Pengoperasian F-15 oleh Arab Saudi menjadi alasan pembelian J-10 dari China tidak mudah dilakukan. Beijing juga mendekati Riyadh agar membeli J-31.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
RIYADH, MINGGU - Arab Saudi dikabarkan tengah menjajaki pembelian jet tempur J-31 dan J-10C buatan China. Jet-jet itu dijajaki untuk menggantikan pesawat tempur tua buatan Amerika Serikat dan Eropa. Guna menghindari sanksi Washington, transaksi itu berpeluang menggunakan yuan.
Riyadh kini sedang mempersiapkan penghentian operasi 80 jet tempur Panavia Tornado. Jet buatan konsorsium Inggris, Italia, dan Jerman itu digunakan Arab Saudi sejak 1986. Dulu, Riyadh membeli total 96 unit dan kini tersisa 80 unit. Selain Tornado, jet Eropa yang dioperasikan Arab Saudi adalah 72 unit Eurofighter Typhoons. Riyadh juga mengoperasikan 281 F-15 dari berbagai varian.
Mengutip Tactical Report, IDRW melaporkan pada Minggu (18/6/2023) bahwa Riyadh mempertimbangkan J-10C sebagai pengganti Tornado. Laman khusus isu pertahanan India dan sekitarnya itu melaporkan, perundingan pembelian J-10C dipaketkan dengan pembelian sejumlah persenjataan lain.
Analis pada Yuan Wang Institute, Zhou Chenming, menyebut bahwa pembelian J-10C oleh Riyadh tidak mudah dilakukan. Pengoperasian F-15 oleh Arab Saudi menjadi alasan pembelian J-10 dari China tidak mudah dilakukan. ”Tak mungkin AS diam saja,” katanya.
Pengamat militer China, Song Zhongping, menyatakan, Riyadh-Beijing pasti memikirkan potensi sanksi AS jika Arab Saudi membeli persenjataan China. Oleh karena itu, alih-alih dollar AS, amat mungkin transaksi dilakukan dengan yuan.
”Pembayaran dalam yuan akan menutup penggunaan dollar AS sebagai alat penekan dan pembatas,” kata mantan pelatih Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China itu.
Tactical Report, Lembaga kajian isu intelijen Timur Tengah, menyebut, Riyadh tidak hanya merundingkan pembelian J-10. Beijing juga mendekati Riyadh agar membeli J-31. Sejak dikenalkan pada 2012, sampai sekarang pesawat yang juga dikenal sebagai FC-31 itu tidak kunjung diproduksi, apalagi dioperasikan.
Oleh karena itu, menurut Zhou, terlalu dini menduga Riyadh akan membeli J-31. Riyadh lebih mungkin membeli persenjataan Beijing yang sudah teruji di medan tempur.
Selain yang dipakainya sendiri, Arab Saudi bisa melihat keampuhan senjata China yang dioperasikan Pakistan, Mesir, dan Uni Emirat Arab. Kesamaan tiga negara itu adalah sekutu Riyadh yang mengoperasikan persenjataan Beijing.
Persenjataan China yang sudah diuji Arab Saudi antara lain pesawat nirawak CH-4. Riyadh memakai pesawat itu dalam perang di Yaman. CH-4 mirip dengan MQ-9 buatan AS. Seperti MQ-9, CH-4 juga berfungsi sebagai pesawat intai dan bisa dijadikan penyerang karena dapat dilengkapi rudal. Riyadh dilaporkan telah memesan hingga 300 unit CH-4 tambahan dari Beijing.
Riyadh juga menjajaki pembelian pesawat nirawak FX80 Sky Saker, CR500, serta Dragon 5 dan Dragon 10. Dragon merupakan pesawat nirawak yang dapat dimuati peledak. Selain itu, Riyadh-Beijing merundingkan pembelian artileri pertahanan udara jarak pendek HQ-17AE.
Peneliti Institute for National Security Studies Israel, Tuvia Gering, menduga Riyadh lebih tertarik membeli persenjataan masa depan. Wujudnya terutama pesawat nirawak yang beroperasi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Pesawat itu bisa bergerak secara otonom, dalam kelompok, dan berperilaku seperti kerumunan serangga. Perilaku itu penting karena serangan menjadi lebih sulit diduga. Riyadh juga bisa jadi membeli satelit, laser, dan persenjataan hipersonik buatan China.
Arab Saudi bukan pelanggan baru bagi industri pertahanan China.
Arab Saudi bukan pelanggan baru bagi industri pertahanan China. Mengacu pada data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pembelian 50 rudal DF-3 pada 1986 merupakan transaksi persenjataan pertama Arab Saudi-China.
Pada 2007, Riyadh membeli 54 meriam swagerak dari China. Selanjutnya pada 2014, Arab Saudi membeli lima CH-4B. Adapun 30 pesawat nirawak Wing Long-1 dan Wing Loong-2 dibeli bertahap pada 2014 dan 2017.
Sejumlah pihak menduga Arab Saudi memiliki sejumlah rudal DF-21 buatan China. Rudal itu kerap disebut sebagai ”Pemusnah Kapal Induk”.
Pembelian persenjataan dari China dinilai sebagai pilihan logis bagi Arab Saudi. Meningkatnya ketegangan hubungan antara AS dan Arab Saudi menjadi salah satu faktor pendorong Riyadh mencari pemasok lain.
Kongres AS berulang kali menjegal penjualan senjata ke Arab Saudi. Bahkan, Presiden AS Joe Biden pernah menyatakan akan mendorong pengucilan Arab Saudi di panggung internasional. Sementara warga AS juga semakin banyak menunjukkan permusuhan kepada Arab Saudi.
Kongres AS berulang kali menjegal penjualan senjata ke Arab Saudi.
”AS sudah lama dikenal memberikan banyak syarat untuk penjualan persenjataannya. Tidak hanya memberikan akses teknologi, China juga tidak memberlakukan syarat yang dipandang sebagai intervensi urusan dalam negeri di negara pembeli senjata,” ujar Song.
Departemen Pertahanan AS menduga China diam-diam membantu Arab Saudi membuat pabrik rudal. Sejumlah citra satelit merekam lokasi yang diduga dipersiapkan menjadi pabrik rudal itu. (AFP/REUTERS/RAZ)