Dua politikus populis merasa liyan seperti penyihir yang diburu massa.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Pekan lalu, istilah dalam bahasa Inggris, witch hunt yang berarti perburuan penyihir, ramai menghiasi berita berbagai media internasional. Ada dua sosok yang berusaha menggunakan istilah itu untuk menggambarkan situasi yang mereka alami saat ini, yaitu Perdana Menteri Inggris 2019-2022 Boris Johnson dan Presiden Amerika Serikat 2017-2021 Donald Trump.
Istilah perburuan penyihir ini diambil dari peristiwa nyata perburuan para perempuan yang dituduh sebagai penyihir di seantero Eropa dan kemudian di Amerika pada abad ke-15 hingga ke-17. Orang-orang yang dituduh sebagai penyihir ini kemudian berakhir riwayatnya di tengah alun-alun kota karena dibakar hidup-hidup.
Sejarah singkat dari perburuan penyihir ini ialah mengincar orang-orang—mayoritas perempuan—yang dituduh menggunakan ilmu hitam, guna-guna, atau praktik-praktik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Kristiani pada Abad Pertengahan. Hal-hal magis itu dikatakan membuat seseorang bisa jatuh cinta atau jatuh sakit, mirip praktik santet di Nusantara.
Sejarawan dari Universitas Oxford, Inggris, Robin Briggs, mengulas lebih mendalam konteks perburuan penyihir itu dari persepsi antopologi dan sosiologi dalam bukunya yang berjudul Witches and Neighbours (1996). Ia memaparkan, tuduhan penyihir ini kemudian melebar tidak hanya kepada perempuan yang mempraktikkan kepercayaan ataupun ritual non-Kristiani, tetapi juga kepada perempuan yang kritis di masyarakat. Perempuan yang dianggap liyan oleh publik.
Briggs menemukan catatan bahwa kebanyakan perempuan yang berakhir di tiang gantung atau dibakar hidup-hidup ini tidak divonis karena menyembah setan. Namun, mereka justru dianggap berbahaya atau mengancam masyarakat karena kerap mengemukakan pendapat yang berbeda dari umum. Pendapat ini notabene adalah yang ditentukan oleh penguasa atau lebih tepatnya patriarki.
Para perempuan ini mempertanyakan, bahkan ada pula yang menentang berbagai kebijakan yang menurut mereka merugikan masyarakat ataupun tidak masuk akal. Terlahir sebagai perempuan, jenis kelamin mereka kemudian menentukan model persekusi dan proses hukum yang mereka hadapi.
Dalam hal ini, Briggs menjelaskan minimnya penyelidikan, apalagi pembuktian bahwa para perempuan ini memang bersalah. Bahkan, penjatuhan vonis kepada para ”penyihir” ini tidak diberikan oleh hakim atau ahli hukum lainnya, tetapi dilempar ke publik. Di masa kegelapan itu, sensasi dan darah selalu menang dibandingkan akal sehat.
Lantas, apa hubungannya kisah tragis para perempuan ini dengan Johnson dan Trump? Jawabannya ialah kedua mantan kepala negara/pemerintahan itu merasa senasib dan sepenanggungan dengan para ”penyihir”. Mereka menganggap diri mereka adalah korban yang dizalimi oleh sistem dan publik.
Bagi Trump, istilah witch hunt ini mungkin salah satu favoritnya. Berbagai media di AS, salah satunya The Conversation, mencatat bahwa selama masa kepresidenannya, Trump 337 kali menggunakan istilah ini. Trump akhir-akhir ini juga gencar menggunakan kata witch hunt.
Dalam dua pekan terakhir, ia terseret setidaknya tiga gugatan hukum. Pertama, perkara penyogokan dua aktris film dewasa ketika ia sedang berkampanye sebagai calon presiden; kedua, kasus pelecehan seksual yang ia lakukan kepada penulis E Jean Carroll; dan yang ketiga, pengambilan dan penyimpanan surat-surat rahasia negara di kediaman pribadinya secara ilegal.
”Saya diburu bagai penyihir, tidak berhenti-berhenti. Semua tuduhan ini tidak beralasan,” katanya di hadapan massa kampanye di Georgia.
Sahabat Trump, Boris Johnson, juga menggunakan istilah witch hunt di dalam pidato pengunduran dirinya dari Majelis Rendah Parlemen Inggris, Jumat (9/6/2023). Johnson memutuskan hengkang dari parlemen sebelum dijatuhkan sanksi oleh komite etik atas skandal partygate.
Johnson membacakan surat pengunduran dirinya yang terdiri lebih dari 1.000 kata. ”Saya telah menerima surat dari komite penyelidik yang membuat saya terkejut. Mereka hendak menggunakan penyelidikan yang sedang berlangsung atas saya untuk mengenyahkan saya dari parlemen,” demikian kutipan pernyataan Johnson.
Penyelidikan yang dimaksud ialah mengenai dugaan Johnson berbohong kepada parlemen terkait kasus partygate. Ini adalah skandal selama tahun 2020-2021 ketika dunia masih dilanda pandemi Covid-19. Terlepas dari peraturan Pemerintah Inggris agar tidak ada acara kumpul-kumpul, sejumlah pejabat pemerintah yang mencakup Perdana Menteri Inggris 2019-2022 Boris Johnson juga Menteri Keuangan Rishi Sunak terjerat.
Terungkap, Johnson sempat beberapa kali mengadakan pesta di rumah dinas perdana menteri, 10 Downing Street. Pesta itu antara lain pesta ulang tahunnya dan pada akhir tahun 2020 ia mengadakan pesta Natal. Kepada komite penyelidikan, Johnson mengatakan tidak sengaja mengadakan pesta. Anak buah dan teman-temannya kebetulan datang guna mengucapkan selamat ulang tahun.
Namun, penyelidikan komite khusus ini menemukan sejumlah bukti, termasuk pengakuan dari para staf 10 Downing Street maupun di kantor perdana menteri bahwa pesta-pesta itu telah direncanakan sejak beberapa hari, bahkan beberapa pekan sebelumnya. Artinya, Johnson dengan sengaja melanggar peraturan yang dibuatnya. Ketika skandal partygate diungkap oleh media massa pada tahun 2021, Johnson menjadi perdana menteri pertama di Inggris yang didenda oleh kepolisian.
Gara-gara skandal itu, Johnson mengundurkan diri dari kursi perdana menteri. Ia digantikan oleh Liz Truss, mantan menteri luar negeri pada kepemimpinannya. Namun, baru 41 hari menjabat, Truss pun lengser. Rishi Sunak akhirnya resmi menjabat sebagai perdana menteri.
Faktor menarik ialah Trump dan Johnson bukan tokoh kritis dan liyan yang menentang kebijakan yang tidak berlandaskan kajian dan kebutuhan masyarakat. Mereka justru adalah politikus-politikus populis yang mengatasnamakan kemauan rakyat untuk membuat peraturan yang semakin menekan publik.
Trump dengan berbagai kebijakan anti-imigran yang membuat sentimen antaretnis di AS menegang. Adapun Johnson sukses membuat Inggris keluar dari Uni Eropa di dalam peristiwa yang dikenal sebagai Brexit. Langkah yang di tahun 2016 didukung oleh rakyat, tetapi berdasarkan jajak pendapat YouGov pada Maret 2023, sebanyak 53 persen responden menyesali telah memilih untuk Brexit.
Namun, ketika terdesak, para pemburu penyihir yang populis ini pun akhirnya tidak segan menganggap diri mereka sebagai penyihir yang diburu.