Dari Empat Jalur Evakuasi WNI di Sudan, Semua Tak Memadai, kecuali Satu
WNI diminta membiasakan diri melakukan lapor diri melalui situs www.peduliwni.kemlu.go.id ketika tiba ataupun meninggalkan negara lain, terutama jika negara itu dilanda konflik.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Evakuasi warga negara Indonesia atau WNI gelombang terakhir dari Jeddah, Arab Saudi, dilaksanakan pada hari Senin (1/5/2023) dengan menggunakan pesawat komersial. Meskipun demikian, masih ada beberapa WNI yang tetap tinggal di Sudan dengan alasan memiliki kerabat di sana. Kementerian Luar Negeri tetap memantau perkembangan situasi mereka.
”Di kota pelabuhan Port Sudan tertinggal satu orang WNI yang karena alasan kesehatan belum diizinkan oleh dokter untuk bepergian. Ia ditemani oleh Duta Besar Indonesia untuk Sudan Sunarko dan stafnya,” kata Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Kemlu Judha Nugraha ketika dihubungi di Jeddah, Minggu (30/4/2023).
Konflik bersenjata antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pecah pada 15 April 2023. Pertempuran terjadi di Khartum, ibu kota Sudan, dengan melibatkan serangan udara. Membaca situasi itu, Sunarko meminta kepada Kemenlu untuk segera menyusun rencana evakuasi. Pelindungan WNI (PWNI) Kemenlu pun langsung memetakan jalur-jalur evakuasi yang memungkinkan.
”Rencana awal evakuasi adalah melalui jalur udara, yaitu lewat Bandara Internasional Khartum. Sebagai cadangan ada jalur darat ke utara menuju Aswad di Mesir, ke Timur menuju Port Sudan di tepi Laut Merah, dan ke tenggara menuju Addis Ababa di Etiopia,” tutur Judha.
Direktorat PWNI berkoordinasi dengan para WNI dan organisasi masyarakat Indonesia di Sudan, secara daring, juga dengan kedutaan-kedutaan Indonesia di Mesir, Arab Saudi, dan Etiopia, untuk mematangkan rencana. Menurut Judha, para WNI di Sudan tidak panik. Mereka tetap tenang dan mengikuti arahan pemerintah untuk mengumpulkan paspor, surat-surat penting, dan perlengkapan pribadi seadanya di dalam satu tas ransel. Apabila ada arahan untuk evakuasi, tas ini bisa langsung dibawa.
Memasuki 16 April, militer dan RSF bersedia melakukan gencatan senjata. Kesempatan ini dimanfaatkan sebagai jalur kemanusiaan bagi warga sipil untuk meninggalkan Khartum, Omdurman, dan Bahri yang menjadi lokasi konflik. Akan tetapi, baru berjalan beberapa jam, pertempuran kembali terjadi sehingga rencana evakuasi batal.
”Kami meminta para WNI agar tetap di kediaman masing-masing karena gencatan senjata ini gagal. Apabila kita semua memaksakan diri keluar, risikonya sangat berbahaya,” kata Judha.
Ia menjelaskan, status Sudan dikategorikan sebagai Siaga 1. Kemenlu berkoordinasi dengan pemerintah negara-negara lain dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Siaga 1 ini bukan hanya karena terjadi baku tembak, tetapi juga karena aliran listrik dan air mati. Sebagian besar fasilitas kesehatan dan pasar tutup sehingga warga kesulitan mengakses bahan pangan dan pengobatan. Jika dibiarkan lebih lanjut, hal itu akan menjadi bencana kemanusiaan.
Kesempatan pun tiba pada 25 April pukul 00.00 ketika militer dan RSF setuju untuk gencatan senjata selama 72 jam. Warga negara asing di Khartum, Omdurman, dan Bahri langsung ”bedol desa” meninggalkan tiga kota yang dilanda konflik tersebut. Ketika itu, semua WNI sudah berada di rumah-rumah aman, antara lain Wisma Duta dan kantor-kantor organisasi masyarakat Indonesia di Khartum, sehingga memudahkan mereka untuk diangkut.
”Jalur udara resmi dicoret karena Bandara Khartum adalah lokasi pertempuran. Ada satu pesawat kargo Indonesia yang tertembak ketika diparkir di sana. Semua awaknya ikut kami evakuasi,” kata Judha.
Jalur darat menuju Mesir di utara juga dihapus karena harus melewati titik-titik konflik. Demikian pula jalur ke Etiopia karena terlalu jauh dan jalanan buruk. Diputuskan, jalur ke Port Sudan menjadi yang terbaik. PBB juga mengakui Jeddah sebagai pusat transit warga negara internasional.
