Citra satelit memperlihatkan air di 7.245 waduk di dunia menyusut dalam 20 tahun terakhir. Perubahan iklim dan konsumsi manusia yang tidak lestari menjadi penyebab.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
SINGAPURA, RABU — Volume waduk secara global menyusut dalam 20 tahun terakhir meskipun pembangunan bendungan untuk menyimpan air meningkat. Sebuah studi oleh Nature Communication menyebut, bendungan-bendungan baru itu tetap tak akan cukup untuk mengatasi laju penyusutan pasokan air global.
Hasil studi yang dirilis pada Selasa (13/6/2023) menyebutkan, data satelit memperlihatkan air di 7.245 waduk di seluruh dunia menyusut pada periode 1999-2018. Padahal, kapasitas bendungan bertambah hingga 28.000 meter kubik setiap tahun.
Huilin Gao dari Universitas Texas A&M yang mengetuai penelitian itu mengatakan, perubahan iklim adalah faktor utama dalam penyusutan cadangan air di waduk-waduk. ”Sekalipun suhu (Bumi) berhenti naik, permintaan (air) akan terus bertambah,” katanya.
Penyusutan volume waduk terkonsentrasi di belahan bumi selatan, terutama Afrika dan Amerika Selatan. Di sana kebutuhan air meningkat dengan cepat. Bendungan baru tidak terisi secepat yang diharapkan.
Studi itu tidak menghitung dampak sedimentasi. Persoalan sedimentasi diperkirakan akan memangkas kapasitas waduk hingga seperempatnya pada 2050, menurut makalah yang diterbitkan United Nations University pada Januari 2023.
Kekeringan yang panjang juga memunculkan pertanyaan tentang kelayakan pembuatan bendungan besar. Sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di China pada musim panas tahun lalu mengering akibat suhu yang mencapai rekor terpanas di kawasan lembah Sungai Yangtze. Pekan lalu, Asosiasi PLTA Internasional menyebut, bendungan-bendungan baru memainkan peran mitigasi yang krusial di era krisis iklim guna mengatur aliran air.
”Seiring iklim yang semakin tak menentu, kita perlu lebih banyak infrastruktur air dengan bonus listrik rendah karbon yang sangat dibutuhkan,” tutur asosiasi itu.
China berulang kali menyatakan, kemampuan untuk menyimpan dan mengalirkan air dari hulu Sungai Yangtze telah mengurangi ancaman banjir dan kekeringan di kawasan hilir. Tak seperti di wilayah lain, level cadangan air China justru meningkat tipis pada periode 1999-2018 berkat limpasan air yang lebih tinggi di lembah sungai. ”Namun, itu semua bergantung pada iklim di masa depan, terutama karena sebagian besar wilayah mengalami penurunan limpasan air,” kata Gao.
Seiring iklim yang semakin tak menentu, kita perlu lebih banyak infrastruktur air dengan bonus listrik rendah karbon yang sangat dibutuhkan.
Al Jazeera dalam laporan pada Mei 2023 mengutip sebuah studi yang menyebut setidaknya separuh danau terbesar di dunia kehilangan air. Penggunaan air yang tidak berkelanjutan membuat danau dan waduk di seluruh dunia mengering sejak awal 1990-an. Muncul keprihatinan soal air untuk pertanian, PLTA, dan konsumsi.
Sebuah tim peneliti internasional melaporkan, sejumlah sumber air bersih paling penting di dunia, dari Laut Kaspia hingga Danau Titicaca, kehilangan rata-rata air secara kumulatif hingga 22 gigaton per tahun selama hampir tiga dekade. Jumlah itu setara 17 kali volume bendungan terbesar di Amerika Serikat, Danau Mead.
Para peneliti itu mengamati citra satelit dari 250.000 area danau dan waduk yang diambil dari tahun 1992 hingga 2020. Dari situ mereka menghitung permukaan air di 1.972 sumber air bersih.
Studi yang diterbitkan di jurnal Science itu menyebutkan, penggunaan air yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan membuat danau dan waduk menyusut, seperti terjadi di Laut Aral di Asia Tengah dan Laut Mati di Timur Tengah. Danau-danau di Afghanistan, Mesir, dan Mongolia mengalami dampak kenaikan suhu yang meningkatkan hilangnya air ke atmosfer. Danau alami dan bendungan menyimpan sekitar 87 persen air tawar di Bumi.
Dampaknya akan dirasakan hingga 2 miliar orang yang hidup di kawasan lembah sungai atau danau yang mengering itu. Temuan tersebut menegaskan perlunya langkah terpadu untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan sedimentasi.
Fangfang Yao, ahli hidrologi permukaan pada Universitas Virginia, mengatakan, 56 persen penyusutan volume danau dan waduk disebabkan perubahan iklim dan konsumsi manusia. Ilmuwan iklim secara umum menyatakan, wilayah kering di dunia akan menjadi lebih kering, sementara wilayah basah akan menjadi makin basah. Air menyusut lebih cepat di wilayah yang lembab. ”Ini tidak boleh diabaikan,” ujar Yao. (REUTERS)