AS Terlalu Lelah Bermain Geopolitik Panas
Sekarang ini bukan saatnya lagi AS mengusung kebijakan hegemoni liberal di tengah China dan Rusia yang menguat.
Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken ke China adalah terobosan besar. Ini berpotensi membalikkan dunia dari rawan perang menjadi kolaboratif. Blinken bersambut di Beijing dalam kunjungan, Minggu hingga Senin (18-19/6/2023). Ia diterima baik oleh Menlu China Qin Gang, bahkan disambut oleh Presiden Xi Jinping.
Pertemuan ini, dengan ikrar saling memahami persaingan geopolitik dan mencegah konflik, sangat penting bagi AS itu sendiri. Presiden Joe Biden yang berusia 80 tahun akhir-akhir ini sering terlihat limbung. Ia terlalu tua untuk mengusung program geopolitik panas.
Sama halnya dengan AS yang sedang berbadan berat, terlalu lelah bermain geopolitik panas. Sejak 2016, Presiden Donald Trump menjalankan geopolitik berat. Tak ada misi geopolitik AS yang membuahkan hal baik bagi AS maupun dunia.
Baca juga: Dunia Membutuhkan Hubungan China-AS yang Stabil
Perang dagang oleh Trump tak membuat AS mencatatkan surplus dagang dengan seluruh dunia, bahkan yang ada defisit perdagangan sebesar 945,3 miliar dollar AS sepanjang 2022. Perang dagang turut menaikkan inflasi di AS. Walau inflasi sudah mereda, masih terlalu tinggi untuk ditanggung warganya di tengah ekonomi yang menurun. Bahkan, warga AS yang biasanya tertolong produk murah dari China kini ketiban beban akibat tarif impor.
Ekonomi AS dengan utang melebihi 31 triliun dollar AS terlalu berat menanggung kebijakan luar negeri antagonis. Dengan perbankan domestik AS yang rapuh dan ekonomi terancam resesi, sulit bagi AS membiayai program panas luar negeri.
Sekutu terbebani
Di luar kebijakan perdagangan luar negeri antagonis, Trump sangat antagonis dengan China. Biden antagonis dengan Rusia. Satu negara, AS, serentak menghadapi kekuatan geopolitik nomor dua dan tiga di dunia. Permainan tidak imbang.
Antagonisme ini telah menyebabkan sekutu AS turut menderita. Uni Eropa yang sedang didera inflasi turut ketiban beban baru akibat tersendatnya pasokan migas dari Rusia. Rusia menambah beban baru dengan invasi ke Ukraina yang juga baru saja ketiban masalah dengan rusaknya bendungan besar.
Sekutu-sekutu AS mulai menarik diri akibat kebijakan geopolitik panas AS. Perancis di bawah Presiden Emmanuel Macron sudah tiba pada pilihan: mencegah pemburukan relasi dengan China dan Rusia. Macron melihat Uni Eropa telah turut menderita.
Arab Saudi, yang biasanya tunduk pada tekanan dan permintaan AS, kini berkiblat pada Rusia dan China. Jepang dan Korea Selatan, sekutu AS di Asia Timur, direpotkan dengan intaian rutin pesawat militer gabungan Rusia dan China. Paling parah adalah Taiwan yang makin rutin menyaksikan latihan militer China.
Baca juga: Selat Taiwan Selalu Tegang, Akankah Berujung dengan Perang?
Ketika ekonom AS Nouriel Roubini menuliskan buku MegaThreats: Ten Dangerous Trends That Imperil Our Future, and How to Survive Them, bagian dari tema adalah efek besar perseteruan geopolitik AS versus duet Rusia-China. Perseteruan ini, kata Roubini, berpotensi mengacaukan perekonomian global, entah lewat perang ekonomi ataupun perang nyata.
Kini muncul kembali isu penggunaan nuklir oleh Rusia. AS juga turut memikirkan kekuatan nuklir dalam menghadapi China. Kekuatan nuklir ini bukan hal mendesak, tetapi terbuka celah jika geopolitik panas terus memanas.
Jauh dari nalar
Perseteruan dengan Rusia dan China membuat AS berpotensi dipermalukan. Jauh dari nalar saat Laksamana John Aquilino, Komandan Komando Indo-Pasifik AS, mengatakan yakin bisa mengatasi militer China. Ia memang memotret sikap keras sebagian kalangan di AS, bahkan paling keras dalam 40 tahun terakhir.
