Koalisi Oposisi Serba Tak Pasti
Partai-partai oposisi mulai berbicara koalisi dengan satu semangat mengalahkan partai promiliter. Namun, negosiasi tak mudah karena butuh kesolidan satu sikap mereformasi Thailand, terutama soal isu ”lese majeste”.
BANGKOK, KAMIS — Partai-partai oposisi Thailand mulai membicarakan rencana koalisi untuk membentuk pemerintahan baru. Partai Bergerak Maju yang memenangi suara terbanyak pada pemungutan suara mengajak lima partai oposisi bertemu. Meski Partai Bergerak Maju dan Partai Pheu Thai berhasil mengalahkan partai-partai promiliter, oposisi tetap membutuhkan dukungan dari partai lain agar bisa berkuasa.
Bersama lima partai oposisi, yakni Pheu Thai, Thai Sang Thai, Prachachart, Seri Ruam Thai, dan Fair, Partai Bergerak Maju berharap bisa menguasai 310 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki 500 kursi. Proses pembentukan pemerintahan baru di Thailand ini kemungkinan akan berlangsung sampai berbulan-bulan.
Baca juga: Gelombang Perubahan di Thailand
Tantangan pertama oposisi datang dari partai yang menempati posisi ketiga dalam pemilu, Bhumjaithai, yang sudah secara resmi menyatakan tidak akan memilih perdana menteri yang mendukung amendemen undang-undang penghinaan terhadap kerajaan atau lese majeste, Rabu (17/5/2023). Ketua Partai Bergerak Maju Pita Limjaroenrat semula berharap Bhumjaithai mau bergabung karena partai itu memiliki 70 kursi.
Dua partai oposisi pemenang pemilu selama kampanye menjanjikan perubahan—bukan menghapuskan—pada UU yang menghukum siapa pun yang menghina raja dan monarki dengan 15 tahun penjara. Bagi oposisi, UU itu kerap disalahgunakan untuk tujuan politik. Monarki adalah salah satu pilar indentitas nasional Thailand dan dianggap sakral oleh kelompok konservatif. Namun, bagi anak muda, perubahan itu bagian dari reformasi demokrasi.
”Posisi Partai Bhumjaithai tidak akan membentuk pemerintahan dengan partai politik mana pun yang memiliki kebijakan untuk mengubah atau menghapus Pasal 112 KUHP,” sebut pernyataan tertulis Partai Bhumjaithai yang merupakan bagian dari koalisi Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.
Menurut proyeksi terbaru, Partai Pheu Thai, yang memenangi lima pemilu terakhir tetapi selalu disingkirkan dari kekuasaan, memperoleh 141 kursi dan Partai Bergerak Maju 152 kursi. Namun, konstitusi yang dirancang militer membutuhkan lebih dari setengah suara dalam sidang gabungan legislatif bikameral agar bisa menjadi PM. Oposisi akan membutuhkan suara dari partai pemerintah dan senat yang beranggotakan 250 orang yang ditunjuk militer dan konservatif. Jika tidak ada aral melintang, pemerintahan baru semestinya bisa dibentuk pada Juli mendatang.
Untuk bisa berkuasa, oposisi butuh 376 suara agar bisa menjadi mayoritas di parlemen. Harapan besar tertumpu pada Partai Pheu Thai yang kini merupakan kelompok oposisi terbesar di DPR. Jika Partai Bergerak Maju dan Partai Pheu Thai bersatu dan menguasai parlemen, akan menjadi pukulan hebat bagi Prayuth. Pita mengatakan, hasil pertemuan partai-partai oposisi akan diumumkan pada Kamis (18/5/2023) sore waktu setempat.
Skenario
Beberapa senator sudah menyatakan tidak akan memilih Pita sebagai PM karena tidak setuju dengan sikap anti-kemapanannya, termasuk rencana untuk mengubah UU penghinaan monarki dan raja. ”Saya tidak akan menerima Pita sebagai PM,” kata Senator Jadet Inswang, menyuarakan keprihatinan tentang reformasi lese majeste. Senator Kittisak Ratanawaraha juga menolak Pita. ”Calon PM harus cinta bangsa, monarki,” ujarnya.
