Pascatragedi, PBB Ungsikan 300 Anak Panti Asuhan Sudan
Konflik di Sudan tidak kunjung selesai. Anak-anak terus menjadi korban.
KHARTUM, KAMIS — Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelamatkan dan mengungsikan 300 anak panti asuhan di Khartum, Sudan, menuju tempat yang aman. Hal ini dilakukan setelah terkuak tragedi ada 71 anak, termasuk bayi, di sebuah panti yang meninggal sejak 15 April 2023 ketika konflik antara militer dan Pasukan Dukungan Cepat atau RSF meletus.
”Semua anak sudah dievakuasi. Beberapa di antara mereka ada yang sakit dan kami memastikan mereka memperoleh layanan kesehatan,” kata juru bicara Organisasi PBB untuk Anak-anak (Unicef), Ricardo Pires, Kamis (8/6/2023).
Pires menjelaskan, anak-anak ini sekarang diurus oleh Kementerian Sosial Sudan. Unicef bertugas memastikan setiap anak menerima bantuan layanan kesehatan, makanan, pakaian, mainan, dan layanan pendidikan bagi anak yang sudah berusia sekolah. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai lembaga kemanusiaan, tragedi di Panti Asuhan Al-Mayqoma itu mengakibatkan 71 anak meninggal, termasuk di antaranya seorang bayi berumur 3 bulan. Mereka meninggal akibat kelaparan, kekurangan gizi, dan dehidrasi.
Kepala lembaga swadaya masyarakat (LSM) Hadhreen yang bergerak di bidang kemanusiaan, Nazim Sirag, mengungkapkan, per Mei ada 26 anak di panti itu yang kehilangan nyawa hanya dalam dua hari. Kondisi panti terbengkalai sejak pertempuran militer dengan RSF meletus di ibu kota Sudan itu pada 15 April. Mayoritas penduduk melakukan eksodus dari Khartum sehingga LSM-LSM hanya memiliki kemampuan seadanya untuk membantu anak-anak itu.
Baca juga : Anak-anak Menjadi Korban Konflik Sudan
Menurut Sirag, 300 anak yang diungsikan itu dibawa ke fasilitas milik Kementerian Sosial yang terletak di kota Madani, Provinsi Jazira. Daerah ini berjarak 135 kilometer di tenggara Khartum dan relatif tidak terpengaruh pertempuran.
Alyona Synenko dari ICRC Nairobi, Kenya, kepada media Al Jazeera mengungkapkan, anak-anak di panti asuhan Al-Mayqoma baru bisa dievakuasi delapan pekan setelah konflik meletus. Sebab, evakuasi memerlukan jaminan keamanan dari pihak yang berkonflik. Mereka dievakuasi dalam iring-iringan besar bus dikawal mobil-mobil ICRC. ”Kami tidak bisa mempertaruhkan kehidupan anak-anak itu tanpa 100 persen yakin kami punya seluruh kesepakatan dan jaminan keamanan,” katanya.
Sebelumnya, panti asuhan lain, SOS Children’s Villages, telah berhasil mengevakuasi seluruh anak dan staf dari Khartum tiga pekan lalu serta memindahkan mereka di Madani dan White Nile. Mereka terdiri dari 30 anak-anak, 15 remaja, 15 perawat, dan staf lainnya. ”Mereka selamat di dua lokasi itu,” ujar direktur internasional lembaga itu untuk wilayah Afrika Timur dan Selatan, Senait Gebregziabher.
Konflik terpusat di Khartum beserta dua kota satelitnya, yaitu Omdurman dan Bahri. Selain itu, juga ada konflik di Darfur di sebelah utara. Wilayah ini sejak lama memang tidak stabil. Perseteruan antara militer dan RSF memantik konflik baru.
Ikatan Dokter Sudan mendata, sudah jatuh 860 korban tewas di dalam konflik itu. Sebanyak 190 di antaranya adalah anak-anak. Organisasi ini dan PBB mengkhawatirkan anak-anak yang tidak terdata keberadaannya. Sebab, 1,9 juta orang kehilangan tempat tinggal dan 477.000 orang terpaksa mengungsi ke luar negeri.
