Selat Taiwan Selalu Tegang, Akankah Berujung dengan Perang?
Selat Taiwan kembali tegang. Pesawat-pesawat tempur China kembali mendekati wilayah Taiwan. Untuk berjaga-jaga, Taiwan meningkatkan kesiagaan.
TAIPEI, MINGGU — Militer Taiwan, Minggu (11/6/2023), kembali meningkatkan kesiagaan dan pertahanan udaranya. Hal ini setelah 10 pesawat tempur China, yakni J-10, J-11, J-16, dan Su-3, serta pesawat pengebom H-6 melintasi garis median Selat Taiwan. Pada saat yang bersamaan, empat kapal perang China juga sedang berpatroli di lokasi yang sama. Untuk berjaga-jaga, Taiwan mengerahkan pesawat tempur, kapal, dan sistem rudal daratnya.
Ini sudah kedua kalinya dalam satu pekan terakhir, pesawat China terbang dekat Taiwan. Pekan lalu, 37 pesawat militer China juga terbang ke zona pertahanan udara Taiwan, lalu sebagian terbang ke Pasifik barat.
Situasi tegang seperti ini memicu kekhawatiran akan terjadinya perang antara China dan Taiwan. Namun, para ahli tidak yakin bahwa China akan betul-betul menyerang Taiwan, setidaknya tidak dalam waktu dekat.
Baca juga: Sejarah Konflik China-Taiwan dan Campur Tangan Amerika Serikat
Kementerian Pertahanan Taiwan, Minggu (11/6/2023), mendeteksi ada 24 pesawat milik China yang sedang berpatroli, 10 pesawat di antaranya melintasi garis median Selat Taiwan. China menganggap Taiwan, yang memerintah sendiri di wilayah saat ini sejak 1949, sebagai bagian dari wilayahnya. Selama tiga tahun terakhir, Beijing kerap mengirimkan pesawat-pesawatnya ke dekat wilayah Taiwan, tetapi tidak pernah masuk ke wilayah udara teritorial Taiwan.
Selama ini, China menyatakan misi semacam itu cara untuk melindungi kedaulatan negaranya dari ”ancaman pihak luar”, seperti Amerika Serikat. Beijing menuduh Washington sedang berkolusi untuk menghadapi China. Pada April lalu, China mengadakan latihan perang di sekitar Taiwan menyusul perjalanan Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, ke AS.
Pemerintah Taiwan menolak klaim kedaulatan China. Ia menegaskan, hanya rakyat Taiwan yang boleh memutuskan masa depan mereka. Tsai berulang kali menawarkan untuk berbicara dengan China. Namun, Beijing menolak hal itu karena menganggap Tsai dan partainya sebagai separatis.
”Perang bukan pilihan. Tidak ada pihak mana pun yang bisa mengubah status quo secara sepihak dengan cara tidak damai. Mempertahankan status quo perdamaian dan stabilitas adalah kesepakatan dunia dan Taiwan,” kata Tsai pada akhir Maret 2023.
”Meski Taiwan dikelilingi risiko, kami bisa menanganinya bersama-sama dengan negara-negara demokrasi dan masyarakat dunia. Kita bisa bersama-sama meredakan risiko itu,” lanjut Tsai.
Taiwan tidak mau memilih perang, tetapi hanya meningkatkan kemampuan mempertahankan diri, dengan bantuan dari AS. China pun, menurut majalah Time, 12 April 2023, dalam artikel berjudul ”Why China Won’t Invade Taiwan Anytime Soon” akan selalu hanya bereaksi ”memamerkan” kekuatan militernya jika Taiwan bertemu dengan para pejabat tinggi AS secara langsung. Jika tidak ada campur tangan AS, China tidak akan bereaksi.
Oleh karena itu, risiko serangan dari militer China kemungkinan masih rendah meski provokasi China tidak bisa diabaikan juga. Insiden apa pun atau kecelakaan bisa saja terjadi dan meningkatkan risiko konflik bersenjata, tidak hanya antara China dan Taiwan, tetapi juga antara China dan AS.
Baca juga: Indonesia Siapkan Rencana Darurat Terkait Taiwan
Menurut Time, ada beberapa alasan Presiden China Xi Jinping tidak akan melawan Taiwan dalam waktu dekat. Pertama, karena Xi akhir-akhir ini menghabiskan banyak energi untuk memainkan peran lebih besar di panggung dunia dengan menjadi mediator perdamaian.
Menurut Time, ada beberapa alasan Presiden China Xi Jinping tidak akan melawan Taiwan dalam waktu dekat.
Kedua, Xi sudah mengamati apa yang terjadi dengan Rusia di Ukraina. Ada banyak hal yang tidak terduga dan memalukan, belum lagi menghabiskan banyak biaya. Taiwan, dengan dukungan AS, mempersiapkan diri akan kemungkinan invasi China dan bisa jadi akan berlangsung lebih lama dari perang Rusia-Ukraina.
China juga sudah siap dari sisi persenjataan, tetapi pengalaman tempurnya kurang dalam 44 tahun terakhir. Tentara China terakhir berperang dengan Vietnam pada 1979. Xi kemungkinan akan ekstra hati-hati untuk memutuskan perang mengingat perekonomian China belum bangkit sepenuhnya sejak pandemi Covid-19.