Seorang pemimpin senior Pheu Thai, Selasa, meminta dua partai konservatif kelas menengah, yakni Bhumjaithai dan Demokrat, untuk membantu koalisi dalam pemilihan PM. Partai-partai yang terkait dengan militer secara teori bisa saja mencoba membentuk pemerintahan minoritas dengan mengandalkan dukungan Senat untuk mendapatkan pilihan PM mereka. Namun, jika jumlah kursi di DPR hanya sedikit, mereka akan sulit untuk memerintah.
Pengamat regional dari Asian Network for Free Elections (ANFREL) menilai, Thailand seharusnya memiliki pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat. ANFREL memuji jumlah pemilih yang tinggi—lebih dari 75 persen—dan mengatakan pemilu kali ini lebih transparan daripada pemilu 2019. Komisi pemilu mengerahkan 41 pemantau daerah yang mendatangi 460 tempat pemungutan suara di 51 provinsi pada hari pemilihan. ANFREL menyebutkan kasus pembelian suara adalah masalah yang paling banyak dilaporkan, tetapi tidak disebutkan jumlah persis kasusnya.
Baca juga: Protes kepada Kerajaan Thailand Makin Kencang
Proses politik pascapemilu Thailand akan menarik dalam beberapa minggu mendatang. Banyak pihak yang mengeluarkan skenario-skenario yang mungkin bisa terjadi. Partai Bergerak Maju bisa membentuk koalisi oposisi bersama beberapa partai kecil lain yang disebut kubu prodemokrasi dengan 310 kursi. Untuk mendapatkan 376 kursi, Partai Bergerak Maju harus menarik lebih banyak sekutu atau membujuk para senator untuk mendukung mereka.
Skenario kedua, bisa saja Partai Pheu Thai membentuk koalisi tanpa Partai Bergerak Maju. Partai Pheu Thai yang selama ini sangat berhati-hati dalam menyampaikan pesan soal monarki memiliki 141 kursi itu bisa bergabung dengan Partai Bhumjaithai (70 kursi) dan partai berkuasa saat ini, Partai Palang Pracharat (40 kursi), serta beberapa partai kecil lainnya. Ini mungkin tampak aneh karena Ketua Palang Pracharat Prawit Wongsuwon adalah bagian dari junta militer yang merebut kekuasaan pada 2014.
”Ada perbedaan strategi politik antara Partai Bergerak Maju dan Partai Pheu Thai. Bergerak Maju memilih perubahan tanpa kompromi, sementara Pheu Thai memilih perubahan yang berkompromi,” kata pakar politik di Universitas Thammasat, Prajak Kongkirati.
Jika Partai Pheu Thai bisa membuat kesepakatan dengan Prawit, kemungkinan besar 250 suara Senat akan datang bersama blok jenderal. Ini mungkin bisa menjadi pemerintahan yang paling stabil. Namun, kesepakatan semacam itu kemungkinan besar berisiko bagi Partai Pheu Thai secara politik karena peraih suara terbanyak tetap Partai Bergerak Maju. Artinya, jika Pheu Thai memilih berkoalisi dengan yang lain, akan terlihat seolah-oleh Pheu Thai mengkhianati keinginan rakyat.
Baca juga: Thailand, antara Politik Dinasti dan Bayang-bayang Kudeta Militer
Skenario lain yang bisa terjadi adalah partai-partai yang kalah secara teknis bisa memilih PM mereka sendiri berbekal 250 suara Senat. Namun, opsi itu menggagalkan keinginan rakyat akan adanya perubahan dan menimbulkan risiko kerusuhan politik lagi bahkan kudeta. Di jajaran legislatif juga bisa kacau karena Partai Bergerak Maju dan Partai Pheu Thai memiliki suara mayoritas di DPR yang berarti mereka bisa memblokir UU dan mencopot PM promiliter dengan mosi tidak percaya.
”Bisa jadi koalisi konservatif ini bisa terbentuk. Dengan dukungan senat, ini jauh lebih memungkinkan ketimbang koalisi prodemokrasi. Ini skenario masuk akal meski tidak sesuai dengan kehendak rakyat,” kata Guru Besar di National War College di Washington, Zachary Abuza.
Skenario terakhir dan terburuk bagi Thailand adalah kebuntuan tanpa pemerintah baru selama enam bulan. Tidak ada tenggat konstitusional untuk pembentukan pemerintahan sehingga jika tidak tercapai kompromi, bisa saja tidak ada pemerintahan yang berfungsi selama berbulan-bulan. (REUTERS/AFP/AP)