Thailand tengah dilanda euforia karena politikus muda dan radikal memenangi pemilu. Akan tetapi, bisakah perubahan sungguh terjadi?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Angin perubahan berembus di Thailand setelah pemilihan umum membuktikan bahwa rakyat jenuh dengan kekuasaan militer dan memenangkan partai oposisi, yakni Partai Bergerak Maju atau MFP. Akan tetapi, sekuat apakah angin itu bisa menggerakkan kincir pemerintahan ”Negeri Gajah Putih”? Itu perkara lain lagi.
Ketua MFP Pita Limjaroenrat mengumumkan partainya berkoalisi dengan lima partai lain guna membentuk pemerintahan. ”Saya siap mengemban tugas sebagai perdana menteri, terserah apabila Anda setuju ataupun tidak. Koalisi ini akan segera membentuk tim transisi agar peralihan ke pemerintahan baru berjalan semulus mungkin, tidak ada dampak kepada keamanan maupun ekonomi,” katanya dalam pidato kemenangan di Bangkok, Selasa (16/5/2023), yang disiarkan berbagai media Thailand.
”Rakyat sudah muak karena kehilangan beberapa dekade atas pemerintahan yang tidak memuaskan. Ini awal baru yang harapannya bisa membawa masa depan cerah,” lanjut Pita.
Ia menyatakan percaya diri bisa memimpin Thailand, tetapi pada saat yang bersamaan juga tidak akan bertindak gegabah. Soal ketidakpuasan sejumlah pihak atas hasil pemilu dan risiko pembentukan pemerintahan minoritas yang menentang hasil pesta demokrasi itu, Pita meyakini rakyat Thailand tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Thailand kembali dikuasai oleh junta militer sejak tahun 2014. Ketika itu, Jenderal Prayuth Chan-ocha makar terhadap Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dari kalangan sipil. Gara-gara kejadian itu, Undang-Undang Dasar pun diamendemen untuk memberi kursi tetap bagi 250 perwakilan militer di parlemen.
Artinya, dari 750 kursi, hanya 500 kursi yang diperebutkan di dalam pemilu. Koalisi MFP memang menduduki 310 kursi dan resmi menjadi pemerintahan baru. Akan tetapi, Pita belum tentu terpilih menjadi perdana menteri karena kali ini giliran 750 anggota parlemen yang harus memberikan suara.
Anggaplah 310 anggota koalisi mendukung dia dan 250 perwakilan militer mutlak menentangnya. Masih ada 190 anggota parlemen lain yang belum diketahui suaranya. Jika ternyata mayoritas anggota parlemen tidak mendukung Pita, bisa-bisa angin perubahan ini berhenti bertiup.
Meskipun begitu, pemilu ini tetap sangat bersejarah bagi Thailand. Komisi Pemilihan Umum Thailand mengumumkan, sebanyak 39,3 juta pemilih datang menggunakan hak suara mereka. Angka ini setara dengan 75,22 persen dari warga negara dengan hak pilih. Ini adalah jumlah tertinggi dalam sejarah pemilu Thailand. Sebanyak 3,3 juta orang adalah pemilih perdana.
”Ini pertarungan antara liberalisme dan konservatisme. Para pemilih, terutama generasi muda mendukung MFP karena partai ini berani menawarkan pembaruan, terutama soal perubahan hukum pidana lesemajeste atau pemenjaraan bagi siapa pun yang menghina raja serta anggota keluarga kerajaan,” kata Kavi Chongkittavorn, wartawan senior dan pengamat politik Thailand yang aktif di berbagai lembaga riset internasional saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (20/5/2023).
Ia menjelaskan, 50 hari ke depan adalah saat-saat penting bagi koalisi untuk membentuk pemerintahan. Keberadaan 250 senator perwakilan militer juga faktor yang tidak bisa dinafikan kekuatan politiknya.
Berbagai pihak, termasuk Wakil Perdana Menteri Wissanu Krea-ngam, mewanti-wanti soal perpecahan di masyarakat. Apalagi, berakhirnya pandemi Covid-19 apabila tidak diikuti dengan peningkatan perekonomian dan kesejahteraan, bisa memunculkan gelombang protes terbaru.
Menurut Kavi, lebih dari 20 tahun belakangan masyarakat Thailand sudah terbelah. Selama ini dikenal dengan Kubu Kuning yang membela kerajaan dan Kubu Merah yang mendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Untungnya, pada pemilu kali ini keterbelahan di masyarakat berorientasi kepada ideologi politik dan persoalan nyata bangsa Thailand.
”Butuh kolaborasi politikus senior dan junior untuk mencari jalan keluar masalah ini,” tuturnya.
Hal penting yang harus dibahas ialah rencana perubahan aturan lese majeste. Aturan ini sudah ada sejak tahun 1908. Meskipun Thailand berubah menjadi monarki konstitusional pada tahun 1932, lesemajeste justru diperkuat.
Individu, kelompok, ataupun lembaga yang menghina raja, ratu, ahli waris takhta, dan anggota keluarga kerajaan bisa dihukum penjara maksimal 15 tahun. Selama kekuasaan PM Prayuth, penerapan lese majeste ini oleh masyarakat dianggap sebagai teror karena penangkapan dan pengadilannya terselubung.
Tidak semua partai koalisi MFP peduli akan lese majeste. Bahkan, ada juga yang menghindari membahas aturan itu, apalagi para senator dari militer.
Pandemi Covid-19 mengubah sikap masyarakat Thailand. Rakyat marah kepada pemerintah akibat kontraksi ekonomi yang memiskinkan mereka. Apalagi, di masa-masa sulit tersebut, Raja Vajiralongkorn justru tidak berada di tanah air. Ia memboyong seisi istana ke sebuah hotel mewah di wilayah pegunungan di Jerman.
Unjuk rasa yang awalnya mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah akhirnya meluas menjadi protes terhadap kerajaan. Bahkan, anak-anak muda peserta unjuk rasa tidak takut lagi menampilkan pantomim yang secara gamblang mencemooh raja.
Generasi muda ini memberikan suara untuk MFP karena keberanian menjanjikan perubahan aturan lese majeste itu. Akan tetapi, Kavi mengingatkan, janji politik jangan pernah diterjemahkan menjadi kenyataan politik. ”Tidak semua partai koalisi MFP peduli akan lese majeste. Bahkan, ada juga yang menghindari membahas aturan itu, apalagi para senator dari militer,” tuturnya.
Meskipun demikian, kemenangan MFP dan kegerahan generasi muda memaksa topik lese majeste ke bawah sorotan politik. Sekeras apa pun pemerintah berusaha menghindar, pada akhirnya mereka tetap harus berhadapan dengan isu tersebut. ”Ini membuka diskursus baru di Thailand. Setidaknya, menjadikan pemerintahan baru ini lebih dinamis dari sebelumnya,” kata Kavi.
Dalam konteks Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), keberadaan MFP adalah fenomena politik yang langka. Partai yang dibentuk dan digerakkan oleh anak muda dan berhasil memenangi kekuasaan selama ini tidak terjadi. Umumnya, partai seperti ini berjaya di pemerintahan daerah, bukan nasional.