Persaingan Kilicdaroglu dan Erdogan Berebut Ceruk Suara Perempuan
Pada pemilu Turki 2023, jumlah perempuan pemilih 50,7 persen. Dukungan bagi Erdogan dari kelompok ibu rumah tangga 60 persen pada pemilu 2018. Namun, oposisi yakin, perempuan peka atas guncangan krisis ekonomi saat ini.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Beberapa hari sebelum pemungutan suara putaran kedua pemilu presiden Turki, 28 Mei, partai oposisi semakin gencar mendekati kelompok perempuan atau ibu rumah tangga di kelas pekerja. Kelompok itu selama ini memang jadi basis pendukung kuat Presiden Recep Tayyip Erdogan. Tetapi, bagi oposisi, tak salah mencoba memperoleh tambahan suara dari mereka bagi calon presiden Kemal Kilicdaroglu.
Dalam pemilu tahun ini, jumlah perempuan pemilih sekitar 50,7 persen. Survei Ipsos menunjukkan, dukungan bagi Erdogan dari kelompok ibu rumah tangga mencapai 60 persen pada pemilu 2018. Langkah Erdogan menghapus pembatasan negara dalam urusan agama di negeri republik—dengan warga mayoritas Muslim, tapi secara resmi sekuler—itu membuat Erdogan jadi pahlawan di kalangan konservatif.
Pada pemilu 2018, Erdogan langsung memenangi putaran pertama dengan dukungan lebih dari 52 persen suara. Dalam pemilu 14 Mei, Erdogan yang sudah memerintah selama dua dekade itu gagal terpilih langsung. Di mata oposisi, ini bukti mereka masih punya peluang merebut dukungan rakyat.
Kilicdaroglu meraih 44,9 persen suara pada pemilu putaran pertama 14 Mei, memaksa Erdogan masuk ke putaran kedua. Pada Rabu (24/5/2023), Kilicdaroglu mendapat dukungan Umit Ozdag, Ketua Partai Kemenangan, yang berhaluan nasionalis dan memperoleh 2,2 persen suara pada pemilu parlemen.
Dukungan itu diharapkan bisa jadi penyeimbang atas dukungan Sinan Ogan, kandidat presiden dari aliansi yang digalang Partai Kemenangan, yang telah menyatakan dukungan kepada Erdogan. ”Ayo, singkirkan Erdogan. Gunakan hak Anda di putaran kedua pada 28 Mei,” seru Rojda Aksoy, aktivis feminis ketika berkampanye di Istanbul, Turki, Selasa (23/5/2023).
Ajakan Aksoy dibalas dengan teriakan seorang perempuan lain yang mendukung Erdogan. ”Reis (pemimpin) akan menang!”. "Reis" adalah julukan untuk Erdogan di kalangan para pendukungnya. Di kalangan lingkar terdekatnya, Erdogan kerap disapa "beyefendi" (bapak).
Meski banyak perempuan mendukung Erdogan, Aksoy yakin masih ada peluang untuk membujuk mereka berpindah dukungan. Apalagi, dengan nilai mata uang lira yang makin terpuruk lima tahun terakhir sehingga membuat harga barang-barang kebutuhan pokok mahal.
Aksoy meyakini, perempuan peka terhadap guncangan harga dalam krisis ekonomi terburuk Turki sejak 1990-an.
Aksoy meyakini, perempuan peka terhadap guncangan harga dalam krisis ekonomi terburuk Turki sejak 1990-an. ”Kami mengingatkan mereka bahwa meskipun Erdogan dan partainya telah berkuasa selama lebih dari 20 tahun, bahkan jika mereka punya semua alat propaganda, mereka tetap tidak bisa menang secara langsung,” ujarnya.
Cidgem Ener (50), warga Istanbul, pada pemilu putaran pertama lalu tidak memilih Kilicdaroglu karena belum percaya pada kandidat oposisi itu. Ia memilih Sinan Ogan, yang berhaluan ultra-nasionalis. Di putaran pertama, Ogan mendapat suara 5,2 persen suara. Menjelang putaran kedua, ia mengumumkan dukungan pada Erdogan.
Ener mengingatkan bahwa Turki itu negara sekuler, tetapi sekarang situasinya menjadi menyedihkan setelah Erdogan membawa partai Islam Kurdi, Huda Par, masuk ke parlemen.
Langkah Erdogan membuat aliansi yang dipimpinnya tetap mengontrol parlemen, sesuai hasil pemilu parlemen, yang berlangsung bersamaan dengan pilpres putaran pertama, 14 Mei lalu. Namun, langkah itu memicu kontroversi.
Penolakan Huda-Par terhadap hak-hak perempuan dan keterkaitan mereka dengan kelompok-kelompok yang terlibat dalam pembunuhan di luar pengadilan membuat marah Ener. Karena alasan itulah, kini Ener memilih Kilicdaroglu.
Tijyen Alpanli (60) juga akan melakukan hal yang sama karena khawatir dengan tokoh-tokoh Islam garis keras yang dibawa Erdogan masuk ke dalam koalisinya. ”Perempuan dibunuh dan hampir tidak ada pembunuh yang dihukum,” ujarnya.
Tidak semua pemilih dalam kondisi terombang-ambing dan memutuskan pindah ke lain hati. Raziye Kuskaya (50) menegaskan, ia dan keluarganya akan tetap mendukung Erdogan sampai titik darah penghabisan. ”Kita mungkin tidak bisa membeli semua barang yang kita inginkan, tetapi tidak apa-apa. Kami akan tetap memilih Erdogan,” ujarnya.
Kubu oposisi hanya bisa bergantung pada penggunaan media sosial untuk menjangkau pemilih karena Erdogan mencengkeram media. Strategi ini diakui oposisi kurang efektif. Sebab, ada kelompok masyarakat yang tidak terjangkau, terutama kelompok ibu rumah tangga.
Peran istri Erdogan
Sebaliknya, kubu Erdogan sudah lama mendekati perempuan demi mendapatkan dukungan sejak ia Erdogan menjadi wali kota Istanbul pada 1990-an. Istri Erdogan, Emine Erdogan, adalah salah satu pemimpin jaringan Islam politik akar rumput perempuan.
”Erdogan percaya para aktivis perempuannya bisa mendekati perempuan dan meyakinkan mereka untuk memilih dia karena kesamaan gender, nilai, dan kelas,” kata Prunelle Ayme, pengamat politik di CERI-Sciences Po di Paris, Perancis.
Ketika tidak sedang musim kampanye, kata Ayme, ”pasukan aktivis perempuan” Erdogan ini kerap melakukan kunjungan untuk acara kelahiran, pernikahan atau pemakaman guna menjalin ikatan dan mengumpulkan data masyarakat yang tinggal di lingkungan yang berbeda-beda.
Ibu rumah tangga kelas pekerja juga merupakan penerima manfaat utama dari pusat-pusat sosial dan tempat belajar yang didirikan partai Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Namun, tetap saja, meski koalisi Erdogan masih mempertahankan kendali di parlemen, AKP kehilangan sekitar 20 kursi. ”Kita masih bisa berharap,” kata Aksoy. (AFP)