesia dan Jepang.
Sekalipun kedudukan kaisar menurut Konstitusi Tahun 1947 adalah simbol negara dan simbol pemersatu dan bukan kepala pemerintahan—sehingga tak secara langsung berurusan dengan masalah-masalah politik—kunjungan ini pasti sarat dengan makna, politis ataupun bukan.
Kunjungan kaisar ke luar negeri itu sendiri, sesuai sistem yang berlaku di Jepang, bahkan merupakan keputusan kabinet yang notabene merupakan sebuah keputusan politik. Jika begitu adanya, apakah makna kunjungan ini?
Dalam dunia diplomasi dan kehidupan sehari-hari, tiap orang sesungguhnya selalu berkomunikasi atau berinteraksi melalui simbol-simbol. Simbol-simbol ini harus dipahami dan dengan itulah komunikasi berjalan. Namun, sesuai pengalaman penulis menetap lebih dari satu setengah dasawarsa di Jepang, sebagai mahasiswa, dosen, peneliti, wartawan, dan terakhir sebagai Duta Besar RI untuk Jepang, dalam hal Jepang, pemahaman itu relatif jauh lebih sulit.
Terutama sekali, karena kultur Jepang yang unik yang tak hanya berbeda dengan kultur Barat yang terbuka, tetapi juga karena kultur Jepang lebih timur dari kultur Timur mana pun.
Baca juga: Kekaisaran Jepang, Monarki Tertua, 2.600 Tahun Tanpa Pernah Putus
Kembali ke posisi kaisar, jelas bahwa isyarat komunikasi simbolis dalam kunjungan itu harus ditafsirkan dan dimaknai. Masih dalam konteks ini, jika kunjungan Kaisar ini dapat dipandang sebagai diplomasi people to people antara rakyat Jepang dan rakyat Indonesia, maka pertanyaannya adalah bagaimanakah kita memahami isyarat-isyarat simbolis itu untuk kemudian ditindaklanjuti di dunia empiris melalui kebijakan antara pemerintah dan pemerintah.
Karakteristik kultur Jepang
Dilihat dari sejarah, pengalaman penutupan negeri selama 235 tahun yang dikenal sebagai sakoku jidai dan kehidupan di bawah tekanan pemerintahan diktator militer (shogun) selama periode itu bisa disebut sebagai faktor yang membuat kultur Jepang unik atau berbeda dari bangsa lain mana pun di dunia ini.
Keunikan itu termasuk dalam struktur bahasa dan tutur kata. Dari segi gramatikal, posisi kata ”tidak” (nai atau masen) atau kata ”mungkin” (kamo-shirenai) yang selalu diletakkan di akhir kalimat membuat kalimat bahasa Jepang sulit ditebak, kecuali setelah didengar sampai akhir. Adanya partikel ga, kedo, atau keredomo yang selalu diletakkan di ujung setiap kalimat harapan atau permintaan tak hanya dimaksudkan untuk menunjukkan kehalusan bertutur kata (pembicara tak memaksakan keinginannya), melainkan juga sebagai antisipasi dan kewaspadaan kalau harapan atau keinginan itu ditolak.
George Herbert Mead (1863-1931) dan Erving Goffman (1922-1982) telah berbicara banyak tentang interaksi dan komunikasi simbolis. Goffman bahkan mengatakan adanya panggung belakang (back stage) dan panggung depan (front stage) dalam interaksi atau komunikasi yang dilakukan setiap orang. Namun, dalam hal Jepang, panggung belakang dan panggung depan, yang di masyarakat Jepang disebut sebagai honne dan tatemae atau ura dan omote, ini diletakkan amat jauh di kedalaman. Untuk masuk ke kedalaman ini, maka sake menduduki posisi sentral, kalau bukan sakral, dalam masyarakat itu.
Minum sake tak berarti masyarakat Jepang gandrung minuman beralkohol atau gemar mabuk-mabukan. Namun, sake adalah sarana agar orang dapat berbicara terbuka dari hati ke hati, saling empati satu sama lain. Fungsi sake adalah sekiranya dalam pembicaraan itu ada hal-hal yang sensitif, bersifat pribadi, atau jika keseleo lidah, setiap pihak akan saling memaklumi dengan alasan saat itu mereka mungkin berbicara dalam keadaan setengah mabuk walau sebenarnya tidak.
