Pemilihan presiden Turki akan berlangsung dua putaran. Presiden petahana Erdogan disinyalir tidak akan mudah mempertahankan kekuasaanya. Apakah ada perubahan kekuasaan di Turki?
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Politik Turki selama dua dekade terakhir didominasi oleh golongan kanan yang dipimpin oleh Erdogan dan partainya. Namun, dominasi politik ini ditantang oleh Kilicdaroglu dari partai oposisi yang menggerus suara Erdogan hingga di bawah 50 persen pada Pemilu 2023. Pilpres yang berlanjut ke putaran kedua ini berpotensi untuk memutar balik arah politik Turki yang selama ini cenderung konservatif.
Pemilu Turki 2023 menjadi salah satu peristiwa politik yang diperhatikan komunitas internasional. Pemilu berjalan di luar ekspektasi dari banyak kalangan. Erdogan serta Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang selama 20 tahun lebih mendominasi politik Turki gagal memenangi pemilu dengan mudah seperti sebelumnya.
Pemilu putaran pertama dimenangi Erdogan dengan perolehan 49,5 persen. Saingan utamanya, Kemal Kilicdaroglu, berada di posisi kedua dengan perolehan 44,9 persen. Kandidat ketiga dan keempat, yakni Sinan Ogan dan Muharrem Ince, masing-masing memperoleh suara 5,2 persen dan 0,4 persen.
Meski unggul, Erdogan belum bisa dikatakan sebagai pemenang karena belum mencapai ambang batas 50 persen. Pada sistem pemilu Turki, kandidat bisa dikatakan memenangi pemilu jika meraih suara mayoritas atau 50 persen + 1 suara. Maka, pemilu dilanjutkan ke putaran kedua yang menurut rencana dilaksanakan pada 28 Mei 2023.
Secara historis, perolehan ini menjadi yang terburuk bagi Erdogan selama tiga pemilu terakhir. Pada pemilu sebelumnya di 2018, Erdogan memenangi pemilu dalam satu putaran dengan 52,6 persen.
Perolehan tersebut cukup jauh melampaui kandidat di posisi kedua, Muharrem Ince, dengan 30,6 persen. Hasil dari dua kandidat lain jauh tertinggal, yakni Selahattin Demirtas yang meraih 8,4 persen suara dan Meral Aksener yang mendapat 7,3 persen suara.
Hasil pada Pemilu 2014 juga lebih kurang sama. Saat itu, Erdogan memenangi pemilu dalam satu putaran dengan perolehan suara 51,8 persen. Angka ini tak terkejar oleh calon di posisi kedua, Ekmeleddin Ihsanoglu, dengan perolehan sebesar 38,4 persen dan Selahattin Demirtas di posisi ketiga dengan 9,8 persen.
Penurunan perolehan suara dari Erdogan ini tidak dapat dilepaskan dari gejolak ekonomi dan politik yang melanda Turki. Instabilitas ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19 membuat perekonomian Turki terpuruk. Pascapandemi, Turki ternyata belum mampu membangkitkan roda perekonomiannya.
Persoalan instabilitas ekonomi ini diperparah dengan inflasi yang tinggi. Meski kini sudah sedikit turun, inflasi di Turki masih relatif tinggi di kisaran 43,7 persen (year on year). Bahkan, pada puncaknya di Oktober 2022, inflasi Turki meroket hingga di atas 85,5 persen y-o-y. Tingginya angka inflasi menyebabkan harga kebutuhan tak terkendali.
Kompleksitas persoalan ekonomi ini semakin runyam akibat model pemerintahan Erdogan yang cenderung otokratik. Alih-alih mengambil langkah yang umumnya ditempuh, yakni menaikkan suku bunga, Erdogan justru mengintervensi bank sentral Turki dan melarangnya mengeluarkan kebijakan tersebut. Bahkan, ia secara gamblang menyatakan bahwa inflasi disebabkan oleh suku bunga yang lebih tinggi.
Apa yang dilakukan oleh Erdogan dalam kasus inflasi lebih kurang menggambarkan apa yang ia lakukan pada aspek pemerintahannya yang lain.
Selama dua dekade memerintah, Erdogan telah membangun jaringan untuk kekuasaannya di sistem yudikatif hingga legislatif. Bahkan, ia mengubah sistem pemerintahan Turki dari parlementer menjadi presidensial untuk kian mengukuhkan posisi politiknya.
Apa yang nantinya terjadi di Turki tak hanya akan berpengaruh ke dalam situasi politik domestik. Posisi Turki sebagai salah satu pemain kunci di dunia dan kawasan Eropa serta Asia lebih kurang akan berpengaruh ke percaturan geopolitik dunia. Terlebih lagi, selama menjabat, Erdogan menjadi salah satu pemimpin yang cukup vokal terhadap berbagai isu.
Jika dilihat rekam jejaknya, Erdogan banyak terlibat dalam beberapa isu dan krisis internasional. Sebagai contoh adalah keterlibatan Turki di Perang Suriah dengan intervensi militer langsung selama tahun 2016 sampai 2022. Tak hanya itu, Turki menjadi salah satu pendukung dari milisi Tentara Pembebasan Suriah yang berperang dengan pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Lebih lanjut, posisi Erdogan di gelanggang politik internasional cenderung dekat dengan Rusia, terutama Presiden Vladimir Putin. Sikap Erdogan yang seperti ini memusingkan berbagai pihak, terutama blok Barat.
Di satu sisi, sulit untuk menyangkal posisi strategis Turki, baik secara ekonomi, politik, geografis, maupun dalam konteks keamanan. Namun, di sisi lain, sikap Turki yang sering berubah kerap menjadikannya duri dalam daging yang mengganggu tatanan aliansi yang telah terbentuk mapan.
Tak ayal, bergantinya rezim pemerintahan di negara ini akan membawa implikasi yang patut diperhitungkan. Terutama jika akhirnya Kilicdaroglu terpilih sebagai pemenang pemilu. Dibandingkan dengan Erdogan, Kilicdaroglu memiliki posisi cenderung lebih liberal dalam konteks politik internasional. Maka, secara natural, pemerintahan di bawahnya akan lebih sejalan dengan arah politik aliansinya di NATO.
Kilicdaroglu juga merupakan representasi dari kelompok reformis, yang sebetulnya mengakar dari awal terbentuknya Turki sebagai negara modern. Hal ini tecermin dari asal partai Kilicdaroglu, CHP, yang merupakan partai dari bapak pendiri Turki, Kemal Attaturk. Golongan ini sebelumnya digulingkan oleh politik sayap kanan Erdogan.
Tak ayal, kembalinya CHP melalui kemenangan Kilicdaroglu akan mengembalikan pula arah politik Turki menjadi lebih tradisional seperti visi dari bapak pendirinya.
Namun, jalan Kilicdaroglu untuk menang masih sangat terjal, bahkan bisa dibilang hampir tidak mungkin. Penyebabnya, kandidat ketiga yang menyimpan sekitar 5 persen suara, Sinan Ogan, memiliki haluan politik yang cenderung lebih mendekati Erdogan.
Maka, perubahan arah politik Turki mungkin tidak akan sedrastis yang diharapkan oleh komunitas internasional, terutama Barat. Namun, pemilu yang lebih menantang ini menjadi penanda bahwa masa dominasi kelompok konservatif di Turki yang selama ini tak terbayangkan untuk bisa bergeser sudah mulai dikikis oleh kelompok progresif. (LITBANG KOMPAS)