Lebih dari dua dekade terakhir, Recep Tayyip Erdogan selalu memenangi pemilu di Turki. Kemampuannya memadukan narasi nasionalisme-konservatisme jadi kunci kemenangan itu.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Presiden petahana Turki Recep Tayyip Erdogan (69) kembali memimpin Turki periode 2023-2028 setelah memenangi pemilihan presiden putaran kedua, Minggu (28/5/2023). Ia meraup suara 52,18 persen berbanding 47,82 persen yang diraih pesaingnya, Kemal Kilicdaroglu.
Kemenangan itu menunjukkan, hegemoni Erdogan atau bisa disebut fenomena Erdoganisme di Turki, yang kukuh sejak 2002 atau lebih dari dua dekade, tidak tergoyahkan. Dalam sejarah modern Turki lahir dua isme, yaitu Kemalisme yang merujuk pada Mustafa Kemal Ataturk, sang pendiri Turki modern tahun 1923, dan Erdoganisme yang merujuk pada Erdogan.
Era Kemalisme berlangsung dua periode. Periode pertama, era Mustafa Kemal Ataturk, mulai tahun berdirinya Turki modern (1923) hingga wafatnya pada 1938. Periode kedua, era pengikut Kemal Ataturk, dari setelah wafatnya Kemal Ataturk tahun 1938 hingga naiknya Erdogan sebagai perdana menteri (PM) tahun 2002. Periode Kemalisme dari 1938 hingga 2002 diselingi periode PM Adnan Menderes (1950-1960) dan PM Necmettin Erbakan (1996-1997) yang dianggap antitesis Kemalisme.
Adapun era Erdoganisme berlangsung sejak naiknya Erdogan sebagai PM tahun 2002 sampai sekarang atau sudah 21 tahun. Jika ditambah sampai 2028, Erdoganisme akan berlangsung 26 tahun.
Dalam kamus politik Turki modern, Erdoganisme dianggap sebagai antitesis Kemalisme. Meski demikian, Erdoganisme masih menghormati dan memegang teguh prinsip negara sekuler Turki yang dibangun Kemal Ataturk. Perbedaan Kemalisme dan Erdoganisme lebih pada kebijakan dalam negeri dan luar negeri, tetapi tidak mengusik konstitusi negara yang sekuler.
Pada pemilihan presiden Turki tahun 2023, kandidat oposisi, Kemal Kilicdaroglu, dianggap representasi dari Kemalisme melawan Erdoganisme. Sesuai hasil pemilu, Erdoganisme masih unggul atas Kemalisme.
Paduan dua narasi
Mengapa Erdoganisme unggul atas Kemalisme dalam berbagai pemilu selama lebih dari dua dekade ini, sejak tahun 2002 hingga 2023? Fenomena ini tak lepas dari kemampuan Erdogan memadukan narasi nasionalisme-konservatisme. Bahkan, itu kunci di balik keunggulannya atas Kemalisme.
Di setiap pemilu, Erdogan mampu meraih suara besar di kantong-kantong konservatif, baik Islam konservatif maupun sekuler konservatif. Ia cukup cerdik membaca komposisi dan struktur masyarakat Turki, yang mayoritas (60-70 persen) masyarakat konservatif.
Kemampuan Erdogan memadukan narasi nasionalisme-konservatisme menjadi kunci di balik keunggulannya atas Kemalisme.
Dalam hal ini sesungguhnya Mustafa Kemal Ataturk gagal melakukan modernisasi masyarakat Turki secara kultural. Masyarakat Turki, terutama masyarakat perdesaan, tetap konservatif. Gerakan sufisme di Turki, terutama di area perdesaan, cukup berkembang.
Gerakan modernisasi Mustafa Kemal Ataturk bisa disebut hanya sukses di masyarakat perkotaan. Maka, jangan heran jika muncul fenomena PM Adnan Menderes (1950-1960) yang mampu mengobarkan jargon Islamisme-nasionalisme yang saat itu dianggap antitesis Kemalisme. Gerakan Menderesisme ditumpas lewat kudeta militer tahun 1960.
Pada 1990-an, muncul lagi fenomena PM Necmettin Erbakan (1996-1997) yang juga mengumandangkan jargon Islamisme-nasionalisme dan antitesis Kemalisme. Gerakan Erbakanisme juga ditumpas lewat kudeta militer tahun 1997.
Mengontrol militer
Pada tahun 2000-an sampai saat ini, lahir fenomena Erdoganisme yang mengumandangkan pula Islamisme-nasionalisme dan antitesis Kemalisme. Jika militer mampu menghentikan gerakan Menderesisme dan Erbakanisme, mereka gagal menghentikan gerakan Erdoganisme.
Puncak upaya militer gagal menghentikan gerakan Erdoganisme adalah kudeta yang gagal terhadap Erdogan pada 2016. Sebaliknya, Erdogan kini mengontrol penuh militer. Ini salah satu faktor kejayaan Erdogan di Turki saat ini.
Dalam konteks keberhasilan menundukkan gerakan Kemalisme di ranah sistem demokrasi, Erdogan menggunakan narasi paduan nasionalisme-konservatisme. Maka, Erdogan sangat keras menghadapi gerakan separatis Kurdi yang direpresentasikan oleh Partai Pekerja Kurdi (PKK). Erdogan pun mengirim pasukan Turki ke Suriah utara untuk mengejar PKK dan cabangnya di Suriah, seperti milisi Unit Pelindung Rakyat (YPG) Kurdi.
Ini yang membuat Erdogan mendapat simpati dari kubu ultranasionalis-sekuler, seperti Partai Gerakan Nasionalis (MHP), yang kemudian berkoalisi dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan dalam koalisi Umat pada Pemilu 2023 ini.
Narasi nasionalisme tersebut juga berperan di balik kemenangan Erdogan pada pilpres putaran kedua, Minggu (28/5/2023). Ia mendapat dukungan Sinan Ogan, kandidat presiden ketiga pada pemilihan presiden putaran pertama, Minggu (14/5/2023). Ogan secara ideologis lahir dari kandungan MHP. Dukungan Ogan kepada Erdogan itu merupakan salah satu faktor utama di balik kemenangan Erdogan.
Selain itu, faktor penyebab kemenangan Erdogan adalah kegagalan Kilicdaroglu memobilisasi sekitar 11 persen pemilih yang tidak memberikan suara pada pemilu putaran pertama agar mereka bersedia memberikan suara pada putaran kedua. Padahal, sebagian besar mereka adalah pendukung Kilicdaroglu.
Pada pemilu putaran kedua, jumlah pemilih yang tak memberikan suara justru lebih besar daripada di putaran pertama. Jumlah pemilih pilpres putaran kedua adalah 84,57 persen atau turun dibandingkan dengan jumlah pemilih di putaran pertama yang mencapai 88,9 persen.
Dalam konteks keberhasilan membangun narasi konservatisme, Erdogan meraih suara besar di wilayah Anatolia bagian tengah dan area pesisir Laut Hitam. Wilayah ini dikenal sebagai basis masyarakat konservatif dan tradisional di Turki. Wilayah Anatolia bagian tengah dan pesisir Laut Hitam memang menjadi basis suara AKP sejak 2002.
Dalam upaya menarik simpati kaum konservatif pula, Erdogan dalam kampanye pemilu menolak tegas isu LGBT di Turki. Jauh sebelumnya, pada 2020, Erdogan juga mengesahkan perubahan status Hagia Shopia dari museum menjadi masjid. Ini juga dalam upaya menarik simpati kaum konservatif. Berbagai manuver itu telah mengantarkan Erdogan kembali menjabat presiden periode 2023-2028.