Pernah menjadi korban ambisi pemimpin Irak, Saddam Husein, kini Kuwait berkembang dan tumbuh menjadi negara yang kian berkembang. Kuwait masa kini adalah gambaran dari kemakmuran dan keterbukaan negara-negara Teluk.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·5 menit baca
Bagi kulit orang Asia Tenggara, suhu udara Kuwait pada awal Juni bagaikan berdiang di dekat perapian, di siang bolong yang terik. Siang itu, Minggu (4/6/2023), dari balik jendela sebuah hotel berbintang di pusat Kuwait City, langit biru, trotoar yang lengang, dan hamparan taman kota dengan puluhan pohon kurma yang tengah lebat berbuah, menyusuri Kuwait City - ibu kota Kuwait - begitu menggoda.
Begitu menggoda hingga tak sabar rasanya segera melepas penat dengan berjalan-jalan menikmati suasana Kuwait. Apalagi, tujuh jam penerbangan panjang dari Bangkok menuju Kuwait City membuat kaki terasa ”kaku” dan perlu ”dilemaskan”.
Sesampai di lobi yang sejuk berpendingin udara (sekitar 21 derajat celsius), dengan percaya diri kaki melangkah mantap menuju pintu putar. Dan, sesaat setelah meninggalkan pintu putar itu, tiba-tiba hawa panas segera membungkus tubuh. ”Wuih, panas sekali,” kata seorang rekan.
Tiba-tiba muncul rasa ragu. Namun, ”lambaian” pucuk daun pohon kurma di taman Al Shaheed begitu menarik hati. Kami pun mencoba berjalan perlahan, tetapi kami segera berhenti sekitar 200 meter dari pintu hotel. Tak tahan rasanya dengan hawa panas siang itu. Pada papan elektronik yang terletak di atap sebuah bangunan tertera suhu udara siang itu mencapai 45 derajat celsius. Siang itu tampaknya memang hanya kami yang nekat menyusuri trotoar Kuwait City. Lantas, kami pun memutuskan untuk kembali ke hotel dan menunggu hingga petang tiba.
Fouz (26), rekan pendamping dari Kementerian Informasi Kuwait, tertegun mendengar cerita itu. Ia mengatakan, suhu udara Kuwait pada bulan Juni memang mulai memanas, dan puncaknya akan terjadi pada bulan Juli dan Agustus nanti. Saat itu, suhu udara dapat meningkat hingga 50 derajat celsius, bahkan bisa pula lebih. ”Suhu akan mulai menurun pada bulan Oktober,” kata Fouz.
Saat musim panas, orang umumnya bepergian dengan mobil, bahkan pada malam hari. Sangat jarang ditemui orang berjalan-jalan di trotoar atau taman, terutama pada siang hari. Para pekerja sektor konstruksi pun umumnya bekerja hanya pada malam hari.
Siang hari, sebagian warga Kuwait City biasanya meluangkan waktu berjalan-jalan di mal, salah satunya di The Avenues, mal terbesar di Kuwait. Mal itu mengambil konsep sebuah kota, lengkap dengan gedung bioskop, hotel, replika pasar Mubarakiya—pasar tradisional di Kuwait—ratusan toko, kedai kopi, dan aneka restoran taman.
Semua bangunan itu seperti ”dibungkus” dalam tenda dan gelembung raksasa. Guna dari tenda dan gelembung raksasa tersebut adalah menahan agar hawa panas dari luar tidak masuk ke dalam mal. Berbeda dari trotoar-trotoar di Kuwait City yang lengang, lorong-lorong di The Avenues ramai pengunjung karena di bagian dalam, suhu udara diatur sedikit lebih rendah dari suhu ruang sehingga mal seluas lebih dari 400.000 meter persegi itu tetap terasa sejuk. Menyantap sepiring nasi berlauk ikan dan segelas soda seharga 14 dinar Kuwait (Rp 686.000) pun terasa nyaman.
