Unjuk rasa masih bergulir. Para pengunjuk rasa bahkan membawa pelampung berbentuk bebek warna kuning, sebagai simbol aksi damai prodemokrasi.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Empat pemimpin gerakan prodemokrasi Thailand melapor ke kepolisian terkait tuduhan mereka menentang raja dan menuntut reformasi monarki agar lebih bertanggung jawab. Mereka mengkritik undang-undang lese-majeste yang melindungi keluarga kerajaan.
Kritik dilontarkan sebelum memasuki kantor polisi di Bangkok utara, Selasa (8/12/2020). Ratusan pendukung gerakan prodemokrasi di lokasi meneriakkan ”batalkan 112”, merujuk pada Hukum Pidana Thailand Artikel 112 yang menyebutkan tidak boleh ada yang menghina raja, ratu, dan putra mahkota. Pelanggar akan dibui 15 tahun.
”Kalau monarki memakai UU itu untuk membungkam mulut kami, artinya mereka takut kami menyuarakan kebenaran. Ini tidak akan memengaruhi gerakan kami. Ini malah akan membuat lebih banyak rakyat bersuara,” kata salah satu pemimpin, Parit Chiwarak.
Parit menerima enam panggilan terkait pencemaran nama baik monarki. Pengaduan bisa diajukan oleh siapa saja dan kepolisian seharusnya menyelidiki setiap kasus secara resmi. Pemimpin protes lainnya, Panusaya Sithijirawattanakul, mengatakan, UU yang melindungi keluarga kerajaan sebenarnya tidak diperlukan.
”Kalau monarki tidak senang ada yang menghina mereka, mereka bisa memakai aturan hukum yang sama dengan yang orang lain pakai,” ujarnya.
Setelah berbicara dengan polisi selama lebih dari satu jam, keempat pemimpin protes itu diperbolehkan pulang. Masih ada lagi belasan anggota gerakan prodemokrasi yang juga melapor ke kepolisian di distrik yang berbeda.
Selama berbulan-bulan, Thailand digoyang gelombang protes yang dipimpin mahasiswa. Mereka menuntut Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha dan pemerintahannya untuk mundur. Mereka juga menuntut agar konstitusi diubah menjadi lebih demokratis dan reformasi monarki.
Tuntutan mereformasi monarki dianggap radikal dan kontroversial. Monarki, salah satu fondasi tradisi nasionalisme Thailand, tidak tersentuh. Tradisi itu meluntur dan terbukti ribuan warga ikut turun ke jalan untuk protes.
Gelombang protes prodemokrasi kemudian dilakukan juga oleh beberapa kelompok dan menyuarakan tiga tuntutan yang sama. Namun, kelompok Free Youth, salah satu kelompok yang memimpin gerakan itu, menulis di media sosial bahwa mereka berencana mengubah fokusnya hanya pada reformasi monarki.
Selama tiga tahun ini, UU lese-majeste belum pernah diberlakukan. Namun, Prayuth, mantan jenderal yang berkuasa pascakudeta 2014, pernah mengatakan, UU itu mau dipakai untuk menindak para pengunjuk rasa.
Unjuk rasa masih bergulir. Massa bahkan membawa pelampung berbentuk bebek warna kuning. Awalnya, pelampung itu tanpa sengaja dipakai sebagai pelindung saat polisi menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah massa pengunjuk rasa, November lalu. Massa pun berlindung di balik bebek karet itu dan foto-fotonya menjadi viral. Kemudian, ”bebek” itu mulai banyak dijual.
Pelampung bebek telah menjadi simbol protes. Para pengunjuk rasa sebenarnya hendak menghanyutkan bebek itu di Sungai Chao Phraya, di belakang gedung parlemen saat anggotanya sedang membahas usulan perubahan konstitusi. Fungsinya malah berubah.
”Bebek itu jadi pelindung kami yang protes dengan damai. Bebek lucu ini melawan polisi bersenjata,” kata Sam, salah satu pengunjuk rasa.
Rattikarn Saehor, pelampung bebek tiup itu, mengaku dagangannya justru membuat suasana lebih tenang dan diharapkan takkan ada lagi kekerasan.
”Kami mau protes ini tidak bikin stres. Ini ide kreatif yang menunjukkan rakyat protes dengan cara damai dan tidak menginginkan kekerasan,” ujarnya. (AFP/AP/LUK)