Berbeda dari kelaziman di tempat lain, dalam berpakaian pun Jepang memiliki keunikan yang sulit dimengerti. Orang asing mungkin terkejut jika tahu bahwa sisi paling indah dan berharga dari kimono (biasanya berupa gambar atau lukisan) tidaklah diletakkan di luar untuk ditampakkan, melainkan di sisi dalam bahan dan di arah punggung pemakai. Secara filosofis dan simbolis ini pesan bahwa hal yang penting, indah, dan berharga hanya boleh dibuka ke pihak tertentu setelah adanya rasa saling percaya (trust) dan kedekatan.
Dalam kaitan kunjungan Kaisar, pantas dicatat bahwa Indonesia adalah negara pertama yang dikunjungi sejak Kaisar dinobatkan.
”Chowa” dan ”heiwa”
Mengingat kedudukan kaisar berbeda dengan perdana menteri, yaitu kaisar tidak dapat secara langsung menyentuh masalah-masalah politik atau kebijakan negara, maka isyarat-isyarat simbolis dari kaisar jelas harus diterjemahkan dan ditindaklanjuti pada tataran empiris antara pemerintah dan pemerintah.
Dalam kaitan kunjungan Kaisar, pantas dicatat bahwa Indonesia adalah negara pertama yang dikunjungi sejak Kaisar dinobatkan. Memang benar bahwa sebelum ini Kaisar pernah ke Inggris. Namun, itu sehubungan dengan pemakaman Ratu Elizabeth dan bukan kunjungan resmi kenegaraan.
Mirip seperti ini, benar pula bahwa kunjungan Kaisar sekarang ini terkait dengan undangan Pemerintah Indonesia. Namun, diletakkannya Indonesia sebagai prioritas tentulah bukan hal yang bersifat kebetulan. Dalam hal kedekatan pribadi atau hati keluarga istana kekaisaran dengan bangsa Indonesia, hal ini sudah tak perlu diragukan lagi. Ketika diundang Kaisar Akihoto (ayahanda kaisar sekarang) dalam jamuan sambil minum kopi di istana kekaisaran saat menjabat Dubes RI untuk Jepang, penulis telah mendengar penuturan itu secara langsung.
Dalam percakapan berdua sekitar 45 menit tanpa kehadiran penerjemah itu, selain berbicara tentang angklung yang ada di istana, Kaisar juga berbicara tentang breeding ikan mas yang diterimanya dari Presiden Soekarno dengan ikan koi Jepang. Kawin silang ini, menurut Kaisar, menghasilkan koi jenis baru yang amat indah dan luar biasa. Pertumbuhannya pun amat pesat. Ini bisa diartikan sebagai isyarat ”dari langit” bahwa Jepang dan Indonesia punya kecocokan.
Tak hanya itu, Kaisar Akihoto juga bercerita tentang masa tinggalnya di Istana Bogor yang diperpanjang saat melawat ke Indonesia dalam kedudukan sebagai putra mahkota. ”Saya terserang flu dan Presiden Soekarno menawarkan untuk tinggal lebih lama. Maka, saya pun tinggal beberapa hari lagi,” ujarnya. Kenangan itu, menurut beliau, membekas di hati dan tidak dapat dilupakan.
Kaisar Naruhito yang berkunjung sekarang ini memang bukan Kaisar Akihito. Namun, jika mengingat cerita Caroline Kennedy, Dubes AS untuk Jepang, kepada penulis tentang bagaimana cerita John F Kennedy dan ibunya (Jackie) tentang Indonesia membuat ia memutuskan menjadikan Yogyakarta sebagai tempat ia berbulan madu secara incognito, maka kisah-kisah manis tentang Indonesia dari Kaisar Akihito mungkin juga sampai ke Kaisar Naruhito serta menjadi referensi baginya.
Dari sekitar lima atau enam kali pertemuan penulis dengan Kaisar Naruhito semasa ia masih putra mahkota dan satu kali pertemuan setelah dinobatkan menjadi kaisar (saat upacara anugerah Bintang Jasa, Mei 2022), penulis memiliki kesan bahwa Kaisar Naruhito pun merupakan kaisar yang ramah, rendah hati, dan berwajah damai, seperti ayahnya.
Di luar kesan-kesan pribadi Kaisar tadi, faktor posisi Indonesia sebagai negara besar di kawasan Asia Pasifik, faktor Indonesia yang sekarang menjabat sebagai Ketua ASEAN, serta faktor timing bahwa 2023 ini bertepatan dengan 50 tahun hubungan Jepang-ASEAN tentu harus ikut diperhitungkan dalam memaknai kunjungan Kaisar sekarang ini.
