Dukungan dunia internasional sangat diperlukan rakyat Sudan untuk memulai transisi demokrasi. Perseteruan para jenderal menunjukkan reformasi sektor keamanan krusial dalam mewujudkan demokrasi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Apa jadinya saat jenderal-jenderal berseteru di negara seperti Sudan? Dengan institusi demokrasi yang belum terbangun, perseteruan itu sama dengan malapetaka besar.
Sudan sedang menjadi pusat perhatian. Jenderal Abdel Fattah Burhan, yang memimpin Angkatan Bersenjata Sudan, serta Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, Panglima Pasukan Dukungan Cepat (RSF), bertikai. Keduanya berbeda pandangan dalam penataan organisasi militer Sudan. Perbedaan pecah menjadi perang terbuka sejak Sabtu (15/4/2023).
Pasukan mereka saling tembak. Tentara Sudan yang berada di bawah komando Burhan mengerahkan persenjataan berat dan pesawat tempur untuk menggempur posisi RSF di sejumlah kota. Tak mau kalah, RSF membalas dengan menembakkan artileri.
RSF semula adalah milisi yang membantu pasukan pemerintahan Sudan, yang waktu itu dipimpin Presiden Omar Hassan al-Bashir, dalam konflik di Darfur, Sudan barat, bertahun-tahun silam. Milisi itu berhasil mengatasi perlawanan kelompok bersenjata lokal di Darfur yang menolak kekuasaan pemerintah pusat. Kelompok bersenjata yang dipimpin Dagalo itu bertambah besar dan menempati posisi hampir sama kuatnya dengan militer negara.
Setelah Bashir kehilangan kekuasaan oleh kudeta militer di tengah demonstrasi besar yang menuntut pengunduran dirinya pada 2019, terbentuk dewan yang meliputi militer serta sipil untuk mengelola transisi demokrasi. Tentara kemudian melakukan kudeta lagi pada 2021 dan terbentuk dewan yang dipimpin Burhan dengan wakilnya, Dagalo, atau biasa dikenal sebagai Hemeti. Namun, mereka berbeda pandangan dalam hal penataan organisasi militer serta jalur demokratisasi.
Konflik terbuka kedua jenderal hingga Rabu (19/4/2023) telah menelan korban jiwa sedikitnya 300 orang, terdiri dari tentara dan warga sipil tak berdosa. Ibu kota Sudan, Khartum, seperti kota mati. Orang-orang bersembunyi ketakutan karena tembak-menembak di antara kedua kubu nyaris tak berhenti. Selain di Khartum, pertempuran juga pecah di kota-kota lain.
Penderitaan rakyat Sudan tak kunjung usai. Selain konflik di Darfur, negara itu juga pernah menghadapi perang saudara yang berujung pada berdirinya Sudan Selatan, serta kini konflik bersenjata akibat perseteruan dua jenderal.
Harapan rakyat Sudan akan terbentuknya pemerintahan sipil demokratis sekarang seperti pupus. Cita-cita transisi demokrasi yang muncul di pengujung masa pemerintahan Bashir tampak sangat sulit terwujud.
Dukungan dunia internasional sangat diperlukan rakyat Sudan untuk memulai transisi demokrasi. Perseteruan Burhan dengan Hemeti menunjukkan reformasi sektor keamanan berupa penempatan militer di bawah otoritas sipil yang demokratis mendesak dikerjakan. Bahkan, hal itu merupakan komponen paling krusial dalam mewujudkan demokrasi di negara yang telah sekian lama didera konflik berdarah seperti Sudan.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO