Sejak Agustus 2020, sebagian warga Thailand menuntut penghapusan aturan antipenistaan raja dan keluarga. Mereka menuntut pembatasan kewenangan senator yang dapat jabatan berdasar penunjukan.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
BANGKOK, JUMAT — Protes menuntut perubahan di Thailand semakin kencang. Bahkan, para pengunjuk rasa berani menyuarakan perubahan bentuk negara dari monarki konstitusional menjadi republik.
Pada Jumat (25/9/2020), para pengguna Twitter di Thailand menggunakan tagar RepublicofThailand. Sepanjang Jumat pagi, ada 730.000 cuitan menggunakan tagar itu.
Tagar itu marak sehari setelah parlemen menunda membahas rancangan amendemen konstitusi. Parlemen malah membentuk komite yang akan mempelajari beberapa rancangan amendemen konstitusi. Wakil Ketua Fraksi Palang Pracharath Wirat Rattanaset mengatakan, komite akan bekerja selama sebulan, mulai Rabu depan. Mereka akan membahas beberapa versi yang sebelumnya dibahas di parlemen dalam sidang Rabu dan Kamis.
Keputusan menunda pembahasan amendemen dibuat pada Kamis (24/9/2020) malam. Dari 750 anggota parlemen, 432 memilih membentuk komite pengkaji rancangan amendemen. Ketua parlemen, Chuan Leekpai, mengatakan bahwa upaya itu dilakukan demi kebaikan negara. ”Kami bekerja dengan tulus,” ujarnya.
Kala parlemen bersidang membahas rancangan amendemen, puluhan ribu orang berunjuk rasa menuntut perubahan konstitusi. Poin perubahan termasuk tema sangat sensitif di Thailand, yakni soal keluarga kerajaan. Pengunjuk rasa menuntut reformasi monarki, membatasi kewenangan senator yang tidak dipilih melalui pemilu, dan pemilu sebagai cara penunjukan jabatan politik.
Tuntutan mereka terutama ditolak oleh 250 senator yang ditunjuk pemerintah. Padahal, amendemen membutuhkan dukungan dari sedikitnya 84 senator. Para senator dipandang sebagai penolak utama perubahan. Sebab, perubahan itu akan membuat mereka tidak bisa lagi menduduki kursinya tanpa melalui pemilu.
Pemerintah menyatakan, butuh waktu untuk mempelajari enam naskah usulan amendemen. Sebab, ada pihak yang tidak menginginkan perubahan sistem di Thailand. Mantan anggota parlemen, Warong Dechgitvigrom, membawa daftar 130.000 orang yang menolak amendemen.
Sudah sering
Perubahan konstitusi bukan hal baru bagi Thailand. Sejak 1932 atau kala monarki absolut berubah menjadi monarki konstitusional, Thailand telah 20 kali mengubah undang-undang dasar. Perubahan terakhir dilakukan oleh junta pimpinan Prayuth Chan-o-cha. Prayuth sekaligus memimpin kudeta di Thailand pada 2014.
Setelah mengudeta, Prayuth menunda pemilu beberapa kali sampai 2019. Dalam pemilu 2019, partai-partai penyokong Prayuth meraih suara terbanyak sehingga ia bisa mempertahankan kekuasaan dengan menjadi perdana menteri.
Namun, para pengunjuk rasa menilai pemilu 2019 tidak sah. Di tengah pembatasan gerak untuk pengendalian pandemi Covid-19, ribuan orang berunjuk rasa menuntut perubahan di Thailand. Salah satu elemen pengunjuk rasa adalah United Front of Thammasat and Demonstration (UFTD). Kelompok digerakkan oleh para mahasiswa Universitas Thammasat.
Universitas itu dikenal kerap menjadi motor unjuk rasa. Bahkan, pada 1976, unjuk rasa di universitas berujung pada penembakan oleh tentara terhadap massa di sana. Insiden itu mengejutkan Thailand dan dunia internasional.
Pada Agustus 2020, mahasiswa universitas itu kembali mengejutkan Thailand. Mereka menuntut penghapusan Lese Majeste, pemangkasan tunjangan kepada raja, dan pemisahan kekayaan pribadi raja dengan kerajaan. Mereka juga menuntut penghentian kewajiban menyanjung keluarga kerajaan.
Lese Majeste merupakan undang-undang yang dibuat untuk menghukum siapa pun yang dianggap menghina raja dan keluarga kerajaan. UU itu tetap dapat dikenakan kepada pelaku dari luar Thailand yang dinilai menghina raja. (AP/REUTERS)