Semakin ke Arab Sembari Tetap ke Barat Setelah Kemenangan Erdogan
Turki akan tetap mempertahankan sekularisme dan menjadi sekutu penting barat di kawasan. Di sisi lain, Turki juga memberi ruang lebih luas untuk penggunaan simbol keagamaan di tempat publik.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Senin (29/5/2023) dini hari, dua bulan menjelang seabad Republik Turki, ribuan orang memadati berbagai tempat umum Ankara. Mereka merayakan kemenangan Recep Tayyip Erdogan di putaran kedua pemilihan Presiden Turki. Sebaliknya pasar bereaksi negatif.
Senin pagi, nilai tukar lira terhadap dollar AS semakin terperosok. Dari 19,7 lira per dollar AS pada penutupan Jumat pekan lalu, nilai tukar lira turun ke 20,07 per dollar AS. “Pandangan kami pada lira pesimistis setelah Erdogan menang,” kata ekonom Wells Fargo, Brendan McKenna, kepada CNBC.
Pasar tidak yakin ada potensi perubahan kebijakan ekonomi seiring kemenangan Erdogan. Ekonom sudah bertahun-tahun menyalahkan kebijakan ekonomi Erdogan yang gagal menurunkan inflasi dan menaikkan nilai tukar lira.
Sejak Erdogan menang periode dua pada 2018, nilai tukar lira terus merosot. Sementara inflasi menyentuh 85 persen pada Oktober 2022 sebelum turun bertahap mencapai 43,6 persen pada April 2023. “Ada banyak masalah ekonomi di Turki, inilah titik terlemah pemerintahan Erdogan,” kata ekonom Turki Arda Tunca.
Dalam pidato kemenangannya, Erdogan menyebut ekonomi salah satu isu yang menjadi prioritas pemerintahannya. “Isu paling mendesak dalam waktu dekat adalah menghapuskan masalah karena kenaikan harga yang dipicu inflasi dan mengganti hilangnya kesejahteraan,” ujarnya.
Kekhawatiran
Selain ekonomi, masalah lain di dalam negeri adalah isu kebebasan berpendapat. Penantang utama Erdogan, Kemal Kılıcdaroglu, serta merta menyebut dua putaran pilpres Turki tidak adil. Erdogan dan pendukungnya menanggapi itu dengan teriakan “Selamat tinggal Kemal”. Teriakan itu membahana kala Erdogan berpidato di Ankara pada Senin dini hari.
Ada pun soal sekularisme, kekhawatiran utama karena Erdogan tidak lagi sepenuhnya melarang penggunaan simbol agama di lembaga pemerintahan. Padahal, larangan itu salah satu praktik utama sekularisme Turki.
Soal itu isu, sejumlah petinggi Turki menegaskan komitmen Erdogan pada sekularisme. Hal itu dibuktikan sekularisme tidak diusik kala Turki mengubah konstitusi. Sampai sekarang, Turki tidak menempatkan ulama atau lembaga ulama di posisi utama dan penting negara itu. Berbeda dengan sejumlah negara lain yang mengutamakan pendapat ulama dalam proses pengambilan kebijakan.
Dalam sejumlah kesempatan, Erdogan juga menyangkal ingin memaksakan penggunaan simbol agama di lembaga publik. Ia menegaskan, sekularisme berarti negara tidak ikut campur dalam cara warga negara menerapkan kepercayaannya. Warga boleh memakai dan tidak memakai simbol keagamaan di fasilitas pemerintahan.
Dampak Kawasan
Di luar Turki, ada kekhawatiran soal kebijakan luar negeri Turki. Dalam beberapa tahun terakhir, Turki tidak lagi selalu selaras dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Padahal, Turki pemilik tentara terbesar kedua di NATO. Selain itu, Turki menyediakan pangkalan penting untuk operasi NATO di Timur Tengah dan Laut Tengah. “Meski tetap jadi anggota NATO, jiwa Turki sudah tidak di sana lagi,” kata Tunca.
Selama perang Ukraina, Turki memilih tidak menyanksi Rusia seperti anggota lain di NATO. Bahkan, Turki terus menggandeng Rusia dalam bidang keamanan dan ekonomi. Padahal, NATO mau mengisolasi total Rusia. "Turki di masa Erdogan akan tetap menjadi mitra penting sekaligus rumit bagi NATO dan Barat," kata Direktur Kajian Eropa pada Eurasia Group, Emre Peker
Di sisi lain, Turki diragukan akan benar-benar meninggalkan barat dan NATO. Sampai sekarang, Turki tidak menarik pendaftaran menjadi anggota Uni Eropa. Mendaftar pada 1987, sampai sekarang Turki belum juga diterima oleh UE. Erdogan pernah mengungkap harapan Turki menjadi anggota UE pada 2023. Keanggotaan UE diharapkan menjadi salah satu kado perayaan seabad Turki.
Ankara tidak hanya mempertahankan hubungan dengan Barat. Selama beberapa tahun terakhir, pemerintahan Erdogan terus mengeratkan hubungan dengan negara-negara Arab. Dengan Suriah, Turki sudah memulai upaya pencairan hubungan. Para pejabat kedua negara sudah saling kunjung dan membahas berbagai isu.
Hubungan Damaskus-Ankara tegang karena Turki menyokong berbagai kelompok pemberontak di Suriah. Turki dianggap menyediakan pintu bagi dana dan milisi asing masuk ke Suriah lalu dikirim ke kelompok pemberontak. Turki juga menduduki sebagian wilayah Suriah.
Selain Suriah, hubungan dengan negara Arab lain juga semakin cair. Dengan Arab Saudi, ketegangan setelah pembunuhan Jamal Khashogi di kompleks Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul sudah reda. Dengan sejumlah negara lain di kawasan, kedekatan juga terlihat.
Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani termasuk yang paling pertama memberi selamat kepada Erdogan. (AFP/REUTERS)