Baca juga: Kaisar Jepang Naruhito Mengunjungi Depo MRT Jakarta, Simbol Kerja Sama Jepang dan Indonesia
Jika hal di atas dikaitkan dengan kedudukan kaisar sebagai simbol negara dan tidak secara langsung terkait dengan masalah politik dan kebijakan negara, dapat dikatakan bahwa kunjungan Kaisar sekarang ini merupakan simbol kontak people to people antara rakyat Jepang dan rakyat Indonesia.
Adanya audiensi antara Kaisar dan 80 orang Indonesia terpilih—penulis dan istri masuk dalam daftar tersebut—tentu merupakan isyarat yang nyata. Jika dikaitkan dengan ASEAN, kunjungan ini dapat pula bermakna sebagai kontak antara rakyat Jepang dan rakyat di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini sejalan dengan tema kunjungan Kaisar kali ini: mempererat persahabatan antarbangsa.
Lebih lanjut, kalau digali lebih dalam, terutama tentang era kekaisaran sekarang yang disebut sebagai Reiwa yang terdiri dari dua huruf Kanji yang dapat bermakna ”kedamaian melalui keteraturan” dan ”keharmonisan yang indah”, maka tak berlebihan mengatakan bahwa tujuan kunjungan kali ini adalah demi suasana damai dan harmoni (chowa dan heiwa), dua kata yang amat populer dalam masyarakat Jepang.
Dari simbolis ke empiris
Jika melihat situasi empiris sekarang ini, baik di kawasan Asia Pasifik maupun di dalam negeri Jepang sendiri, jelas bahwa sekarang ini ada sejumlah masalah mendesak yang sedang dihadapi. Di dalam negeri, Jepang dihadapkan pada masalah penuaan masyarakat (aging society) dan penurunan jumlah penduduk atau depopulasi yang signifikan serta mengancam kelangsungan industri mereka, terutama dalam pasokan tenaga kerja. Ini bahkan membuat banyak perguruan tinggi di Jepang terancam tutup karena kekurangan mahasiswa.
Dalam kaitan ini, apakah tidak mungkin, misalnya, kita menindaklanjuti diplomasi simbolis Kaisar dengan tindakan empiris berupa kerja sama dalam ketenagakerjaan dan pendidikan, termasuk juga tenaga keperawatan? Tentu saja, dengan format yang lebih baik. Dalam dunia pendidikan, apakah tidak mungkin dilakukan kerja sama program double degree antara perguruan tinggi kita dan Jepang?
Beralih ke luar negeri, memanasnya situasi di Laut China Selatan tentu merupakan masalah pula bagi Jepang. Belum lama ini PM Kishida bahkan diberitakan telah menjajaki kemungkinan dibukanya kantor perwakilan NATO di Jepang. Ini menyusul pernyataan mantan PM Abe tentang kemungkinan membuka wilayah teritorial Jepang bagi hulu ledak nuklir Amerika Serikat.
Sekali lagi, kaisar tidaklah berurusan dengan masalah politik atau kebijakan pemerintah secara langsung. Namun, dari bahasa simbolis Kaisar tentang harmoni dan perdamaian serta persahabat- an, apakah tak mungkin, misalnya, kita melakukan tindak lanjut di dunia empiris (antara pemerintah dan pemerintah) dengan kerja sama pertahanan, terutama industri pertahanan?
Saat ini, paling tidak, kita memiliki PT DI, PT Pindad, PT Len, PT PAL, dan PT Dahana yang tergabung dalam Defend ID dan dapat dikedepankan. Melalui kerja sama itu, Indonesia dapat memajukan industri pertahanan nasional dan sekaligus tumbuh menjadi kekuatan penyeimbang guna mencegah perang terbuka di kawasan Asia Pasifik.
Pemaknaan-pemaknaan serta tindak lanjut seperti di atas haruslah dilakukan, terutama oleh para pemangku kepentingan negeri ini. Dengan begitu, peluang-peluang yang disampaikan melalui komunikasi simbolis dalam kunjungan Kaisar Naruhito sekarang ini tidak hilang begitu saja dan tanpa makna.
Yusron Ihza Mahendra,Dubes RI untuk Jepang 2014~2016, Deputi Komisi I DPR Bidang Pertahanan 2004~2009, Koresponden Kompas untuk Jepang 1993~2003.