Indonesia Matangkan Persiapan Evakuasi, Korea Selatan Kirim Hercules Dekati Sudan
Perang saudara bukan kali ini saja terjadi di Sudan. Karena baku tembak di bandara, evakuasi melalui jalur udara dari Khartoum tidak bisa dilakukan. Evakuasi hanya bisa dilakukan bila pengungsi dibawa ke luar Sudan.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Seoul, Jumat - Korea Selatan mengirimkan satu pesawat Hercules C-130J ke Djibouti, Jumat (21/4/2023). Berisi 50 orang, pesawat itu bagian dari upaya Seoul menyelamatkan warganya di Sudan. Sementara Indonesia belum bisa memastikan kapan evakuasi ribuan warganya dari Sudan. Kondisi keamanan belum memungkinkan.
Kementerian Pertahanan Korsel mengumumkan, Hercules itu mengangkut tentara dan sejumlah petugas kesehatan. Berangkat pada Jumat sore dari Seoul, mereka ditargetkan mendarat di Djibouti pada Jumat malam. Dilaporkan kantor berita Yonhap, Presiden Korsel Yoon Suk Yeol menirimkan mereka untuk mengevakuasi 25 warga Korsel dari Sudan.
Sejak Sabtu pekan lalu, militer dan kelompok milisi Sudan baku tembak. Militer dipimpin Jenderal Abdel Fattah Al Burhan. Sementara kelompok milisi, dikenal sebagai Pasukan Dukungan Cepat (RSF), dipimpin Jenderal Hamdan Dagalo alias Hemedti. Burhan dan Hemedti bekerja sama menggulingkan Presiden Sudan Omar Bashir pada 2019. Sejak itu, mereka bersaing memperebutkan kekuasaan. Perebutan itu berujung baku tembak mulai Sabtu lalu.
Hingga Jumat, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 439 warga sipil tewas dalam baku tembak itu. Sementara 3.551 lain cidera. Setidaknya sembilan anak tewas dan 50 lain terluka dalam pertempuran di berbagai kota Sudan.
Militer dan RSF sudah dua kali menyatakan siap melakukan gencatan senjata. Kesepakatan kedua diumumkan RSF pada Kamis (20/4) malam. Gencatan senjata selama tiga hari untuk menghormati perayaan Idul Fitri. Sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara merayakan Idul Fitri pada Jumat. Meski demikian, suara tembakan tetap terdengar di sejumlah sudut Khartoum. Selain di ibukota Sudan itu, baku tembak juga masih terdengar di sejumlah kota lain di Sudan.
Sulit
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, Kedutaan Besar RI di Khartoum mencatat ada 1.209 WNI di Sudan. Sebagian besar mahasiswa atau pelajar dan tingga di Khartoum. “Persiapan evakuasi terus dimatangkan sambil menunggu saat tepat untuk dapat melakukan evakuasi dengan terus mempertimbangkan keselamatan WNI,” kata Retno.
Menurut laporan KBRI Khartoum kepada Kemenlu RI, belum ada satu pun warga asing bisa dievakuasi dari Sudan. “Kondisi keamanan yang tidak memungkinkan,” ujar Retno.
Ia juga mengindikasikan, baku tembak juga terjadi di sekitar Wisma Indonesia dan KBRI Khartoum. “Beberapa kali Wisma Indonesia dan KBRI juga terimbas oleh terus berlangsungnya pertempuran. Alhamdulillah, semua WNI dan staf KBRI dalam keadaan selamat,” kata dia.
Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan Amerika Serikat juga mengindikasikan, kedutaan besar AS di Khartoum berulang kali terimbas. Meski demikian, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby menyebut bahwa tidak ada warga AS menjadi sasaran yang disengaja oleh pihak bertikai. Imbas yang dialami kedutaan besar AS semata karena gedung itu dekat lokasi baku tembak.
Pertempuran antara militer dan RSF berlangsung di berbagai tempat di Khartoum dan kota lain di Sudan. Kawasan sekitar Universitas Internasional Afrika, tempat banyak WNI tinggal dan belajar, menjadi salah satu lokasi pertempuran sengit. Sebab, di sana terdapat salah satu kubu pertahanan RSF. Selain saling menyerang kubu masing-masing, Militer dan RSF juga memperebutkan kendali obyek vital. Kantor kepresidenan dan bandara termasuk lokasi yang terus diperebutkan.
Karena baku tembak di bandara, evakuasi melalui jalur udara dari Khartoum tidak bisa dilakukan. Evakuasi hanya bisa dilakukan bila pengungsi dibawa ke luar Sudan. Dari tetangga sekitar Sudan, pengungsi baru bisa diterbangkan ke berbagai negara lain.
AS termasuk negara yang memilih opsi seperti Djibouti, negara di timur Sudan. “Kami mengerahkan tambahan kekuatan di kawasan untuk keperluan darurat terkait pengamanan dan kemungkinan memfasilitasi keberangkatan pegawai kedutaan AS dari Sudan,” demikian pernyataan Departemen Pertahanan AS.
Bukan Untuk Warga
Washington mengidikasikan, evakuasi oleh pemerintah hanya akan dilakukan terhadap pegawai kedutaan AS. Evakuasi untuk warga sipil AS dari Sudan menjadi tanggung jawab masing-masing. AS tidak mengungkap berapa banyak dan di mana warganya berada di Sudan. “Karena kondisi keamanan dan penutupan bandara, tidak aman untuk melakukan evakuasi yang dikoordinasi pemerintah bagi warga sipil,” demikian pernyataan Kedubes AS di Khartoum.
AS menyewa pangkalan di Djibouti sejak 2014. Setiap tahun, Washington membayar 63 juta dollar AS untuk penggunaan pangkalan militer itu.
Kirby mengatakan, Presiden AS Joe Biden menyetujui penambahan pasukan di sekitar Sudan. Biden dilaporkan diberi informasi perkembangan Sudan secara berkala. AS dan sejumlah negara terus mendorong gencatan senjata di Sudan. Dorongan juga disampaikan Mesir, Uni Emirat Arab, dan tentu saja Indonesia. Retno menyebut, Perwakilan Tetap RI di Perserikatan Bangsa-bangsa telah meminta Dewan Keamanan PBB segera menyikapi perkembangan Sudan.
Sementara Mesir dan UAE mengordinasikan dorongan gencatan senjata. Abu Dhabi dan Kairo mendukung pihak berseberangan di Sudan. Mesir mendukung militer karena dekat dengan Burhan. Sementara Abu Dhabi sejak lama menyokong RSF. Dukungan UEA diberikan antara lain karena RSF menyediakan milisi untuk berperang melawan pasukan Houthi Yaman. UEA bersama sejumlah negara Arab sudah bertahun-tahun mendukung pemerintah dan kelompok anti-Houthi di Yaman.
Di Sudan pun, perang saudara bukan kali ini saja terjadi. Militer dan milisi Janjaweed pernah berkoalisi menghadapi kelompok separatis di selatan. Tekanan internasional akhirnya menghasilkan referendum yang berujung pada pemisahan Sudan Selatan dari Sudan.
Selepas perang itu, Janjaweed bertransformasi menjadi RSF. Selama bertahun-tahun, RSF dan militer sama-sama berkembang menjadi kekuatan bersenjata utama di Sudan. Perang, ditambah korupsi, menjadi penyebab banyak rakyat Sudan miskin dan kelaparan. Padahal, Sudan kaya aneka bahan tambang dan mineral. Emas dan minyak hanya sebagian kekayaan negara di Afrika itu. (AFP/REUTERS)