Di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi, Thailand perlu secepat mungkin untuk menyusun penyelesaian yang memadai terhadap tuntutan demokratisasi dari masyarakat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Demonstrasi yang berlangsung selama beberapa waktu terakhir memperlihatkan keinginan kuat rakyat Thailand agar negara mereka menjadi lebih demokratis.
Peta jalan menuju perubahan yang dikehendaki rakyat perlu segera disiapkan bersama. Kegagalan mengantisipasi ”semangat zaman” yang dinamis akan berdampak buruk. Jauh lebih baik bagi negara mana pun untuk memahami secara tepat perubahan zaman dan mewujudkannya secara damai serta konstitusional.
Demonstrasi besar yang diikuti sekitar 20.000 orang di Bangkok, Thailand, Minggu (16/8/2020) malam, menjadi salah satu bukti nyata bahwa tak mudah bagi penguasa untuk mengabaikan tuntutan rakyat.
Dari semula hanya dilakukan para mahasiswa, unjuk rasa yang meminta agar Thailand menjadi lebih demokratis kini mendapat dukungan lebih luas. Ada dukungan dari kelompok intelektual yang meliputi 147 pengajar universitas di seantero Thailand serta grup yang terdiri atas 358 sarjana dalam Jaringan Akademisi untuk Hak-hak Sipil. Tak ketinggalan dukungan diberikan oleh selebritas, termasuk sebuah grup musik remaja.
Unjuk rasa di Thailand memasuki arah baru ketika pada 18 Juli muncul suara tuntutan agar dibuat debat publik mengenai peran kerajaan. Selama ini, pembahasaan peran kerajaan dianggap tabu karena itu tak boleh ”disentuh” dengan cara apa pun. Situasi ini tak lepas dari keberadaan undang-undang anti-penghinaan monarki, lese majeste. Dengan undang-undang ini, siapa pun yang dinilai telah menghina kerabat kerajaan diancam hukuman penjara. Tak sedikit orang pada beberapa tahun terakhir menjadi korbannya.
Dalam perkembangan terkini, para demonstran telah merumuskan tuntutan-tuntutan yang, antara lain, menyebut pencabutan lese majeste serta pengurangan belanja pemerintah bagi keperluan kerajaan. Dibandingkan masa sebelumnya, kemunculan tuntutan semacam ini merupakan sesuatu yang baru.
Demonstrasi tak ketinggalan mengkritik pemerintahan Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, bekas panglima militer yang berkuasa setelah melakukan kudeta tak berdarah pada 2014. Militer selama ini juga memiliki pengaruh besar di lembaga legislatif. Konstitusi baru yang disusun atas permintaan penguasa memang memungkinkan hal itu terjadi.
Selama ini, pembahasaan peran kerajaan dianggap tabu karena itu tak boleh ’disentuh’ dengan cara apa pun.
Tuntutan besar demokratisasi di Thailand berlangsung di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kekuatan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara itu diperkirakan mengalami kontraksi 8,1 persen pada tahun 2020.
Tak mudah memang bagi Thailand untuk menjalaninya. Di tengah tekanan ekonomi, negara tersebut perlu sesegera mungkin untuk menyusun penyelesaian yang memadai terhadap tuntutan masyarakat, termasuk di dalamnya peninjauan kembali peran kerajaan dan pembentukan pemerintahan sipil yang lebih demokratis.