Babak Baru Relasi ASEAN-China
Tensi geopolitik yang memanas menguji relasi ekonomi ASEAN dan China. Hubungan perdagangan yang lebih adil menjadi prasyarat untuk menjaga kerja sama kondusif keduanya di tengah dunia yang semakin terfragmentasi.
Selama 31 tahun terakhir, hubungan ekonomi ASEAN dan China telah teruji melewati berbagai rintangan. ASEAN menjadi mitra dagang terbesar China, begitu pula sebaliknya.
Meski di tengah pandemi Covid-19, nilai perdagangan bilateral ASEAN-China melonjak signifikan dari 641,5 miliar dollar AS pada tahun 2019 menjadi 975,3 miliar dollar AS pada tahun 2022.
Usai pandemi mereda, relasi dagang ASEAN-China pun berlanjut, bahkan menguat. Menurut data terbaru China General Administration of Customs, pada triwulan I tahun 2023, ASEAN kembali menjadi mitra dagang terbesar China. Volume perdagangan keduanya menyentuh 227,8 miliar dollar AS atau naik 7,6 persen, mencakup 15,8 persen dari total nilai perdagangan internasional China.
Baca juga: China Ingin ASEAN Konsisten Inklusif
Penasihat Menteri Bidang Ekonomi dan Komersial pada Misi China untuk ASEAN Li An mengatakan, China dan ASEAN pada dasarnya mempunyai hubungan dagang bilateral yang resilien di tengah berbagai tantangan. Meski demikian, dinamika geopolitik yang meruncing akhir-akhir ini bisa membawa ancaman baru terhadap relasi kedua pihak.
Perseteruan sengit Amerika Serikat dengan China bergulir menjadi adu pengaruh kedua negara adidaya itu di kawasan Asia Pasifik, termasuk ASEAN. Li mengatakan, ada tendensi AS untuk membentuk blok-blok ala Perang Dingin melalui jalur ekonomi, seperti ancaman decoupling atau pemutusan relasi ekonomi, blokade teknologi, serta pemotongan rantai pasok terhadap China dan negara lain yang dianggap dekat dengan China.
”Meski relasi China dan ASEAN sudah teruji kuat, kita tetap perlu mengantisipasi hal-hal yang bisa mengusik kerja sama ekonomi regional dan stabilitas tatanan global. Jangan sampai ada satu negara pun di ASEAN yang dipaksa untuk berpihak pada salah satu negara lewat cara-cara ekonomi,” katanya kepada Kompas, Sabtu (29/4/2023).
Dampak rivalitas China-AS itu sudah mulai terasa. Indonesia, misalnya, baru-baru ini dikecualikan oleh AS dalam pemberian kredit pajak atas pembelian mobil listrik. Insentif itu mengecualikan mobil listrik dengan baterai yang mengandung komponen dari Indonesia. AS beralasan, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS. Selain itu, perusahaan China dinilai terlalu mendominasi industri nikel di Indonesia.
Di tengah tarik-menarik pengaruh itu, Li tetap meyakini, segala bentuk konspirasi untuk membentuk kubu-kubu politik di ASEAN akan gagal. ”China siap menggagas kerja sama yang lebih pragmatis dengan ASEAN untuk mendorong integrasi ekonomi dan menjaga perdamaian di kawasan. Apa pun yang terjadi, ASEAN harus tetap menjaga keterbukaan dan inklusivitasnya,” kata Li.
Jangan sampai ada satu negara pun di ASEAN yang dipaksa untuk berpihak pada salah satu negara lewat cara-cara ekonomi.
Tak ingin konflik
China berupaya merapatkan barisan dengan ASEAN melalui rangkaian safari dengan pemimpin dan pejabat tinggi sejumlah negara ASEAN, seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia, pada awal tahun ini. Dalam berbagai pertemuan itu, semua pihak sepakat menegakkan multilateralisme, memperdalam kerja sama ekonomi, mendukung netralitas dan inklusivitas ASEAN, serta menolak mentalitas Perang Dingin dan konfrontasi blok.
Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun menegaskan, sebagai kawasan yang memiliki relasi ekonomi kuat dengan China dan AS, negara-negara ASEAN tidak ingin berkonflik. Netralitas dan inklusivitas ASEAN itu pun menjadi salah satu poin utama yang dipertegas RI sebagai ketua ASEAN tahun ini.
”Sebisa mungkin justru ASEAN berkontribusi meredakan ketegangan AS dan China melalui memfasilitasi dialog di bawah kerangka ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP),” ujarnya.
