Nyawa anak-anak Sudan hilang di konflik yang semestinya bisa dituntaskan di meja perundingan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
GENEVA, JUMAT — Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak atau Unicef menerima laporan bahwa sedikitnya 190 anak kehilangan nyawa akibat konflik antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat atau RSF. Berbagai perkiraan internasional, termasuk intelijen Amerika Serikat, menyebutkan konflik bersenjata ini tidak akan selesai dalam waktu singkat.
Laporan Unicef disampaikan oleh juru bicara organisasi tersebut, James Elder, di kantor utama mereka di Geneva, Swiss, Jumat (5/5/2023). Laporan itu dihimpun oleh berbagai fasilitas kesehatan dan organisasi kesehatan di Sudan. Sebanyak 190 anak tewas dan 1.700 anak luka-luka akibat konflik yang berlangsung sejak tanggal 15 April itu.
Menurut Elder, data ini masih harus dipastikan dan ditelaah lagi oleh Unicef. ”Pastinya, kami mengkhawatirkan jumlah anak yang menjadi korban lebih besar karena ini data anak-anak yang dirawat oleh fasilitas kesehatan. Anak-anak yang tidak sempat dibawa ke fasilitas kesehatan atau meninggal di daerah yang tidak ada akses ke layanan medis belum terhitung,” tuturnya.
PBB menghitung jumlah korban tewas secara keseluruhan telah mencapai 700 orang dan luka-luka melebihi 5.000 orang. Gelombang pengungsi terus terjadi dan PBB memperkirakan setidaknya akan ada 860.000 warga Sudan yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka.
Organisasi Migran Internasional (IOM) mendata, sejauh ini sudah 450.000 warga Sudan yang pergi dan sebanyak 115.000 orang di antaranya ke luar negeri. Mesir, negara yang berbatasan langsung dengan Sudan di utara, menerima aliran pengungsi terbanyak. Ada 52.000 warga Sudan dan 4.000 warga asing yang memasuki Mesir.
PBB menghitung, tahun ini dibutuhkan biaya 445 juta dollar Amerika Serikat untuk menyantuni warga Sudan. Sebelum konflik pun, sepertiga dari warga atau setara dengan 15 juta jiwa sudah hidup di bawah garis kemiskinan dan bergantung pada bantuan sosial internasional. Konflik ini mengakibatkan bencana kemanusiaan. Tidak berakhirnya pertempuran membuat bantuan susah diedarkan kepada masyarakat.
Lama
Konflik bersenjata di Sudan ini pecah akibat ”perang bintang”, yaitu perebutan kekuasaan dua jenderal. Panglima Militer Sudan Abdul Fattah Burhan melawan Pemimpin Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Mohamed Hamdan Dagalo. Keduanya tidak mau kehilangan kekuatan apabila pemerintahan negara tersebut dialihkan ke tangan sipil yang dipilih oleh rakyat. Dagalo menolak RSF dilebur ke dalam militer.
Menurut kesaksian Duta Besar Indonesia untuk Sudan Sunarko dan mahasiswa Indonesia di sana yang telah diungsikan, pertempuran ini terjadi tanpa ada angin atau pendahuluan apa pun. Pada 15 April pagi, tiba-tiba baku tembak dan serangan udara dimulai.
Amerika Serikat dan Arab Saudi bertindak sebagai penengah. Setelah pekan lalu militer dan RSF melangsungkan gencatan senjata selama tiga hari, dalam akun Facebook mereka, militer menyetujui memperpanjang gencatan selama tujuh hari. Akan tetapi, laporan berbagai media arus utama di Khartum mengatakan bahwa tembak-menembak masih terjadi secara sporadis.
Konflik juga menyebar tidak hanya di Khartum dan kota-kota satelitnya, Omdurman dan Bahri. Di utara, kota Darfur juga bergejolak. AS telah menjatuhkan sanksi ekonomi, baik bagi para petinggi militer maupun RSF. ”Semua yang terlibat konflik ini telah mengkhianati rakyat Sudan yang menginginkan transisi ke pemerintahan sipil yang demokratis,” kata Presiden AS Joe Biden.
Direktur Intelijen Nasional AS Avril Haines, yang membawahkan seluruh badan intelijen di negara tersebut, memaparkan bahwa konflik ini akan berlangsung dalam waktu lama. Baik Burhan maupun Dagalo meyakini hanya kekuatan persenjataan yang akan mengakhiri pertikaian mereka. Akibatnya, itikad untuk maju ke meja perundingan kecil sekali.
Selain itu, militer dan RSF sama-sama mencari pembenaran melalui bantuan pihak luar. Militer Sudan didukung oleh Pemerintah Mesir yang mengirimkan persenjataan. RSF didukung oleh mantan jenderal dari Libya, Khalifah Haftar. Uni Emirat Arab juga mendukung RSF dengan alasan bahwa kelompok bersenjata ini menentang kepemimpinan militer Sudan dan Burhan yang condong ke arah Islamis radikal.
Kedua pihak bersikeras agar persyaratan mereka dipenuhi sebelum berunding. Letnan Jenderal Yasser Atta yang merupakan bagian dari militer mengatakan bahwa harus ada penegakan keadilan. ”Dagalo harus menyerahkan diri dulu untuk diadili, baru bisa ada negosiasi,” katanya kepada surat kabar Al Hadath.
Sementara itu, dilansir dari Al Arabiya, Koalisi untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC), organisasi masyarakat sipil Sudan yang menentang kediktatoran dan mendukung demokrasi serta pemberdayaan masyarakat, menyerukan agar masyarakat di wilayah yang tidak dilanda konflik turun ke jalan untuk berunjuk rasa.
”Kita harus menunjukkan bahwa negara ini milik rakyat, bukan kelompok elite. Perubahan dari rakyat dan rakyat mendorong gencatan senjata,” kata juru bicara FFR, Yasser Arman. (AP/Reuters)