Namun, semua ini tidak didukung kekuatan domestik AS, juga tidak didukung kekuatan sekutunya, yang menua seperti Eropa dan Jepang. Jeremy Mark dari Atlantic Council, kepada CNBC, 15 Juni 2023, mengatakan, sikap menentang China dan Rusia memang sangat solid baik dari kubu Demokrat dan Republikan. Akan tetapi, jika perang terjadi dengan China, termasuk demi membela Taiwan, menurut Mark, ”Kata-kata lebih keras daripada kenyataan”.
Pembendungan, pengepungan Rusia dan China oleh AS tidak memiliki momentum. Sejarawan AS Paul Kennedy dari Yale University sudah lama mengingatkan, negara dengan utang tinggi, terlalu berat menanggung beban kolosal.
Baca juga: Militer AS Sulit Menaklukkan China
Maka dari itu, kunjungan Blinken ke Beijing, pertama terjadi sejak 2018 oleh seorang menlu AS, memiliki makna penting dan akbar. Ini pasti bersambut bagi dunia. Bukan saatnya lagi AS mengusung kebijakan hegemoni liberal di tengah China dan Rusia yang menguat.
Peringatan serupa sudah disampaikan oleh John Mearsheimer, pakar geopolitik AS dari University of Chicago. Lewat tulisannya berjudul The Inevitable Rivalry: America, China, and the Tragedy of Great-Power Politicsdi jurnal Foreign Affairs, November/Desember 2021, ia mengingatkan, tidak masanya untuk antagonis dengan China dan Rusia. Sikap AS itu malah mengeratkan aliansi Sino-Rusia.
Saran Mearsheimer, hal yang paling bisa dilakukan AS sekarang ini, di tengah kekuatan multipolar, adalah membuang jauh-jauh hegemoni liberal. Artinya, aksi AS yang merangsek ke Rusia dan ke sekitar China akan berbalas keras dan susah dihadapi.
Saran Mearsheimer, hal yang paling bisa dilakukan AS sekarang ini, di tengah kekuatan multipolar, adalah membuang jauh-jauh hegemoni liberal.
AS tidak akan bisa berperang dengan dua kekuatan itu. ”Hal terbaik, perseteruan bisa dikelola dengan harapan perang akan terhindarkan,” kata Mearsheimer. Persiapan militer mutlak ada di sekitar Asia. Akan tetapi, persiapan ini tidak bertujuan perang, syukur-syukur jika bisa menang perang.
Intinya, persiapan militer ini hanya untuk menakut-nakuti China. Setidaknya menunjukkan, jika China melancarkan perang, hal itu tidak mudah diraih dengan mudah oleh China.
Saran lain Mearsheimer, Washington juga bisa mengembangkan aturan jelas untuk keamanan kawasan dan global. Sebagai contoh, disusun aturan untuk mencegah konflik di laut dan potensi pertempuran lain. Dengan demikian, kedua pihak saling tahu mana garis merah masing-masing agar tidak dilanggar.
Pilihan ini sebenarnya sudah dicoba dijalankan Presiden AS Barack Obama, tetapi dianulir oleh Trump dan Biden.
Terobosan besar
Tampaknya saran dua tahun lalu dari Mearsheimer ini bertautan dengan kunjungan Blinken ke Beijing. Blinken menyampaikan misi bahwa AS tidak sedang mendikte. Ia datang membuka jalur komunikasi mengelola persaingan geopolitik agar tidak berujung perang.
China menyambut baik. Ini sekaligus membuka potensi kunjungan Menteri Keuangan AS Janet Yellen ke China menemui mitranya. Hal serupa bisa dilakukan menteri perdagangan kedua negara. Tentu, terbuka pertemuan bilateral bagi Presiden Biden dan Presiden Xi.
Baca juga: Biden-Xi Ulangi Janji Cegah Konflik
Hal terpenting, kecocokan AS dengan China bukan mustahil meredakan sikap keras Rusia pada Pakta Pertahanan Atlatik Utara (NATO) lewat invasinya di Ukraina. Ada potensi Rusia mundur dari Ukraina.
Dalam kunjungannya, Blinken juga menyuarakan agar China tidak mendukung Rusia secara militer. Ia menyatakan, AS dapat jaminan dari China tentang itu.
Tentu di balik ini akan ada banyak tuntutan atau sikap saling ulur. Sebab, China tidak akan mudah melepas relasinya dengan Rusia. Meski begitu, kunjungan Blinken bisa dikatakan merupakan terobosan besar yang bersambut bagi dunia. Toh, AS sudah terlalu lelah mengusung kebijakan geopolitik keras. (AFP/AP/REUTERS)