Blinken Menunggu Lampu Hijau untuk Bertemu Xi Jinping
Mantan pejabat AS menyebut lawatan Blinken ke China bisa mencitrakan kelemahan AS. Alih-alih meredakan ketegangan, lawatan itu malah bisa meningkatkan tensi AS-China. Kondisi AS tak mendukung perbaikan relasi AS-China.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
BEIJING, SENIN — Hingga Senin (19/6/2023) pagi belum ada kabar Presiden China Xi Jinping akan menerima Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken. Blinken sudah berada di Beijing sejak hari Minggu. Hanya Menteri Luar Negeri China Qin Gang dan Kepala Kebijakan Luar Negeri Partai Komunis China Wang Yi yang sudah menemui Blinken.
Qin menjamu Blinken selama 7,5 jam dalam forum bilateral dan makan malam pada Minggu (18/6/2023). Sementara Wang menerima Blinken di Wisma Diaoyutai pada Senin pagi. Dalam huruf Latin, nama wisma tempat pertemuan Wang-Blinken mirip dengan nama kepulauan yang disengketakan China dengan Jepang. Tokyo menyebut kepulauan itu sebagai Senkaku, sementara Beijing menyebutnya Diaoyu.
Menurut pernyataan resmi Departemen Luar Negeri AS, Wang menjadi pejabat tertinggi China yang ditemui Blinken pada Senin ini. Dalam jadwal itu, tidak ada pertemuan Xi dan Blinken. Padahal, Blinken akan segera meninggalkan China menuju Inggris.
Pertemuan Xi dengan berbagai pihak biasanya diumumkan beberapa hari sebelum tamu datang. Hal itu tecermin kala Xi menerima Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan pendiri Microsoft Bill Gates pekan lalu.
Banyak pihak mencermati, apakah Blinken juga akan diterima bertemu Xi. Sebuah sumber yang dikutip kantor berita Reuters menyebutkan, pertemuan Blinken dan Xi diperkirakan akan terwujud. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi dari Deplu AS dan pejabat China soal pertemuan tersebut.
Tanpa terobosan
Meski panjang, pertemuan Qin-Blinken berakhir tanpa terobosan. Juru bicara Departemen Luar Negeri, AS Matthew Miller, menyebut pembicaraan berlangsung tanpa basa-basi, substansial, dan konstruktif. Ia memakai istilah diplomatik untuk menggambarkan pertemuan yang nyaris tanpa hasil. Kalaupun ada hasil, sebatas para pihak sepakat untuk terus berkomunikasi atau melanjutkan pertemuan pada kesempatan lain.
Dalam pernyataan resmi Deplu AS dan Kementerian Luar Negeri China memang dicantumkan Qin setuju ke Washington. Walakin, waktu pastinya belum diungkap.
Lazimnya, diplomat menggunakan istilah fruitful, forthcoming, dan conclusive untuk menggambarkan pertemuan yang menghasilkan sesuatu. Sementara istilah argumentative, candid, frank, apalagi full berarti pertemuan dipenuhi perdebatan sengit tanpa hasil atau kesepakatan.
Dalam pernyataan Deplu AS, Blinken disebut membahas sejumlah hal yang menjadi perhatian AS. Deplu AS tidak memerincikan apa saja hal yang diperhatikan Washington. Kantor berita Associated Press menyebutkan, Blinken antara lain membahas soal pembebasan warga AS yang ditahan China.
Blinken juga meminta China memberangus penyelundupan bahan baku fentanil. AS menuding, aliran ilegal bahan kimia dari China menjadi salah satu penyebab penyalahgunaan dan kecanduan obat bius semakin marak. Hingga 100.000 warga AS tewas setiap tahun karena kecanduan fentanil saja. Jumlahnya membesar jika menghitung kematian akibat obat bius dan narkotika jenis lain.
Blinken juga disebut menyatakan bahwa AS akan senantiasa menjaga kepentingan warganya serta akan bekerja sama dengan para sekutunya. Blinken kembali menggunakan istilah ”tatanan berdasarkan aturan internasional”. Blinken tidak menggunakan istilah ”hukum internasional”.
Adapun Qin, menurut pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri China, kembali menegaskan soal Taiwan. Bagi Beijing, Taiwan adalah kepentingan dan perhatian utama. Risiko terbesar hubungan AS-China akan terkait pada isu Taiwan.
Qin menilai, hubungan kedua negara sedang dalam titik terendah. Kondisi itu tidak sesuai kepentingan kedua negara dan dunia. China dinyatakan selalu rasional, konsisten, dan stabil dalam menghadapi AS. Kebijakan China pada AS didasarkan pada prinsip saling menghormati, hidup berdampingan, dan kerja sama yang saling menguntungkan.
Qin juga berharap, AS mengubah cara pandangnya soal China. Washington diharapkan lebih rasional dan obyektif soal Beijing. AS juga diharapkan China mau bekerja sama menuju arah yang sama, menjunjung fondasi hubungan AS-China, dan tetap tenang serta profesional dalam menghadapi kejadian tidak terduga.
Kemenlu China menyebut, Qin-Blinken setuju mendorong peningkatan pertukaran kebudayaan dan pendidikan AS-China. Mereka juga setuju mendorong peningkatkan kunjungan oleh warga kedua negara. AS-China perlu meningkatkan kunjungan pelajar, peneliti, dan pengusaha di antara kedua negara.
Persetujuan tersebut dibuat kala semakin banyak pelajar dan peneliti China meninggalkan AS. Di sisi lain, AS mendorong pebisnisnya meninggalkan China.
Tanggapan
Pertemuan Qin-Blinken ditanggapi secara beragam. Mantan Penasihat Keamanan Nasional AS Letnan Jenderal (Purn) Herbert Raymond McMaster menyebut, lawatan Blinken berpeluang mencitrakan kelemahan AS. Selain itu, alih-alih meredakan ketegangan, lawatan tersebut malah lebih berpeluang meningkatkan tensi kedua negara.
”Saya pikir China mengirimkan pesan, kami yang yang berkuasa sekarang dan Anda (AS dan sekutunya di Barat) sudah selesai,” ujar McCaster kepada CBS.
Peneliti pada Tsinghua University, Sun Chenghao, menyebut, ada tekanan dari berbagai pihak kepada pemerintahan Joe Biden soal kebijakan AS terhadap China. Karena itu, pemerintahan Biden terdorong untuk menjaga hubungan dengan China.
Sayangnya, kondisi domestik tidak mendukung perbaikan hubungan itu. Karena itu, terlalu berlebihan jika menganggap lawatan Blinken bisa menyelesaikan ketegangan AS-China. ”Sulit bagi AS menyesuaikan kebijakannya soal China,” kata Sun kepada media China, Global Times.
Adapun dosen di China Foreign Affairs University, Li Hiadong, lebih optimistis. ”Pernyataan resmi (selepas pertemuan) menunjukkan hasil positif, yang akan membantu mendorong interaksi kedua negara,” katanya.
Meski demikian, ia tetap menyebut ada ketidakpatutan sikap dan kebijakan AS soal China. Qin, menurut Li, telah menyuarakan ketidakprofesionalan dan ketidakrasionalan kebijakan AS soal China. “Kebijakan AS dipenuhi bias didorong oleh ekstremisme,” ujar Li.
Li juga menyebut, hubungan AS-China tidak akan berkembang jika ada penyelesaian soal Taiwan. ”Jika ada masalah terkait isu Taiwan, tidak ada lagi fondasi politik untuk kerja sama lebih lanjut AS-China, akan sulit mendapatkan hasil di bidang perdagangan dan ekonomi,” katanya. (AFP/REUTERS)