Baku tembak
Konflik antara militer yang dipimpin Jenderal Abdul Fattah Burhan dan RSF yang dipimpin Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo ini meletus gara-gara RSF menolak dilebur ke dalam militer. Dewan Pemerintah Sudan mengatakan, ini merupakan syarat transisi pemerintahan dari dipimpin militer ke pemerintahan sipil.
Baca juga : Trauma Perang Sudan dan Harapan untuk Masa Depan Mahasiswa Indonesia
Media Al Rakoba melaporkan, kedua pihak kini memperebutkan kompleks pergudangan Yarmouk yang terletak di bagian selatan Khartum. Di dalam gudang-gudang itu disimpan senjata dan amunisi. Pasukan RSF terpaksa mundur pada Selasa (6/6/2023) karena militer mengirim serangan udara dan artileri. Akan tetapi, pada Rabu (7/8/2023), mereka kembali dan berusaha menguasai kompleks itu.
”Saya khawatir terjadi ledakan besar karena di Yarmouk juga ada gudang minyak,” kata Nader Youssef, warga yang tinggal di dekat kompleks itu. Youssef termasuk penduduk yang tidak memiliki pilihan selain berusaha bertahan di Khartum tanpa aliran listrik dan jaringan pipa air bersih.
Gencatan senjata yang diramu di Jeddah, Arab Saudi, pada 11 Mei lalu tidak lagi dipatuhi. Ketika itu, militer dan RSF berunding secara tidak langsung. Arab Saudi dan Amerika Serikat bertindak sebagai penengah. Pihak Burhan dan Dagalo saling menyalahkan tidak kunjung usainya pertempuran ini.
Baca juga : Sudan Menanti Swar al-Dahab Baru
Perwakilan Tetap Sudan untuk PBB, Harith Idris, berbicara kepada stasiun televisi Alhurra. Menurut dia, Riyadh dan Washington harus mendesak RSF agar mau menghentikan serangan dan mematuhi gencatan senjata. Jika tidak, pihak militer tidak mau kembali ke meja perundingan. ”Lembaga-lembaga internasional, baik PBB maupun Palang Merah Internasional serta lembaga kemanusiaan lainnya harus ikut mendesak RSF,” ujar Idris.
Sejak awal Juni, Washington dan Riyadh sejatinya mengeluarkan pernyataan bersama. Keduanya mengatakan bahwa baik militer maupun RSF sama-sama melanggar perjanjian gencatan senjata. Padahal, per 21 Mei disepakati akan dibuka jalur kemanusiaan untuk mengirim berbagai bantuan kepada masyarakat sipil.
Gencatan itu berakhir pada 31 Mei. Total, sejak April, sudah ada tujuh gencatan senjata yang terjadi. Tidak satu pun berlangsung melebihi satu pekan. Militer dan RSF sama-sama kembali menyerang begitu tenggat selesai. AS dan Arab Saudi juga menyebutkan berbagai pelanggaran yang dilakukan di Sudan. Militer bersalah karena menggunakan serangan udara di dalam kota. Adapun milisi RSF sengaja bersembunyi di daerah permukiman, bahkan rumah-rumah warga sehingga korban sipil terus berjatuhan.
Sementara itu, di Darfur, kondisi juga kacau balau. Surat kabar New York Times melaporkan konflik horizontal antara masyarakat pendukung militer dan pendukung RSF. Toko-toko dijarah dan rumah-rumah diduduki. Di kota El Geneina, misalnya, kelompok penyerang adalah pendukung militer. Mereka merangsek masuk kota dengan mengendarai mobil, motor, dan kuda sambil menembakkan senjata api.
Di dalam konflik horizontal ini, rumah sakit, fasilitas kesehatan, dan kemah-kemah bantuan kemanusiaan turut menjadi sasaran penyerangan. Akibatnya, terjadi krisis kemanusiaan. ”Di Darfur benar-benar hukum rimba. Banyak warga yang mengungsi ke Chad (negara tetangga),” kata koordinator PBB untuk pengungsi di Darfur, Toby Harward.
Ia menjelaskan, berbeda dengan warga Khartum yang masih bisa mengungsi dengan membawa koper, warga Darfur banyak yang terpaksa lari hanya membawa pakaian yang mereka kenakan. Mereka kabur tanpa membawa uang, apalagi paspor karena langsung melarikan diri begitu desa mereka diserang kelompok bersenjata. (AP/REUTERS)