Saat petang tiba, giliran pantai di pesisir Kuwait City menjadi arena yang ramai dikunjungi warga. Meskipun suhu udara rata-rata masih berada di angka 42 derajat celsius, warga dengan nyaman menikmati senja di bibir pantai, tak jauh dari Kuwait Tower. Bagi warga Kuwait, The Avenues dan Kuwait Tower adalah sebagian wujud fisik dari kemakmuran, kemajuan, serta modernitas negeri itu.
Sejarah Kuwait
Nama Kuwait berasal dari ”Kout”, kastil kecil di pesisir pantai yang dibangun Bani Khalid. Populasi awal dibentuk dari perbauran antara migran dari Najd—sebuah wilayah di Arab Saudi—dengan suku-suku setempat, termasuk Bani Khalid di Kout. Mereka adalah kelompok keluarga Al Sabah, Al Khalifa, dan Al Jalahmah.
Kuwait City yang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan maritim yang strategis di kawasan Teluk didirikan pada tahun 1716. Pada tahun 1752, warga kota itu memilih Sabah bin Jaber menjadi pemimpin pertama mereka.
Terbuka
Tidak seperti yang banyak orang bayangkan tentang negara-negara Teluk yang lekat dengan konservatisme, wajah Kuwait saat ini jauh lebih terbuka. Di sepanjang jalan raya, banyak ditemui perempuan-perempuan Kuwait dengan bebas mengemudi kendaraan. Banyak dari mereka berkerudung sampir, bahkan tidak sedikit pula yang tak berkerudung.
Demikian pula di The Avenues. Sejumlah perempuan Kuwait tampak duduk bersama dengan rekan atau kerabat mereka di kedai kopi atau rumah makan.
”Banyak pula yang tetap mengenakan pakaian tradisional (berjubah dan mengenakan penutup wajah). Meskipun dibebaskan dalam menampilkan diri, kami tetap menjaga nilai-nilai tradisional dan Islam, termasuk di era kini,” kata Fouz yang siang itu mengenakan celana panjang hitam dipadu dengan blazer berwarna khaki.
Fouz merupakan bagian dari tim Kementerian Informasi Kuwait yang bertugas mendampingi delegasi dari negara-negara mitra yang diundang hadir untuk melihat langsung pemilihan anggota Majelis Nasional Kuwait. Dalam pemilu yang digelar pada 6 Juni lalu, tercatat ada 207 kandidat, sebanyak 13 di antaranya perempuan. Warga pemilik hak suara tercatat sebanyak 793.646 orang, dengan rincian 406.895 pemilih perempuan dan 386.751 pemilih laki-laki.
Dibandingkan dengan beberapa negara Teluk lain, seperti Arab Saudi, Qatar, dan Bahrain, Kuwait tercatat sebagai negara Teluk yang maju dalam praktik berdemokrasi. Sejak tahun 2005, Pemerintah Kuwait memberi hak politik untuk perempuan. Perempuan Kuwait memiliki hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota parlemen. Mereka pun juga bebas bepergian dan belajar hingga ke mancanegara.
Noura, seorang warga Kuwait, mengatakan, perempuan merupakan bagian dari kemajuan Kuwait. Salah satu perempuan Kuwait, mantan anggota Majelis Nasional, adalah Aseel al-Awadhi. Ia adalah doktor ilmu filsafat di Universitas Kuwait. Dalam pemilu lalu, salah satu dari 50 kandidat terpilih adalah perempuan, yaitu Jenan Boushehri.
Menurut sejumlah pengamat, pemilu itu—ketiga dalam tiga tahun terakhir—sangat dibutuhkan Kuwait. Di bawah bayang-bayang krisis politik, Kuwait perlu segera menata diri, khususnya mengamankan rencana diversifikasi pendapatan nasional. Kuwait, seperti halnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, tidak ingin lagi menggantungkan ”nasibnya” pada sumur-sumur minyak.
Panasnya suhu udara di Kuwait, praktik berdemokrasi dan keterlibatan perempuan Kuwait dalam politik memberi ingatan baru tentang negeri itu. Ingatan itu merobek ingatan lama tentang Kuwait yang pernah menjadi korban invasi Irak pada era Saddam Husein.
Saat ini, Kuwait tumbuh menjadi negara maju, menjadi wakil negara-negara Teluk yang kian terbuka.