Evakuasi dipimpin Dubes Sunarko dan Tim PWNI menunggu di Port Sudan sembari menyiapkan penginapan, cek kesehatan, dan transportasi ke Arab Saudi.
TNI datang ke Port Sudan membawa pesawat Boeing 737. Awalnya, Tim PWNI hendak menyewa kapal feri untuk menyeberangkan orang-orang ke Jeddah apabila pesawat TNI tidak cukup. Ternyata, Pemerintah Arab Saudi telah menyewa semua feri di Port Sudan dan mempersilakan semua pengungsi menaikinya menuju Pangkalan Militer Raja Faisal di Jeddah. Konsekuensinya adalah orang-orang harus mengantre cukup lama bersama warga negara asing lainnya.
Judha menuturkan, selain satu WNI di Port Sudan yang belum boleh bepergian, sejumlah WNI memutuskan tinggal di negara tersebut. Mereka adalah WNI yang menikah dengan warga Sudan dan menolak dievakuasi ke Tanah Air. Posisi mereka sekarang berada di kota-kota yang aman dan jauh dari konflik.
”Kami tetap berkomunikasi dengan mereka yang memutuskan tinggal di Sudan. Negara tidak bisa memaksa mereka pergi, tetapi Tim PWNI memberi penjelasan bahwa jika pertempuran dimulai kembali, ada risiko gencatan senjata berikutnya sukar dicapai dan prosedur evakuasi akan lebih sulit terlaksana,” ucapnya.
Lapor diri
Judha mengatakan, tantangan paling berat dalam proses evakuasi itu adalah mencari keberadaan para WNI. Di atas kertas, jumlah WNI yang berada di Sudan ada 1.209 orang. Akan tetapi, tidak semuanya bisa dikontak. Hal ini karena lapor diri ke KBRI belum menjadi kebiasaan.
Idealnya, WNI setiap kali tiba ataupun meninggalkan suatu negara melakukan lapor diri ke situs www.peduliwni.kemlu.go.id. Apalagi, dalam situasi konflik sebaiknya WNI melakukan lapor diri berkala supaya negara mengetahui keberadaan mereka.
Akhirnya, Tim PWNI dan KBRI Khartum harus mengandalkan jurus pesan berantai untuk mencari WNI-WNI yang hilang dari radar. Untungnya kemudian terkonfirmasi bahwa mereka sedang tidak berada di Sudan. Ada yang sedang mudik ke Indonesia untuk berlebaran dan ada yang sedang beribadah umrah ke Arab Saudi. Oleh KBRI Riyadh, diatur agar mereka diberangkatkan ke Jeddah untuk dipulangkan ke Tanah Air.
”Setiba di Jakarta, Kemenlu bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait untuk melayani mereka selama ditampung di asrama haji. Ada cek kesehatan dan pendampingan psikologis untuk mengantisipasi trauma yang muncul akibat tercerabut karena konflik,” kata Judha.
Kantor berita Sudan, SUNA, melaporkan bahwa gencatan senjata berakhir pada Sabtu (29/4/2023). Militer dan RSF setuju untuk memperpanjang selama 72 jam lagi. Bentrok mereka telah berlangsung selama 14 hari. Sebanyak 500 orang, termasuk warga sipil, menjadi korban jiwa.
Meski demikian, di Khartum, seperti yang dilaporkan oleh Al Arabiya, di beberapa titik masih terjadi baku tembak. Militer melancarkan serangan udara ke markas besar RSF dan wilayah di sekitar istana kepresidenan. RSF membalas dengan menggencarkan serangan darat.
Organisasi Pembangunan Regional Afrika Selatan (IGAD) mengeluarkan pernyataan resmi. Mereka meminta perwakilan RSF dan militer untuk bertemu selama perpanjangan gencatan senjata ini untuk berunding. Mereka menggunakan perwakilan karena Panglima Militer Sudan Jenderal Abdul Fattah Burhan menolak bertemu dengan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo dari RSF.
”Hemedti (panggilan untuk Dagalo) adalah pemberontak melawan negara. Tidak bisa diterima jika saya harus duduk bersamanya. Saya bilang kepada dia bahwa jika ini soal permasalahan pribadi, kita berdua harus turun dari jabatan masing-masing. Hemedti menolak,” kata Burhan dalam wawancara dengan Alhurra TV.
Burhan menuduh RSF makar karena menolak dilebur ke dalam militer guna bertransisi ke pemerintahan sipil. Adapun Dagalo menuduh Burhan sebagai ekstremis kanan dan membahayakan demokrasi di Sudan.