Baca juga: ASEAN Tetap Mitra Dagang Terbesar China, Kalahkan AS dan UE
ASEAN, ujarnya, tidak akan berpihak pada satu pihak tertentu. Untuk menjadi kawasan pusat pertumbuhan ekonomi global, akan lebih bermanfaat jika negara-negara ASEAN tidak terseret dalam konflik geopolitik. ”Meski China mitra dagang terbesar negara-negara ASEAN, kita tidak leaning ke satu pihak saja. Kita tetap menjalin kerja sama dengan partner utama lain seperti AS, Uni Eropa, dan Australia,” kata Djauhari.
Sentimen serupa disampaikan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Singapura, selaku salah satu negara ASEAN yang memiliki hubungan paling dekat dengan AS, menyuarakan pentingnya mengatasi tensi geopolitik dengan dialog damai sebelum membicarakan kerja sama ekonomi.
Hal itu berlaku bukan hanya untuk konflik China-AS, melainkan juga perseteruan terkait konflik maritim di Laut Cina Selatan antara sejumlah negara ASEAN dan China. ”Kalau isu-isu politik ini bisa diatasi dengan damai, akan lebih mudah untuk kita bicara tentang memajukan kerja sama ekonomi,” kata Lee saat berbicara di Boao Forum for Asia, bulan lalu.
Lebih adil
Di tengah tantangan fragmentasi global itu, hubungan perdagangan yang lebih adil antara China dan ASEAN pun menjadi prasyarat untuk menjaga kerja sama kondusif kedua pihak.
Netralitas dan inklusivitas ASEAN itu pun menjadi salah satu poin utama yang dipertegas RI sebagai ketua ASEAN tahun ini.
Tahun ini, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) akan secara utuh diimplementasikan seluruh negara ASEAN, dengan Indonesia dan Filipina yang terakhir meratifikasi perjanjian dagang tersebut.
China juga sepakat mengakselerasi negosiasi untuk memperkuat kerangka perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) versi 3.0 untuk mencapai relasi dagang yang lebih seimbang kedua pihak.
Isu perdagangan adil ini menjadi salah satu prioritas yang diangkat RI melalui keketuaan ASEAN. ”Kita mendorong negosiasi untuk akses pasar yang lebih berimbang agar China bisa membuka peluang lebih lebar bagi produk ASEAN, baik agrikultur maupun produk dari sektor lain,” tutur Djauhari.
Baca juga: Tiga Pekerjaan Rumah Perdagangan ASEAN
Seperti diketahui, dalam KTT Khusus ASEAN-China, November 2022, China menyatakan komitmennya untuk mengimpor lebih banyak produk pertanian dari negara-negara ASEAN senilai 150 miliar dollar AS atau setara Rp 2.137 triliun selama lima tahun ke depan.
Isu perdagangan adil ini menjadi salah satu prioritas yang diangkat RI melalui keketuaan ASEAN.
Melalui evaluasi ACFTA diharapkan, berbagai hambatan dagang antara ASEAN dan China dapat diminimalisasi. ”Hambatan perdagangan, khususnya untuk produk pertanian dan perikanan, kita negosiasikan lagi. ASEAN harus lebih agresif memasuki pasar China dengan memanfaatkan perundingan-perundingan dagang yang ada,” katanya.
Li An mengatakan, versi 3.0 dari ACFTA akan mempromosikan liberalisasi dan fasilitasi perdagangan melalui menghilangkan sejumlah hambatan yang selama ini membuat relasi dagang tidak seimbang. Forum berskala internasional, seperti China International Import Expo dan China-ASEAN Expo, juga akan dimaksimalkan untuk memperluas akses pasar bagi produk ASEAN ke China, khususnya agrikultur.
”Untuk mendukung implementasi RCEP yang efektif, kita akan secara bertahap mengurangi atau menghilangkan tarif tertentu serta meningkatkan integrasi rantai pasok di kawasan,” ujar Li.
Meski demikian, menurut dia, upaya membangun relasi dagang yang berimbang tidak bisa bertepuk sebelah tangan. China akan membuka akses pasar lebih luas, tetapi negara-negara ASEAN juga perlu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. ”Kalau itu tercapai, ke depan, tidak menutup kemungkinan, ACFTA versi 3.0 akan mengeksplor kesempatan perdagangan bilateral di sektor lainnya di luar agrikultur,” katanya.