Pilihan terakhir
Hasil survei Proyek Pengajaran, Penelitian, dan Kebijakan Internasional (TRIP) di Institut Penelitian Global William & Mary dengan dukungan dari Carnegie Corporation of New York pada Oktober 2022 dan Januari 2023 menunjukkan, mayoritas dari 979 responden (72,5 persen) sarjana hubungan internasional di AS menilai risiko serangan China ke Taiwan maupun perang antara AS dan China masih tetap rendah meski retorika dan perilakunya ”tampak galak dan siap saling serang”.
Jika pun China benar-benar menyerang Taiwan, para responden mendukung AS untuk bersikap tegas seperti menjatuhkan sanksi, meningkatkan pasokan militer ke Taiwan, melancarkan serangan dunia maya terhadap aset China, meningkatkan penempatan pasukan AS di Taiwan, dan menerima pengungsi dari Taiwan.
Hasil survei TRIP tersebut dipublikasikan majalah Foreign Policy, 13 April 2023. Survei itu juga menunjukkan, responden tidak yakin perang AS-China akan terjadi karena risikonya terlalu besar.
John Culver, yang pernah menjadi agen pada Badan Pusat Intelijen AS (CIA) untuk Asia Timur pada 2015-2018, kepada jurnal Foreign Affairs, 6 Juni 2023 menyebutkan bahwa China belum membuat keputusan untuk berperang. Bagi Xi, Taiwan tetap krisis yang harus dihindari. Namun, jika Taiwan atau AS menantang, China akan segera bergerak memaksa penyatuan Taiwan dan China dengan cara paksa.
Pemerintah AS diimbau untuk memikirkan risiko itu dengan serius karena saat ini situasi antara China, Taiwan, dan AS jauh lebih dekat dengan konflik dibandingkan tahun 1970-an. Kesiapsiagaan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China yang meningkat membuat China akan lebih cenderung berani mengambil risiko jika dipancing.
”Namun, berperang dengan AS untuk Taiwan akan tetap berbahaya bagi Partai Komunis China. Langkah (perang) ini akan diambil Xi hanya jika dia tidak punya pilihan lain,” tulis Culver yang juga Nonresiden Senior Fellow di Global China Hub Dewan Atlantik di jurnal tersebut.
Baca juga: China Versus China
Culver juga mengatakan, PLA memang telah membangun militer modern yang tangguh dalam hal peralatan, fasilitas, dan basis industri pertahanan. Selain itu, mereka kini menjadi angkatan laut terbesar kedua di dunia. Hal ini sudah dibangun selama 20 tahun terakhir. Peningkatan anggaran pertahanan tahunannya rata-rata hampir 15 persen sebelum krisis keuangan global, dua kali lipat setiap lima tahun.
Langkah (perang) ini akan diambil Xi hanya jika dia tidak punya pilihan lain. (John Culver, mantan agen CIA untuk Asia Timur pada 2015-2018)
Sejak 2009, pertumbuhan riil dalam anggaran PLA berkurang setengahnya karena pertumbuhan ekonomi China melambat. Sumber daya yang tersedia untuk militer sebagai persentase dari pendapatan domestik bruto (PDB) China tidak berubah sejak 1990-an.
Namun, anggaran PLA menurun sebagai persentase dari total pengeluaran pemerintah pusat. Pengeluaran China untuk polisi dan layanan keamanan lainnya lebih besar ketimbang pengeluaran militernya. ”Ini tidak meniadakan ancaman yang ditimbulkan PLA, tetapi pertumbuhan kemampuannya adalah proses yang panjang, bukan persiapan yang tiba-tiba hanya untuk berperang dengan Taiwan atau AS,” tulis Culver.
Pelajaran dari Perang Ukraina
Mantan Kepala Biro Beijing The Washington Post, John Pomfret, dan Ketua Program China di Yayasan untuk Pertahanan Demokrasi dan Wakil Penasihat Keamanan Nasional AS, Matt Pottinger, merespons pendapat Culver. Pomfret dan Pottinger mengatakan, ada kemungkinan Xi akan memutuskan berperang selama ia memimpin. Alasannya, diktator terkadang melakukan agresi tepat ketika orang luar berpikir mereka tidak bisa atau tidak mau, seperti yang sudah dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin.
”Mengingat kegagalan Eropa dan AS untuk mencegah perang Putin, AS dan sekutunya harus bergegas mencegah konflik supaya Xi berpikir matang-matang dulu sebelum melakukan agresi terhadap Taiwan atau siapapun,” tulis keduanya di Foreign Affairs.
Sebelum berperang melawan China, AS dan Taiwan juga sebaiknya mempertimbangkan matang-matang karena Eropa akan memilih bersikap netral ketimbang membantunya keduanya melawan China. Harian South China Morning Post, 7 Juni 2023, memublikasikan jajak pendapat dari studi Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri yang menyebutkan banyak warga negara Eropa (43 persen) yang memandang China sebagai mitra penting yang ingin diajak kerja sama lebih dekat dan lebih memilih bersikap netral (62 persen).
Jajak pendapat publik terhadap 16.168 orang di Austria, Bulgaria, Denmark, Perancis, Jerman, Hongaria, Italia, Belanda, Polandia, Spanyol, dan Swedia ini dilakukan pada April 2023. ”Warga Eropa ingin tetap netral dalam konflik AS-China dan enggan mengambil risiko dari China,” tulis para peneliti studi itu.
”Mereka tidak melihat China sebagai kekuatan yang menantang atau mengancam dan ingin melemahkan Eropa. Mereka juga tidak setuju dengan ide ”demokrasi versus otokrasi” yang dikampanyekan pemerintahan Presiden Joe Biden,” lanjut para peneliti studi tersebut. (REUTERS)